Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Proses evakuasi penangkapan harimau sumatra masuk kandang jebakan di Lampung Barat. (DOK. Satgas Penanganan Konflik Satwa Liar di Lambar).
Proses evakuasi penangkapan harimau sumatra masuk kandang jebakan di Lampung Barat. (Dok Satgas Penanganan Konflik Satwa Liar di Lambar).

Intinya sih...

  • Tim penanganan konflik harus melibatkan kepala daerah dan akademisi

  • Penyusunan SOP yang jelas diperlukan untuk menghindari saling lempar tanggung jawab antarinstansi

  • Dorong penyusunan mitigasi jangka panjang, termasuk pemetaan wilayah rawan dan pengawasan titik-titik hotspot

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung bakal memverifikasi ulang surat keputusan (SK) Tim Koordinasi Penanganan Konflik Manusia–Satwa Liar dibentuk sejak 2021 dinilai belum berjalan optimal.

Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela mengatakan, forum koordinasi penanganan konflik manusia dengan satwa liar selama ini dibentuk belum berjalan maksimal. Bahkan masih terdapat pimpinan daerah belum mengetahui keberadaan forum tersebut.

"Kondisi ini menghambat upaya penanganan konflik dan perlu segera dibenahi. SK Tim Koordinasi Penanganan Konflik Manusia–Satwa Liar selama ini perlu diverifikasi ulang," ujarnya, Sabtu (16/8/2025).

1. Tim penanganan diminta libatkan kepala daerah hingga akademisi

Rapat koordinasi tim penanggulangan konflik manusia dan satwa liar di Provinsi Lampung. (Dok. Pemprov Lampung).

Upaya verifikasi ulang tersebut, Jihan menekankan, tim penanganan konflik manusia dengan satwa liar nantinya harus mencakup keanggotaan lebih luas. Termasuk melibatkan bupati/wali kota, media, hingga akademisi.

"Pemerintah daerah mendorong langkah strategis dan terukur, dalam menangani konflik antara manusia dan satwa liar dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat, khususnya sejak 2014," kata dia

Menurutnya, keterlibatan akademisi sangat penting untuk melakukan riset berkala mengenai dinamika populasi satwa liar dan kondisi habitatnya. "Data ilmiah dari riset ini akan menjadi dasar dalam merumuskan langkah penanganan dan kebijakan,' lanjut Jihan.

2. Tekankan penyusunan SOP yang jelas

Penampakan harimau tertangkap kandang jebakan di Suoh, Kabupaten Lampung Barat. (DOK. Satgas Penanganan Konflik Satwa Liar Kabupaten Lampung Barat).

Selain penguatan kelembagaan, Jihan juga menyoroti pentingnya penyusunan standar operasional prosedur (SOP) dan mitigasi penanganan konflik. Pasalnya, penanganan di lapangan selama ini sering terkendala saling lempar tanggung jawab antarinstansi.

Keberadaan SOP jelas tersebut, harus memuat peraturan pembagian tugas yang tegas. Termasuk penentuan pihak harus bertindak pertama, langkah penanganan diambil, serta target waktu penyelesaian.

"Penyusunan SOP penanganan konflik harus jelas, siapa yang bertanggung jawab dan apa yang dikerjakan, sehingga mitigasi penanganan konflik bisa berjalan efektif,” ucapnya.

3. Dorong penyusunan mitigasi jangka panjang

Posko Tim Penanganan Konflik Satwa Liar di Pesisir Barat. (Dok. Polres Pesibar).

Jihan menambahkan, pemerintah daerah turut mendorong penyusunan mitigasi jangka panjang, antara lain meliputi pemetaan wilayah rawan, pemasangan tanda peringatan atau banner, serta pengawasan titik-titik hotspot.

“Kita juga harus mempertimbangkan pembagian wilayah kerja antara provinsi dan kabupaten/kota, terutama daerah yang memiliki kawasan hutan dan rentan konflik," imbuhnya

Dukungan anggaran hingga keterlibatan mitra terkait menjadi kunci keberhasilan penanganan permasalahan konflik antar manusia dengan satwa liar tersebut. "Kita perlu melakukan mitigasi jangka panjang melalui pemetaan wilayah rawan," sambung Wagub.

4. Catat 260 konflik manusia dengan satwa liar per tahun

Tangkap layar video amatir saat warga menemukan jasad korban Ujang, petani tewas dimangda Harimau di wilayah TNBBS, Lampung Barat. (IDN Times/Istimewa).

Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Lampung selama satu dekade atau sepuluh tahun terakhir, interaksi negatif manusia dengan satwa liar tergolong cukup tinggi, mulai dari konflik manusia-gajah gajah di Way Kambas rata-rata terjadi 185 kali per tahun di 13 desa terdampak. Sedangkan di Bukit Barisan Selatan tercatat rata-rata 53 kejadian per tahun di 12 desa.

Kemudian konflik manusia–harimau, tercatat rata-rata 22 kejadian per tahun di 14 desa, dengan dampak kehilangan ternak sebanyak 192 ekor serta korban jiwa manusia.

Editorial Team