TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menyelisik Minimnya Partisipasi Perempuan Pilkada 2024 Lampung

Akademisi Unila ungkap beberapa faktor pemicu

Ilustrasi Pilkada (IDN Times/Foto: Dok. KPU)

Intinya Sih...

  • Budaya patriarki dan stereotip gender membatasi partisipasi perempuan dalam Pilkada 2024.
  • Perempuan menghadapi akses terbatas terhadap jaringan politik, akses biaya kampanye, serta dukungan keluarga dan masyarakat.
  • Keterpilihan perempuan lebih tinggi karena kualitas, kompetensi, strategi kampanye efektif, dan dukungan pemilih perempuan serta organisasi gender.

Bandar Lampung, IDN Times - Budaya patriarki hingga stereotip gender dinilai menjadikan faktor kuat pemicu minimnya partisipasi perempuan maju mencalonkan diri di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, partisipasi perempuan tercatat hanya sebanyak 18 orang mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur di Pilkada 2024.

Lalu di tingkat bupati dan wakil bupati, jumlah calon kepala daerah perempuan mencapai angka 210 orang. Sedangkan untuk tingkat wali kota dan wakil wali kota 81 perempuan turut bersaing dalam kontestasi politik lokal.

"Faktor kuat memengaruhi persentase perempuan minim maju di Pilkada ialah, budaya patriarki masih kuat di banyak daerah di Indonesia dan stereotip gender juga menempatkan perempuan dalam peran domestik bukan pada urusan publik," ujar Akademisi Universitas Lampung (Unila), Darmawan Purba dikonfirmasi, Jumat (20/9/2024).

1. Akses jaringan politik terbatas hingga punya tanggung jawab ganda

Akademisi Unila, Darmawan Purba. (Instagram/@hmjpemerintahan).

Darmawan melanjutkan, faktor budaya patriarki hingga stereotip gender menimbulkan faktor turunan lainnya yakni, perempuan seringkali memiliki akses terbatas terhadap jaringan politik dan akses biaya kampanye politik yang besar. Alhasil, parpol sering kali lebih memilih laki-laki sebagai calon kepala daerah karena dianggap lebih memiliki daya tarik elektoral.

Selain itu, perempuan juga seringkali harus menghadapi tantangan tanggung jawab ganda antara peran sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga dengan peran di ranah publik selaku kepala daerah.

"Banyak perempuan tidak mendapatkan dukungan penuh dari keluarga atau masyarakat, untuk berkarier di dunia politik. Di beberapa daerah, ada norma budaya yang sangat ketat terkait peran perempuan di masyarakat sehingga sulit mendapatkan legitimasi atau dukungan," bebernya.

2. Keterbatasan pengalaman politik dan pandangan sosok pemimpin negatif

Faktor lainnya ialah perempuan dinilai memiliki akses lebih terbatas terhadap pendidikan dan pengalaman politik dibandingkan laki-laki, hingga persepsi pandangan publik terhadap kepemimpinan perempuan masih acapkali dilihat negatif.

"Banyak pemilih yang lebih percaya pada kemampuan laki-laki untuk memimpin, terutama di posisi eksekutif seperti bupati, wali kota, atau gubernur," katanya.

3. Calon kepala daerah perempuan harus berjuang melawan diskriminasi terselubung

Terkait persoalan ini, Darmawan menyampaikan, hukum dan kebijakan Indonesia sejatinya telah menerapkan prinsip inklusif, non-diskriminatif, dan transparan dalam mencalonkan sosok perempuan sebagai kepala daerah.

Namun sayangnya, dalam praktik pelaksanaannya prinsip-prinsip tersebut masih menghadapi berbagai tantangan struktural, kultural, dan sosial. Meski terdapat kemajuan, tetapi perempuan masih harus berjuang melawan diskriminasi terselubung, kurangnya dukungan partai politik dan keterbatasan dalam akses ke sumber daya dan jaringan politik memadai.

"Upaya lebih lanjut diperlukan untuk memastikan bahwa pencalonan perempuan dalam politik, termasuk Pilkada, benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip tersebut secara utuh," imbuhnya.

Berita Terkini Lainnya