Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan Sampah

Pemerintah belum melihat lingkungan sebagai urgensi

Bandar Lampung, IDN Times - Hingga kini sampah masih menjadi enigma mendasar dan paling umum di Indonesia selama bertahun-tahun. Seakan-akan tak berkesudahan, masalah ini selalu saja ada dan seperti tak ada ujungnya.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLH) jenis sampah terbagi menjadi sembilan bagian dan salah satunya adalah plastik. Sampah plastik merupakan salah satu jenis sampah sulit terurai dan sampah ini terdiri dari sampah makroplastik dan sampah plastik tak terlihat yakni mikroplastik.

Selama 2022, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) berhasil menyusuri 68 sungai di 24 provinsi di Indonesia. Hasilnya ternyata Provinsi Lampung berada di urutan ke 12 daerah dengan kandungan sampah mikroplastik di sungai terbanyak yakni 3,85 partiker per liter airnya.

Jangankan soal sampah mikroplastik, sampah makroplastik saja masih menjadi persoalan besar di sungai-sungai Lampung. Salah satunya adalah sungai di dekat pemukiman Kelurahan Jagabaya I Kecamatan Way Halim Bandar Lampung.

Handa (36), telah tinggal selama 7 tahun di pinggiran Sungai Jagabaya I bersama anak-anaknya. Ia mengaku selama di sana tidak pernah ada masyarakat memanfaatkan sungai tersebut sebagai sumber penghidupan mereka.

Bahkan, masyarakat di sepanjang sungai memang sudah lama tak memanfaatkan sungai secara langsung. Bahkan untuk sekedar main, anak-anak di daerah tersebut sudah tidak ada lagi.

Selain itu, menurutnya kondisi sungai kotor juga menyebabkan tidak adanya ekosistem hidup di dalamnya sehingga ikan maupun biota sungai sudah tidak bisa ditemukan lagi di sungai tersebut.

“Saya tahunya (mikroplastik) ya sampah-sampah plastik botol begini lah. Emang udah kotor banget sih sungai di sini. Makanya orang-orang pada mungutin sampah yang bisa dijual aja kayak plastik, kaleng, kalau pas surut airnya. Tapi kalau dipakai airnya mah udah dari lama gak pernah,” katanya, Jumat (3/2/2023).

1. Mayoritas sampah plastik di sungai bukan berasal dari masyarakat setempat

Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan SampahHanda, Masyarakat Jagabaya I. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Handa mengatakan, justru pelaku pembuang sampah di sungai mereka bukanlah dari masyarakat setempat, tapi dari masyarakat tak dikenal atau dari jauh yang lewat membawa sampah kemudian melemparnya ke sungai.

Hal itu pun sulit sekali dicegah karena menurut Handa pembuang sampah itu menggunakan kendaraan bermotor dan warga sekitar tidak ada yang mengenalnya.

“Paling pas kita lihat sekilas itu saya suka teriak ‘Jangan buang sampah di situ’. Tapi ya tetap aja ada yang buang ke sungai ada juga yang naruh aja gitu di pinggiran sungai.

Sedangkan untuk masyarakat sekitar lebih banyak membuang sampah di TPS Hanoman tak jauh dari lingkungan rumahnya dan sisanya menggunakan jasa pengangkut sampah.

2. Meski begitu masyarakat masih membuang sampah rumah tangga ke sungai

Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan SampahSampah mikro di Sungai Jagabaya I. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Namun Handa tak menyangkal dirinya memang pernah membuang limbah rumah tangga seperti jeroan ikan ke dalam sungai. Begitupun dengan air sisa mencuci piring atau air detergen lainnya.

“Tapi kalau MCK kita udah di kamar mandi. Septik tank juga udah punya masing-masing di sini. Gak ada yang ke sungai. Kalau air kita ada yang pakai PDAM, sumur bor, sama sumur biasa,” ujarnya.

Untuk pembersihan sungai, menurut Handa sebenarnya pamong desa setempat termasuk rajin melaksanakannya. Tiap Jumat pamong desa dan masyarakat melakukan kerja bakti mulai dari jalan hingga ke sungai.

“Tapi ya begitu, udah bersih nanti ada lagi sampah. Selain dari orang luar itu sampahnya juga kan ngalir ya dari atas. Kebawa sampai sini,” imbuhnya.

Terkait sampah di sungai ini, ia hanya berharap Pemerintah Kota Bandar Lampung bisa melakukan pengambil endapan di dalam Sungai Jagabaya I sehingga pemukiman terhindar dari banjir karena selama ini sungai di lingkungannya belum pernah dikeruk.

Baca Juga: Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu 

3. Berbagai masalah kesehatan timbul karena sungai tercemar

Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan Sampahilustrasi minum vitamin dan cairan ion (IDN Times/Mardya Shakti)

Menanggapi masalah air sungai Lampung telah tercemar sampah mikroplastik, Subkoordinator Substansi Kesehatan Lingkungan Kesjaor Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Agus Setyo Widodo mengatakan tentunya berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.

Menurutnya permasalahan sampah termasuk mikroplastik berasal dari budaya dan kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan dan tak melakukan daur ulang. Oleh karenanya dinkes saat ini lebih berfokus pada pencegahan perilaku tak sehat tersebut.

“Kita ada STBM (sanitasi total berbasis masyarakat). Itu kita pengin mengubah perilaku masyarakat untuk mengolah atau mengemas limbah khususnya limbah rumah tangga. Jadi gak boleh lagi dibuang sembarangan atau dibakar tapi disimpan di tempat penampungan sementara dan diolah,” jelasnya.

Ia menyebutkan, ada berbagai penyakit akan timbul ketika masyatakat menggunakan atau mengkonsumsi sumber daya alam telah tercemar. Di Lampung kasus paling banyak adalah diare, penyakit kulit gatal-gatal, hapatitis A, dan ISPA.

4. Wilayah Pesisir Panjang memiliki masalah sampah terparah di Bandar Lampung

Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan SampahKegiatan sweeping oleh LSC. (Instagram/lampungsweepingcommunity)

Masalah sampah ternyata menjadi perhatian beberapa pemuda di Lampung hingga akhirnya membuat sebuah komunitas lingkungan. Salah satunya adalah Lampung Sweeping Community (LSC).

Komunitas di bidang lingkungan ini memang memiliki projek rutin yakni melakukan pembersihan sampah di wilayah-wilayah air termasuk sungai. Co-Founder LSC Febryani Sabatira menjelaskan meski komunitas ini lebih banyak sweeping di laut namun lokasinya selalu bersinggungan dengan sungai. Selain itu sampah-sampah di laut ini memang sebagian besar juga berasal dari sungai.

“Kasus paling parah itu di Kampung Baru III Panjang Utara. Sampah itu menumpuk selama 20 tahun makanya waktu itu kita disitu kedalaman sampahnya sampai 50 meter. Kita angkat ada maggotnya (belatung),” ujar Febby, sapaan akrabnya.

Lebih parahnya lagi tak hanya sampah rumah tangga, bahkan mereka banyak menemukan sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) seperti jarum suntik dan kondom. Kemudian ada feses, bangkai hewan, dan tentunya berbagai macam sampah plastik.

5. Mikroplastik memiliki kandungan karsinogenik

Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan SampahCo-Founder LSC, Febby. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Febby mengaku dalam penelitian skripsinya juga mendalami soal mikroplastik. Berbeda dengan sampah plastik biasa, sampah mikroplastik hampir tak kasat mata sehingga sangat berbahaya bagi lingkungan termasuk manusia.

“Karena plastik ini kan bahan kimia ya apalagi ukurannya kecil. Dia masuk ke laut yang di dalamnya ada ekosistem termasuk ikan yang kita konsumsi. Meski gak langsung mikroplastik ini dampaknya dirasakan dalam jangka panjang karena secara gradual ada pelepasan zat karsinogenik yang bisa menyebabkan kanker,” jelasnya.

Sehingga ia memprediksi sampah mikroplastik saat ini tak hanya akan berbahaya bagi manusia di masa sekarang tapi juga akan diwariskan ke generasi di masa mendatang.

6. Selama ini belum ada kegiatan lingkungan dari pemerintah bersifat sustainable

Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan SampahKegiatan sweeping oleh LSC. (Instagram/lampungsweepingcommunity)

Pemukiman di dekat laut juga menjadi masalah tersendiri. Pasalnya tak hanya aktivitas nelayan, anak-anak juga bermain di laut yang dipenuhi oleh sampah. Maka tak heran, Febby mengatakan, mayoritas anak-anak wilayah pesisir ia lihat memiliki masalah kulit seperti kudis, kurap, dan lainnya.

Namun sebagai komunitas, pihaknya memang hanya bisa melakukan kegiatan represif saja dan sweeping sampah tidak bersifat preventif atau menyelesaikan masalah. Sejauh ini, untuk kegiatan sweeping LSC selalu mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk pemerintah.

“Ada dari TNI AD AL dan pemda juga. Biasanya mereka juga buat proyek bersama dan mereka juga bantu menyiapkan alat sweepingnya seperti sapu dan lainnya,” katanya.

Sayangnya mereka masih melihat pemerintah tidak melihat lingkungan sebagai urgensi. Padahal jika sekali saja lingkungan rusak maka manusia tidak bisa mengembalikannya. Mereka mendukung kegiatan lingkungan namun hanya dilakukan sekali saja tidak ada upaya berkelanjutan.

7. Setiap hari Lampung memproduksi 4.515 ton sampah

Mikroplastik di Sungai Lampung, Budaya Masyarakat Vs Pengolahan SampahTPA Bakung. (IDN Times/Silviana)

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung, sampah harian di provinsi ini mencapai 4.515 ton. Dari pada itu mereka pun mencatat selama 2022 Lampung telah memproduksi sebanyak 1,64 juta ton sampah.

Sampah ini berasal dari limbah rumah tangga, tempat usaha dan lainnya. Bahkan banyaknya sampah membuat TPA di tiga kabupaten/kota di Lampung telah mengalami overload sehingga Kepala DLH Provinsi Lampung, Emilia Kusumawati berencana membuat TPA Regional untuk tiga daerah tersebut.

“TPA yang penuh itu ada di Bandar Lampung, Metro, dan Kabupaten Lampung Tengah. Kita akan rencanakan bangun di Tanjung Sari Natar Lampung Selatan. Ada sekitar 20 hektar lahan untuk itu,” katanya.

Ia mengatakan, pengelolaan sampah di Lampung baru tertangani 33,65 persen saja dari total produksi sampah tahun lalu. Namun pengolahan sampah di Lampung baru sebatas untuk sampah organik saja yakni di bank-bank sampah tiap kelurahan.

Baca Juga: Ini Alasan Mahasiswa Lampung Belum Berpenghasilan tapi Pakai Paylater

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya