Dari beberapa dampak tersebut, Ghufroni berpesan agar mempertimbangkan secara etis dari penggunaan teknologi AI dalam sastra industri. Menurutnya, para penulis, editor dan penerbit harus mempertimbangkan kualitas dan keaslian karya yang dihasilkan oleh teknologi ini serta dampaknya terhadap pasar kerja dan industri sastra secara keseluruhan.
Menurutnya, kekhawatiran utama para pelaku seni bukanlah matinya kreativitas individu, melainkan kemungkinan adanya pergeseran sistem kerja di mana pemanfaatan AI dianggap lebih efisien dan murah dibanding mengupah pekerja manusia.
Selain itu menurutnya, masalah hak cipta karya dihasilkan teknologi AI masih menjadi yang tertinggi. Karya dihasilkan oleh AI seringkali meminjam gaya atau gaya dari seniman manusia, sehingga sulit untuk menentukan siapa yang berhak atas hak cipta.
“Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hak cipta harus diberikan kepada pemilik perangkat lunak AI. Sementara yang lain berpendapat bahwa hak cipta harus diberikan kepada seniman yang dijadikan referensi oleh perangkat lunak AI,” jelasnya.
Ghufroni menyarankan diperlukan peran pemangku kebijakan dan eksekutif korporasi untuk mempertimbangkan secara etis dari penggunaan teknologi AI dalam industri kreatif. Terutama dalam hal hak cipta dan penghargaan terhadap profesi seniman.
Serta perlu dilakukan diskusi dan pembuatan regulasi yang jelas untuk mengatasi masalah ini agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi para seniman dan pekerja kreatif.
“Perlu diingat penggunaan teknologi AI dalam korporasi tidak dapat dilakukan semata-mata dengan orientasi efisiensi biaya semata. Sebaliknya, penggunaan teknologi AI harus mempertimbangkan aspek kreativitas manusia yang tidak dapat dibatasi oleh mesin.