Dulu Pemerintah Bergerak karena Demo, Sekarang Terlecut Dipicu Viral

Pergerakan mahasiswa sekarang sangat jauh dibanding era 1998

Bandar Lampung, IDN Times - Tanggal 21 Mei diperingati sebagai Hari Reformasi Nasional. Di tanggal ini lah 25 tahun lalu tepatnya pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto lengser dari jabatannya sekaligus mengakhiri 32 tahun rezim Orde Baru.

Hal ini menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Lembar baru reformasi pun tak terlepas dari peran para mahasiswa dengan aksi besar-besarannya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya.

Sudah seperempat abad berlalu, pergerakan mahasiswa saat itu tentu berbeda dengan sekarang. Apalagi generasi milenial dan Z tumbuh di tengah berkembangnya teknologi dan era media sosial. Tentu hal ini membuat teknik komunikasi, cara berserikat, hingga aktivismenya berbeda.

Pemerhati Sejarah Lampung, Arman AZ dan Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) PAI Lampung, Muhammad Ilyas pun berpendapat demikian. Menurut mereka ada perbedaan mencolok antara pergerakan mahasiswa zaman pra 1998 dan pasca 1998. Seperti intensitas aktivitasnya hingga cara pandang dalam menyikapi isu-isu di tengah masyarakat.

1. Perbedaan pergerakan mahasiswa zaman dulu dan sekarang

Dulu Pemerintah Bergerak karena Demo, Sekarang Terlecut Dipicu Viralpara mahasiswa peserta aksi unjuk rasa di depan gerbang utama kompleks Pemerintahan Provinsi Lampung, Kamis (15/9/2022). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Arman AZ mengatakan, adanya perbedaan pergerakan mahasiswa dulu dan sekarang ini sangat dimungkinkan karena adanya perbedaan situasi. Dulu suara masyarakat sangat terbatas, sehingga ada upaya perlawanan dari mahasiswa pada masa itu.

“Waktu itu mahasiswa banyak yang kritis dan skeptis karena mereka merasa dibatasi oleh rezim. Sementara pasca 98 jadi anomali, ketika semua sudah terbuka dan lebih demokrasi justru mahasiswa lebih banyak yang antipati dan pesimis,” katanya pada IDN Times, Jumat (19/5/2023).

Mahasiswa zaman dulu pun banyak melakukan demo, berkumpul, serta berdiskusi dan membahas suatu isu atau wacana nasional. Namun, menurut pandangannya sudah jarang ia temukan hal semacam itu sekarang ini.

Kebiasaan berkumpul dan berdiskusi antar mahasiswa ini pun makin hilang, Arman menyampaikan hal itu kemungkinan besar merupakan ulah dari adanya internet dan media sosial.

“Sebelum reformasi kita sulit internet. Handphone juga belum marak seperti sekarang ini. Transportasi juga tak semudah sekarang. Bahkan untuk mendapatkan buku bergizi saja sulit, harus gantian,” jelasnya.

Namun setelah reformasi, Indonesia mulai terbuka dengan iptek. Internet pun semakin baik, buku juga sudah tersedia secara e-file dan bisa diunduh dengan mudah.

“Makanya anak zaman sekarang rata-rata tidak punya sikap skeptis, malah antipati dan antisosial. Mereka sibuk skrol medsos dan bermain game. Kalau zaman dulu mereka banyak waktu luang dan waktu itu diisi dengan diskusi atau baca buku,” imbuhnya.

2. Punya musuh bersama dapat mempererat gerakan mahasiswa

Dulu Pemerintah Bergerak karena Demo, Sekarang Terlecut Dipicu ViralRibuan peserta demonstrasi tergabung dalam Aliansi Lampung Memanggil berbondong menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Provinsi Lampung, Rabu (13/4/2022). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Arman mengatakan, mahasiswa pra 1998 juga sangat kuat dan solid karena memiliki tujuan dan musuh bersama yakni Soeharto. Namun sekarang musuh mahasiswa sangat banyak sehingga terpecah. Bahkan dirinya sendiri pun bisa menjadi musuh.

“Antipati, pesimis, dan suka skrol medsos itu lah musuh diri sendiri. Terus ada juga senioritas. Ini juga bisa jadi tantangan mahasiswa saat ini. Di mana ada pengaruh senior terhadap pengambilan keputusan. Senior ini bisa dari lembaga atau organisasi yang diikutinya,” katanya.

Namun sisi positifnya dari perkembangan iptek ini, mahasiswa sekarang menjadi lebih mudah mendapatkan informasi. Isu-isu terkini lebih mudah didapatkan hanya dalam sekali sentuh dan hal itu tidak bisa didapatkan oleh mahasiswa pra reformasi.

Baca Juga: Kisah Personel Damkar Bandar Lampung, Jatuh dari Ketinggian Kala Tugas

3. Mahasiswa hari ini kritis, tapi terlalu sibuk dengan dunia mayanya masing-masing

Dulu Pemerintah Bergerak karena Demo, Sekarang Terlecut Dipicu Viralhttps://msinergicctv.com/kamera-cctv-lebih-efektif/

Sependapat dengan Arman, Praktisi Hukum Lampung, Muhammad Ilyas melihat mahasiswa sebagai agen perubahan dan penerus bangsa saat ini malah seperti tertidur pulas. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mayanya masing-masing. Berpegang pada gawainya sehingga kepekaan terhadap hak masyarakat itu hilang.

“Jadi bukan berarti mahasiswa hari ini tidak kritis. Mereka kritis, tapi terpecah karena kesibukan media sosialnya. Padahal dengan kondisi teknologi saat ini, mereka bisa saja mentransformasikan medsos sebagai alat kritik mereka,” katanya.

Ia melanjutkan, saat ini jika mahasiswa diajak demo menyuarakan aspirasi masyarakat, bisa dipastikan hanya beberapa orang saja muncul di lapangan. Mereka terlalu malas dan sudah hanyut ke dunia maya.

“Mereka itu mikirnya sudah orasi, konsolidasi susah-susah, belum tentu didengar, jalan capek pula. Kalau zaman dulu itu cara mahasiswa supaya mau didengar (pemerintah) harus sampai chaos. Settingnya harus begitu. Entah ngerubuhin pagar atau apapun. Barulah ramai dan diliput media,” jelasnya.

4. Dulu mahasiswa turun ke jalan mewakili masyarakat, sekarang masyarakat beraksi sendiri dengan memviralkannya

Dulu Pemerintah Bergerak karena Demo, Sekarang Terlecut Dipicu ViralUnsplash.com/Jakob Owens

Ilyas juga sempat menyinggung soal ‘viral dulu baru diusut’ yang kini sedang tren di media sosial. Menurutnya saat ini kata ‘viral’ cukup ditakuti oleh pejabat pemerintahan. Karena kasus viral sekarang kebanyakan tentang mengulik kebijakan pemerintah dan kontroversi lainnya.

“Hari ini negara, pemerintah itu lebih takut pada hal-hal viral ketimbang demonstrasi. Karena viral itu bisa langsung diakses setiap orang. Artinya pemerintah melihat dampaknya dari viral itu. Contoh kasus Bima. Pertama Bima itu kan menggunakan hak sipil politiknya, kebebasan berekspresi menyampaikan hak masyarakat yang negara belum hadir di dalamnya,” paparnya.

Ia menilai, hal ini menjadi tamparan untuk para mahasiswa. Di mana ternyata suara individu ternyata bisa lebih didengar oleh pemerintah dengan aksi viralnya tersebut.

“Justru mahasiswa hari ini tidak jeli terhadap hal-hal yang seperti itu. Dulu mahasiwa turun ke jalan itu mewakili suara emak-emak di dapur, sekarang semua itu diambil alih karena emak-emak pun hari ini bisa aksi,” jelasnya.

5. Mengkritisi pemerintah tak perlu sopan santun

Dulu Pemerintah Bergerak karena Demo, Sekarang Terlecut Dipicu ViralTribun

Ilyas mengatakan, aksi individu seperti kasus Bima lalu didukung masyarakat Lampung itu bukan termasuk pergerakan mahasiswa. Karena gerakan mahasiswa tidak tercipta secara instan dan melalui beberapa tahapan.

“Dulu media mahasiswa viral cuma lewat media massa. Sekarang sudah banyak aplikasi. Sebenarnya mahasiswa bisa ambil peran itu untuk mengkritisi negara hari ini,” imbuhnya.

Ia juga mengatakan, dalam mengkritik pemerintah pun tak perlu sopan santun. Jika faktanya demikian maka harus dikritik sesuai faktanya. Sopan santun hanya berlaku untuk orang tua dan guru. Justru jika mengkritik pemerintah menggunakan sopan santun bisa jadi munafik atau oportunis. 

“Saya apresiasi Bima itu. Karena kebebasan berekspresinya disampaikan. Masalah cara dan gayanya itu kan kembali ke orangnya. Gak perlu sopan santun kalau mau kritik pemerintah. Soalnya kalau hari ini sopan santun, gak bakal didengar,” tukasnya.

Baca Juga: Nestapa Warga Lampung Rela Rogoh Kocek Pribadi Perbaiki Jalan Rusak

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya