Aktivitas kendaraan di tol Bakter selama periode Lebaran 2025. (Dok. PT BTB Toll).
Aditya mengungkapkan tarif tol Bakter tergolong tinggi utamanya dipengaruhi oleh biaya konstruksi dan pemeliharaan yang besar, karakter jaringan masih belum sepenuhnya terhubung antarruas, serta volume kendaraan yang rendah hingga beban biaya dibagi kepada pengguna yang lebih sedikit.
Menurutnya, sederet faktor-faktor tersebut membuat tarif per kilometer harus diakui bersama lebih tinggi, bila dibandingkan wilayah dengan trafik padat.
"Jadi tarif tol di Sumatera umumnya lebih mahal karena biaya investasi dan operasional harus dipulihkan dari jumlah kendaraan yang jauh lebih rendah dibandingkan di Jawa, sehingga tidak terjadi skala ekonomi. Sementara di Jawa, volume kendaraan besar memungkinkan tarif ditekan lebih rendah karena biaya dapat tersebar lebih luas," katanya.
Lebih lanjut Aditya menjelaskan, rendahnya trafik kendaraan tidak menjadikan biaya pemeliharaan fisik naik, tetapi membuat biaya per kendaraan menjadi lebih besar karena total biaya tahunan dibagi ke jumlah lalu lintas masih rendah. Kondisi itu otomatis membuat tarif akhir yang dibayar pengguna menjadi relatif lebih tinggi.
Di samping itu, MTI menilai bahwa penyesuaian tarif pantas bagi wilayah Sumatera, termasuk Provinsi Lampung harus mempertimbangkan kemampuan bayar masyarakat, tingkat peningkatan layanan, dan elastisitas permintaan.
"MTI mendorong agar penyesuaian tarif dilakukan secara bertahap dan berbasis kinerja. Kami siap memberikan masukan teknis, karena sebelumnya telah ikut dalam diskusi dengan pihak operator jalan tol," tegas akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL) tersebut.