TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Millenials Lampung Tekuni Bisnis Start Up, Gali Potensi Desa 

Potensi besar di Lampung, tapi banyak baru sebatas ide

Ilustrasi startup (IDN Times/Umi Kalsum)

Bandar Lampung, IDN Times - Bisnis rintisan (start up) kian menjadi magnet millennials Lampung. Mereka tertarik menekuni bisnis itu. Bahkan ada tergabung dalam Forum Start Up Lampung. Forum itu berkolaborasi dengan roadshow gerakan 1.000 start up.

Nah kali ini IDN Times akan merangkum cerita pendiri start up Lampung sudah menemukan pasarnya. Tentu itu melalui perjalanan yang panjang dan terjal. Karena membangun bisnis tak seindah di film-film bukan?.

Yuk simak cerita lengkapnya di bawah ini.

1. Lampung memiliki potensi besar di 2.435 desa

Kantor Desa Labangka salah satu desa di Kecamatan Babulu (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Dalam acara roadshow gerakan start up digital digelar secara dalam jaringan itu menghadirkan pengelola Lampung Smart Village Davit Kurniawan. Perusahaan dipimpinnya bergerak di bidang IT. Fokusnya adalah mengembangkan teknologi digital di desa.

Davit menceritakan bagaimana perjalanannya mendirikan start up digital itu seorang diri. Namun saat ini aplikasinya sudah digunakan 12.745 desa seluruh Indonesia.

"Bendera perusahaan kami ini dikenal dengan nama Darmajaya Digital Solusi. Karena lahir dari kampus IIB Darmajaya. Kita fokus ke pemerintahan desa. Karena kita melihat potensi besar di Lampung belum terekspose. Padahal ada 2.435 desa tapi potensinya baru sebatas ide bukan aksi," papar Davit.

Baca Juga: Cerita Unik Si Bolang Desa Palembapang Bertemu Bupati Lampung Selatan

2. Lampung kekurangan sirkuit untuk start up

Pexels/Startup Stock Photos

Davit juga menyoroti terkait talent digital di Lampung cukup banyak yang memiliki kemampuan  mumpuni. Tapi, mayoritas setelah memiliki kemampuan mereka berkiprah di luar Lampung.

"Talent di Lampung ini banyak, tapi forum komunikasi atau ajang sirkuit berkreasi belum ada sehingga munculnya tidak banyak. Kalau pun ada mereka memilih di luar lampung," ungkapnya.

3. Persoalan ada pada pemerintahan

pexels.com/Startup Stock Photos

Davit akhirnya membuat sirkuit start up melalui aktivitas parsial bersama orang-orang bergerak dibidang IT pada 2017 lalu. Menurutnya mendirikan start up sama seperti grup band. Harus saling melengkapi, tidak bisa bermain gitar sendiri tanpa vokalis dan drummer.

Awalnya Davit hanya membayangkan sebuah desa memiliki satu orang yang mampu mengoperasikan coding. Atau dari 2.453 desa di Lampung setiap desa memiliki produk unggulan sehingga bisa dibuat market place.

Namun setelah melakoni bisnisnya, Davit menemukan persoalan yang terjadi pada masyarakat desa terletak pada pemerintahannya. Menurutnya ekonomi desa bergerak apabila pemerintahnya dibenahi.

"Tapi kita bukan pemerintah masa kita mau benerin pemerintahnya ngapain?. Dari situ saya diskusi dengan teman-teman di Jogja bagaimana menata pemerintahan secara digital," ceritanya.

4. Berbuat dari hal sederhana

Ilustrasi ekonomi digital (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Itulah awal Davit mengembangkan desa digital. Bermula dari membuat aplikasi yang tampilannya sederhana digunakan beberapa desa secara gratis. Hingga kini sudah digunakan tidak hanya desa Lampung tapi seluruh Indonesia.

"Setelah itu, bisnis start up di Lampung mulai banyak. Jadi ketika kita bisa memberi sirkuit maka akan melahirkan banyak orang. Akhirnya orang itu akan membantu usaha kita atau usaha teman lain," kata Davit.

Bahkan Davit mengajarkan coding pada salah satu warga desa terpencil yang sulit mengakses internet. "Dia bisa tanpa kuliah. Inilah kalau kita mau turun dan berbuat kita akan dapat yang kita inginkan," ujarnya.

Baca Juga: Kisah Warga Bandar Lampung Olah dan Sedekah Sampah, Anggap Berkah

Berita Terkini Lainnya