Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu 

KPU Lampung belum mengetahui ada komunitas transpuan

 “Sekarang gini ya, mau milih siapa pun, pernah tah nasib transpuan diperjuangkan? Kaya kita pemilik usaha kecil gini, ada tah yang mau mikirin? Sedangkan kalau kita mangkal cari duit, kita disalahin”.

Kalimat itu diucapkan AG sambil tersenyum getir dan nada suara bergetar menggambarkan perasaan kesalnya karena nasib transpuan masih terpinggirkan.

Kekesalan itu makin terpancar dari raut wajahnya saat mengingat pendataan penduduk dari kelurahan menjanjikan akan mendapat bantuan. Namun, sejak salonnya berdiri pada 1990 hingga saat ini, bantuan tersebut tak kunjung datang. AG berkesimpulan, terpilihnya pemimpin saat Pemilihan Umum (Pemilu) tak akan memberikan dampak apa pun pada kelompok transpuan.

Meski memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, AG tetap enggan memberikan hak suaranya saat Pemilu. Tak hanya soal kesejahteraan ekonomi saja, stigma dari masyarakat dengan penampilannya yang lebih feminin juga jadi trauma tersendiri untuk berbaur dengan masyarakat.

Meski tak pernah mempermasalahkan saat ada yang memanggilnya banci atau bencong, namun transpuan kelahiran Yogyakarta itu jadi tak percaya diri mengekspresikan penampilannya.

“Sekarang mau dandan kaya apa juga orang ngeliat gua bukan perempuan tapi kaya perempuan. Makanya, gua waktu ngurus KTP ke Disdukcapil ya pakai pakaian biasa aja. Bahkan udah pakai baju laki-laki aja, orang-orang tetep nyebut gua banci. Tapi gua yakin, suatu saat kalau toh karma itu berlaku buat mereka sendiri, biar mereka tau, seperti apa rasanya punya anak seperti ini,” ujar AG saat ditemui IDN Times di salon miliknya yang berada di tengah pemukiman warga Kota Bandar Lampung.

Kini AG tak lagi peduli jika ada pendataan penduduk terkait pemberian bantuan. Apalagi tidak adanya peran pemerintah untuk merangkul transpuan dalam mendapat pekerjaan atau memberikan pelatihan, semakin memantapkan keputusannya untuk golput.

“Seneng susah gua yang ngejalanin kok. Kaya sekarang salon gua sepi, harus bayar koperasi tiap hari, ada tah mereka mikirin gua punya duit apa enggak? Jadi ngapain milih, mending gua golput. Kalau nasib transpuan ini dipeduliin, gua kerahin banci-banci itu buat milih,” ujarnya sembari menyesap kopi yang tinggal ampasnya.

Memilih tidak mengekspresikan penampilan berlebihan agar hidup nyaman di tengah masyarakat

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu Ilustrasi Wanita-Pria (IDN Times/Arief Rahmat)

Tumbuh dan besar di lingkungan menganggap gender hanya ada laki-laki dan perempuan, membuat AG terombang-ambing harus memilih di antara dua gender tersebut. Namun seiring bertambahnya usia, transpuan itu memilih untuk menjalani hidup apa adanya. Menurutnya bukan lagi soal memilih menjadi perempuan atau laki-laki, tapi lebih menikmati alur hidupnya saat ini.

“Dari SD saya sudah bertingkah seperti perempuan. Itu pun sudah dibawa ke psikolog Jogja, memang 75 persen hormon saya perempuan. Intinya kan saya begini, tapi saya gak pernah merusak nama keluarga saya. Saya gak pernah berurusan dengan polisi, narkoba, apalagi cari gara-gara sama orang, gak pernah saya,” ceritanya.

Dari hasil pemeriksaan psikolog tersebut membuat keluarga AG tak mempermasalahkan jika ia berpenampilan feminin. Namun, sejak 2010 lalu ia memutuskan untuk berhenti mengekspresikan penampilannya secara berlebihan. Bahkan semua baju-baju feminin miliknya sudah dibuang.

“Penilaian orang itu kan bergantung penampilan kita. Kalau saya keluar pakai baju perempuan, pakai heels tapi kumisan, ya pasti diejek. Tapi kalau pakai kaus biasa, walaupun rambut saya panjang, tidak terlalu jadi sorotan masyarakat. Apalagi sekarang keponakan saya udah gede-gede, saya gak mau mereka mikir yang gimana-gimana tetang saya,” ucapnya.  

Kini AG hanya fokus menjalankan usaha salonnya supaya tidak menjadi beban keluarga. Ia justru bisa berkontribusi untuk pendapatan ekonomi keluarga, sehingga tak ada lagi berani mengusik kehidupan pribadinya. Bahkan, ia berani menantang keluar dari rumah, jika keluarganya tetap memintanya untuk berubah dan menikah.

“Kalau memang bisa cari kesalahan fatal saya dari kecil sampai sekarang, saya siap pergi dari rumah. Karena capek. Capek tuh gini lho, yang dipermasalahin hidup gua terus dengan keadaan gua yang begini tadinya. Gua gak pernah takut tinggal di luar, gua punya ilmu dan keahlian,” tantangnya.

AG meyakinkan tak akan menyentuh dunia pernikahan karena merasa tidak percaya diri pasangan dan mertuanya akan menerima kehidupannya yang dianggap tidak normal oleh masyarakat kebanyakan.

“Nanti apa kata mertua gua? Yang normal aja masih bisa ditolak, apalagi orang kaya gua, tantangannya banyak. Sekarang walau pun saya gak menikah, saya baik sama keponakan dan keluarga, jadi gak mungkin mereka gak ngurusin saya seandainya umur saya gak panjang. Yang penting gua sekarang udah punya usaha sendiri dan gak nyusahin orang lain,” tegasnya dengan percaya diri.

Minder bila ingin datang ke TPS

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Cerita lainnya datang dari transpuan yang juga tak pernah memberikan hak suaranya saat Pemilu. Adalah Bunga, transpuan kelahiran 1993 mengaku tak percaya diri jika harus berbaur dengan masyarakat.

“Aku sebenarnya pengin milih, tapi ya gimana ya, transpuan kaya aku gini gimana sih nanti diliatin warga. Jadi aku masih minder sama malu sih kalau harus dateng ke TPS,” tutur Bunga saat ditemui IDN Times di sebuah kos-kosan di Kota Bandar Lampung beberapa hari lalu.

Namun Bunga meyakinkan, memiliki keinginan untuk berubah menjadi laki-laki seutuhnya sesuai keinginan keluarganya. Sebab ia menyadari tak mungkin akan hidup selamanya menjadi transpuan tanpa keahlian apapun yang ia miliki.

“Aku juga udah berpikir mau berubah tapi sabar gak bisa sekaligus. Karena emang jiwa aku begini. Kalau dipaksakan aku malah stres sendiri,” katanya.

Sembari menghela napas panjang, Bunga kemudian menceritakan pengalaman pahitnya saat keluarganya mengetahui ia berdekatan dengan laki-laki di sebuah acara pesta pernikahan. Itu jadi malam terkelam baginya karena sang kakak berusaha menikamnya.

Beruntungnya, masih ada pembelaan dari sang ayah. Namun paginya, Bunga dimasukkan ke dalam karung goni dan dibawa ke ladang lalu diceburkan ke sungai.

“Aku juga digebukin, katanya biar jadi laki-laki. Ya percuma mau digebukin kaya apa juga percuma. Sampe dipaksa ngerokok aku tetap gak bisa. Itu semua harus dari diri kita sendiri. Dari situ aku milih kabur dari rumah. Jadi aku belum pernah milih-milih saat Pemilu gitu karena waktu kabur aku masih SMP kan. Terus kalau sekarang mau milih, aku bingung harus berpenampilan seperti apa? Liat sendiri penampilan aku udah kaya gini,” jelasnya.

Kini Bunga merasa sedang mengenali dirinya dan akan memutuskan kembali ke rumah jika ia sudah siap. Sebab penampilannya saat ini sudah pasti tidak akan diterima oleh keluarganya. Meski tetap menjalin komunikasi melalui sambungan telpon, ia kerap menghindari panggilan video.

Namun nyatanya, menghindari diskriminasi dari keluarga dan memilih tinggal di kos-kosan tak lantas membuat hidup Bunga aman dari diskriminasi dan kekerasan. Pekerjaannya yang sering mangkal juga sering dihadapkan dengan bahaya.

“Dulu waktu pertama mangkal, pernah dikatain ‘kamu tuh banci, bertobatlah kamu banci. Dunia ini mau kiamat’ terus pernah juga kena razia itu kadang dilempar air kencing. Tapi walaupun saya dianggap sampah masyarakat seperti itu, saya tidak pernah pilih-pilih teman. Saya juga kalau berangkat mangkal pakai pakaian sopan dulu karena mengahargai tetangga,” ujarnya.

Hak politik transpuan memberikan suara saat Pemilu terkendala KTP dan stigma

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Salah satu anggota Komunitas Gaya Lentera Muda Lampung (Gaylam), Mumu mengatakan, tingkat kepemilikan KTP elektronik kelompok transpuan di Lampung tahun ini meningkat dan beberapa dari mereka juga punya kesadaran untuk memilih saat Pemilu. Namun tetap masih ada memilih golput lantaran belum memiliki KTP serta masih tertanam dalam benak mereka akan mendapat stigma dari masyarakat, saat datang ke TPS.

Selain itu, meski tingkat diskriminasi saat mengurus KTP ke Disdukcapil semakin berkurang, persepsi penampilan transpuan akan mendapat stigma masih jadi persoalan dihadapi kelompok transpuan. Sebab menurut Mumu, stigma tidak hanya berbentuk lontaran kata-kata saja, melainkan dari pandangan yang tidak biasa sudah termasuk diskriminasi.

“Ada dua permasalahan kenapa teman-teman transpuan golput, pertama gak punya KTP. Kedua, adanya diskriminasi di TPS. Jadi ketika mereka memiliki keinginan untuk memilih tapi saat datang ke TPS dapat ejekan, di periode selanjutnya tidak akan lagi mereka mau milih. Lagian jangankan transpuan, masyarakat yang gak dapat stigma dan diskriminasi aja banyak yang golput, apalagi transpuan yang bakal diejek di TPS,” kata Mumu, Senin (9/1/2022) di sebuah cafe Kota Bandar Lampung.

Mumu berpendapat, jika KPU menginginkan Pemilu yang inklusif, seharusnya benar-benar memberikan ruang nyaman bagi pemilih, termasuk transpuan. Mumu menegaskan, hal itu bukan berarti transpuan ingin dianggap spesial atau diberi ruang khusus saat memilih, namun yang diminta adalah memberi ruang nyaman dan bebas stigma.

“Caranya ya latih petugasnya di pos TPS, bagaimana melayani karakter pemilih yang berbeda-beda. Teman-teman transpuan itu kalau sudah di tempat tinggalnya merasa enggan dan malu karena sudah kenal dari lahir. Misal kaya aku kan dulu dandan, terus mau milih ke TPS itu jadi takut diejekin karena udah kenal sama petugasnya. Terus akhirnya milih di rumah aja,” ceritanya.

Baca Juga: Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di Indonesia

Melawan stigma dengan prestasi

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu Ilustrasi memegang kertas (pexels.com/Lisa Fotios)

Mumu awalnya enggan mengingat masa lalunya mendapat banyak hinaan dari masyarakat sekitar. Namun perlahan, ia membuka kembali memori masa kecilnya mengalami gejolak karena bingung harus memilih menjadi laki-laki atau perempuan.

“Karena sering dapat banyak cacian, dari situ aku mikir mau gimana sih gue? Namanya masyarakat dulu itu kan liat kita jalan aja udah dikatain bencong-bencong. Kalau memang bisa berubah dari lahir dan aku bisa milih, gak akan aku pilih jadi bencong,” tutur Mumu.

Tak hanya dari masyarakat, penolakan dari keluarga juga menjadi masa lalu yang pahit baginya. Menurutnya setiap transpuan pasti mendapat penolakan dari keluarga. Namun, ada yang berusaha meyakinkan dan ada yang memilih kabur dari rumah.

Mumu memilih untuk menyesuaikan diri dan berusaha tidak bergantung dengan orang lain. Ia justru banyak membantu ekonomi keluarganya melalui usaha salon dan make up pengantin miliknya, serta selalu pasang badan ketika keluarga mendapat masalah.

“Siapa sih yang setuju ngeliat anak lakinya menjadi berbeda dengan lainnya. Kakak laki-laki aku jelas gak setuju. Terus bapak ibu aku orang Sumatra, keras sama aku. Ayuk-ayuk juga berharap aku menikah dan suka sama perempuan. Tapi ya bagaimana saya menempatkan diri, menunjukkan ke keluarga apa yang saya bisa. Gak nyusahin keluarga dan bisa mandiri gitu. Kalau dibilang mempermalukan keluarga, yang bikin malu apanya?,” katanya.

Tak hanya itu, untuk hidup nyaman di tengah keluarga dan masyarakat, banyak cara ia lakukan agar menjadi laki-laki maskulin. Termasuk berdoa pada Tuhan supaya diberi jalan menentukan pilihannya. Hingga akhirnya ia memilih menikmati setiap proses dilalui dalam hidupnya.

Misalnya, menyesuaikan penampilannya di tengah masyarakat dan keluarga, aktif berorganisasi dan memanusiakan manusia, menjadi jalan ditempuh Mumu hingga bisa berdamai dengan dirinya. Transpuan itu percaya, Tuhan sudah menentukan jalan hidup setiap orang akan menjadi seperti apa kedepannya.

“Kewajiban saya sebagai manusia ya saya lakukan. Tapi ya gak menutup kemungkinan, jangankan transpuan, manusia lain juga banyak yang melakukan dosa, ya udah saya juga sama. Jadi kalau mau mengingatkan ya ingatkan sebatas mengingatkan, bukan intervensi. Kaya ‘Lo harus jadi laki, laki itu harus begini’. Itukan intervensi bukan mengingatkan,” ucapnya.

Percaya diri berbaur dengan masyarakat

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu unsplash.com/Miguel Bruna

Kini, transpuan kelahiran Bandar Lampung itu sudah percaya diri berbaur dengan masyarakat di sekitarnya. Bahkan tak ada yang berani mengejeknya karena keterlibatannya dalam banyak kegiatan sosial. Namun menurutnya tidak semua transpuan memiliki keberanian melawan diskriminasi dan stigma masyarakat.

“Kalau gua sekarang ke TPS ya biasa aja. Kalau ada yang ngejek, ya gua ajak berantem. Tapi gimana sama teman-teman aku yang lain? Ada yang memiliki pemikiran sama seperti aku, ada juga yang beda. Kita gak bisa memaksa toh? Nah yang beda ini yang mau membangun kesadaran mereka kan kalau gak KPU, ya komunitas yang ada saat ini.  Ayo dong kita Kerjasama, bangun kesadaran mereka,” pintanya.

Menurut Mumu, selama ini belum pernah ada sosialisasi langsung dari KPU untuk merangkul kelompok transpuan supaya berpartisipasi dalam Pemilu. Menurutnya, selama ini upaya KPU menjalankan Pemilu hanya sesuai standarisasi berlaku seperti harus memiliki KTP, pendataan tempat tinggal, lalu datang ke TPS untuk memilih. Sedangkan pendidikan untuk petugas TPS supaya mengenali karakter pemilih yang berbeda-beda belum dilakukan.

Mumu berharap, para pemimpin terpilih mampu memberikan ruang nyaman untuk kelompok transpuan dan tidak ada diskriminasi dalam mengakses KTP, pekerjaan, kesehatan atau pendidikan.

“Kalau berharap presiden pro sama LGBT kayanya jauh banget ya. Tapi ya setidaknya berikan kita ruang nyaman dan anggap kalau kita itu ada. Karena kita juga punya hak untuk hidup dan punya hak yang sama dengan warga lain,” harapnya.

KPU Provinsi Lampung belum mengetahui ada komunitas transpuan di Lampung

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu ilustrasi transpuan (pexels.com/Rosemary Ketchum)

Saat ditemui IDN Times Lampung, Rabu (11/1/2023), Ketua KPU Provinsi Lampung, Erwan Bustami justru merasa bingung karena belum mengetahui adanya komunitas transpuan di Provinsi Lampung. Menurutnya selama ini KPU Provinsi Lampung melakukan sosialisasi Pemilu secara umum dan mengategorikan pemilih berdasarkan ketentuan de jure, yakni berdasarkan jenis kelamin yang tertulis di KTP elektronik, perempuan atau laki-laki. 

“Kecuali mereka ada komunitas, maka kita akan masuk ke komunitasnya. Jadi kalau nanti misal di tempat tertentu ada komunitas itu ya akan kita coba. Ya mohon informasinya juga nanti kita sosialisasikan kalau memang ada komunitasnya,” kata Erwan.

Erwan menyampaikan, pelaksanaan Pemilu harus inklusif yang artinya harus memperhatikan kelompok marjinal. Menurutnya, secara formal KPU sudah mengoordinasikan terkait sosialisasi Pemilu dengan satuan kerja terkait seperti Dinas Sosial atau Kesbangpol. 

“Nanti pada saatnya tiba KPU akan lebih mengintensifkan sosialisasinya. Karena memang pemilih-pemilih marjinal ini pasti menjadi perhatian khusus,” ujarnya.

Namun pemilih marjinal masuk dalam kategori KPU adalah penghuni lapas atau rutan serta kelompok rentan seperti difabel. Sehingga untuk merangkul kelompok transgender atau transpuan, KPU provinsi Lampung mengkategorikan berdasarkan pemilih umum yang dilihat dari kepemilikan KTP dan Kartu Keluarga (KK).

Saat ditanya terkait kenyamanan untuk pemilih di TPS, KPU baru fokus dengan fasilitas dibutuhkan oleh kelompok difabel. Seperti akses ke TPS lebih mudah atau menyediakan surat suara untuk tunanetra. 

Erwan menyampaikan, jika di lapangan menemukan pemilih belum memiliki KTP elektronik, KPU akan mengoordinasikan dengan Disdukcapil setempat. Sebab menurutnya, Disdukcapil sudah memiliki program ke desa-desa untuk melakukan perekaman KTP elektronik. 

“Saya rasa ini sudah dilakukan lah sama Disdukcapil. Kalau pun nanti ditemukan kasus belum memiliki KTP elektronik pasti jumlahnya tidak signifikan. Karena yang punya kewenangan melakukan perekaman KTP kan Disdukcapil,” terang Erwan.

Erwan mengatakan, pada saat pendataan pemilih, Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (Pantarlih) akan datang dari rumah ke rumah lalu melakukan pencocokan dan penelitian (Coklit). Sehingga semua data pemilih akan terlihat dalam aplikasi tersebut.

Terkait pendidikan KPPS dalam pelaksanaan Pemilu nanti menurut Erwan akan ada bimbingan teknis secara berjenjang, seperti petunjuk teknis dan pemungutan suara. Erwan mengharapkan nanti bisa membentuk relawan demokrasi mewakili pemilih dari kelompok marjinal.

Suara kelompok transpuan dipertanyakan jelang Pemilu 2024

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Menyongsong Pemilu pada 2024 mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak Agustus 2021 lalu menggagas pendidikan pemilih yang inklusif dan partisipatif. Itu melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk difabel, kelompok perempuan atau marjinal serta komunitas dan pegiat sosial.

Gagasan tersebut mendapat sorotan dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Provinsi Lampung, Aditia Arif Firmanto. Ia mempertanyakan hak suara bagi kelompok transgender atau transpuan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Menurutnya, pemilih inklusif berarti pendidikan pemilih memiliki perhatian lebih, diperuntukkan pada kaum rentan dan minoritas.

“Maka perlu adanya pendekatan emosional yang baik ketika berhadapan dengan kelompok transgender. Teman-teman di lapangan perlu dibekali dengan ilmu SOGI (Sosial oriented gender identity),” kata Aditia.

Peluang Pemilu inklusif masih ada jika KPU melakukan pendekatan pada kelompok atau masyarakat sipil mengadvokasi transgender

Jalan Panjang Transpuan Lampung Dapatkan Ruang Nyaman Saat Pemilu Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan penjelasan Akademisi Sosiologi Universitas Lampung, Fuad Abdulgani, di mata hukum, transpuan juga memiliki hak politik sama untuk ikut memilih saat Pemilu. Namun masalahnya secara legal formal, transpuan terkendala administrasi KTP. Menurutnya, ada banyak kasus transpuan tidak memiliki KTP dengan berbagai alasan.

“Mungkin sebelumnya laki-laki, kemudian bertransformasi menjadi perempuan. Atau ketika mau ngurus malah dapat stigma, jadi mengurungkan diri,” kata Fuad kepada IDN Times. 

Selain itu, menurut Fuad, fenomena transpuan enggan memberikan hak suaranya saat Pemilu juga berkaitan dengan masalah sosial. Secara umum stigma dan stereotip terhadap transpuan sebagai orang 'aneh' atau tidak semestinya menjadi transpuan masih terus direproduksi oleh masyarakat.

“Meski wacana kesetaraan gender meningkatkan kesadaran publik bahwa kaum LGBTQ adalah manusia yang punya hak asasi, tapi banyak juga yang menolak dan menganggap kampanye LGBTQ adalah sesuatu yang haram. Sehingga kelompok yang menolak itu memperuncing stigma dan stereotip terhadap transgensder pada umumnya,” terangnya.

Persoalan tersebut menurutnya masih belum terselesaikan sehingga transgender atau transpuan tidak bisa leluasa tampil dan beraktivitas di ranah publik. Semestinya, persoalan tersebut bisa ditangani oleh KPU, jika memang ada intensi untuk memenuhi hak-hak berpolitiknya transpuan.

“Jadi bisa aja di setiap cabang-cabang KPU melakukan sosialisasi peningkatan kapasitas terhadap pelaksana bahwa transpuan itu harusnya diikutsertakan, jadi sistem jemput bola gitu,” saran Fuad.

Pihaknya juga menyarankan ada  imbauan di tingkat RT/RW bahwa Pemilu terbuka untuk semua kategori gender. Menurutnya, jika ada tindakan dari lembaga formal seperti KPU, artinya negara melalui lembaga itu sudah menyatakan pengakuannya bahwa transpuan harus berpatisipasi dalam Pemilu.

“Itu bisa jadi menimbulkan efek pada masyarakat yang masih punya stigma buruk ke transpuan bahwa mereka juga punya hak politik dan akan meningkatkan kenyamanan transpuan dalam berpartisipasi,” jelasnya.

Namun menurutnya, hingga kini masih belum diketahui seperti apa sikap KPU dalam menyikapi hak warga negara yang statusnya transgender atau transpuan. Bahkan pihaknya khawatir, jika tidak ada upaya seperti saran yang telah diberikan, rasanya masih sulit untuk merangkul transpuan dalam Pemilu dan memberi ruang nyaman saat di TPS.

“Meski dalam praktiknya tidak ada yang mengejek saat datang ke TPS, tapi karena stigma itu terlanjur hidup dalam benak kelompok transgender atau transpuan, ya bisa jadi karena hal itu mereka urung datang ke TPS,” tuturnya.

Kendati demikian, Fuad tetap optimistis jika peluang untuk mewujudkan pemilihan inklusif tetap ada karena KPU belum mengetahui adanya komunitas transpuan. Kondisi itu menurutnya bisa jadi kunci tindakan awal KPU untuk melakukan pendekatan pada kelompok-kelompok transpuan baik bentuknya komunitas, massa berbasis transgender atau kelompok organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengadvokasi kaum transgender.

“Jadi kelompok-kelompok itu bisa lebih dulu merapat ke KPU, menjalin kerja sama bahwa ada komunitas yang sebenarnya juga memiliki hak politik yang sama. Dari situ KPU bisa tahu dan ada inisiatif lanjutan supaya hak mereka terfasilitasi,” jelasnya.

Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan The Norwegian Embassy untuk Jakarta.

Baca Juga: Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan Tahun

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya