Kisah Pilu SD Moro Dewe, Guru Tanam Singkong untuk Operasional Sekolah

Tidak ada akses pendidikan di Register 45 Mesuji

Bandar Lampung, IDN Times - Ada Sekolah Dasar (SD) terletak di daerah Register 45 bernama di Kabupaten Mesuji Lampung berdiri sejak tahun 2000. SD Moro Dewe namanya.

SD itu masih tetap beroperasi meski dengan segala keterbatasan yang ada. Keterbatasan itu dari segi fasilitas yang dibutuhkan untuk mengajar maupun fasilitas pengajar yang mumpuni.

SD Moro Dewe didirikan oleh warga setempat lantaran tidak adanya akses pendidikan bagi anak-anak yang tinggal di daerah Register 45. Berikut beberapa fakta sekolah tersebut.

1. Menanam singkong untuk memenuhi biaya operasional sekolah

Kisah Pilu SD Moro Dewe, Guru Tanam Singkong untuk Operasional SekolahAnak-anak SD Moro Dewe saat menerima donasi buku bacaan (IDN Times/Silviana)

Selama 20 tahun berdiri, tiga orang guru di SD Moro Dewe mengolah lahan yang ada di belakang sekolah menanam singkong. Hasilnya digunakan untuk menggaji para guru dan membeli perlengkapan sekolah. Lahan tersebut merupakan pemberian warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan sekolah SD Moro Dewe yang tidak mendapat fasilitas dari pemerintah. 

Maysaroh, salah satu guru yang sudah mengajar selama empat tahun di SD tersebut, tak keberatan dengan gaji seadanya yang dia terima. Menurutnya, dia hanya ingin anak-anak di daerah Moro Dewe bisa mengakses pendidikan dengan mudah.

“Jadi kalau nanem singkong itu kan mulai dari pengolahan lahan sampai perawatan yang ngerjain orang lain. Nanti sisa buat bayar perawatan tanaman itu baru dipake buat gaji guru," ujar Maysaroh saat dihubungi, Kamis (26/11/2020).

Dalam waktu tujuh bulan biasanya singkong sudah bisa dipanen. Untuk penghasilan tidak menentu, karena harga singkong bisa berubah-ubah. Menurutnya, tahun lalu karena harga murah hanya menghasilkan Rp8 juta dari lahan seluas satu hektare seperempat.

“Sisa dari ngembaliin modal tanam singkong dan perawatan itu masih 3,6 juta. Nah uang itu kemudian dibagi tiga orang guru yang mengajar ini,” tuturnya.

2. Tak semua siswa mampu membayar uang SPP

Kisah Pilu SD Moro Dewe, Guru Tanam Singkong untuk Operasional SekolahSiswa-siswi SD Moro Dewe Mesuji Lampung (IDN Times/Silviana)

Siswa-siswi SD Moro Dewe membayar uang SPP sekolah sebesar Rp40 ribu per anak. Namun dari total 16 siswa yang ada di SD tersebut, hanya beberapa saja yang mau membayar itu pun tidak rutin setiap bulan.

Bahkan ada beberapa anak yang selama tiga tahun belum pernah membayar. Namun para guru tak mempermasalahkan hal itu. Terpenting, semua anak diberi pelajaran dan pendidikan yang sama meski pun tidak membayar uang SPP.

Baca Juga: Kisah Inspiratif Iin Muthmainnah Mendongeng hingga Pelosok Negeri

3. Kelas 3 dan 4 digabung menjadi satu kelas

Kisah Pilu SD Moro Dewe, Guru Tanam Singkong untuk Operasional SekolahIDN Times/Istimewa

Tak ada fasilitas apa pun yang ada di SD Moro Dewe. Hanya buku-buku hasil dari pemberian komunitas baca dan salah satu alumni yang berhasil meraih pendidikan hingga gelar magister. Saat ini hanya ada tiga pengajar di SD Moro Dewe, dua pengajar adalah lulusan SD dan SMP sedangkan satunya sedang Kuliah di Universitas Terbuka.

Sistem belajar di Moro Dewe jelas sangat jauh berbeda dengan sekolah resmi pada umumnya. Di Moro Dewe, di dalam satu kelompok belajar, berisi siswa yang berbeda kelas. Alasannya, jumlah siswa hanya sedikit.

“Jadi kelas 3 dan 4 digabung, terus 5 dan 6. Kita nggak ada kelas 1 jadi kelas 2-nya 1 kelas. Ya walau pun sedikit tapi kan tetap apa ya susah gitu yang sebelah lagi dikte yang sebelahnya ngerjain soal jadi mereka susah fokus,” terangnya.

4. Anak SD Moro Dewe merasa minder dengan anak sekolah lain

Kisah Pilu SD Moro Dewe, Guru Tanam Singkong untuk Operasional SekolahIDN Times/Silviana

Menurut Maysaroh hal tersulit yang dia rasakan selama mengajar di SD Moro Dewe adalah menjelaskan kepada anak-anak tentang kondisi sekolah mereka yang tidak memungkinkan untuk bisa sama seperti sekolah lain.

“Kan anak-anak taunya sekolah lain itu ada fasilitas banyak kaya untuk olahraga, terus kegiatan ekskul gitu. Jadi mereka suka minder dan merasa dikucilkan sama anak sekolah lain,” paparnya.

Tak hanya itu, Maysaroh juga merasa miris dengan kondisi sekolah setiap usai libur. Buku-buku yang awalnya tersusun rapi jadi berantakan. Pintu dan perlengkapan lain yang ada di dalam kelas juga dirusak.

“Jadi sapu, jam dinding itu pada di rusak sama anak-anak yang jail itu. Sampe pintu tiga-tiganya udah rusak lagi sekarang. Padahal beum lama ini diganti,”ujarnya.

Menurutnya yang merusak tersebut adalah anak-anak dari sekolah lain yang sedang mencari sinyal di sekitar SD Moro Dewe. Meski sudah ditegur namun mereka tetap saja melakukan itu berulang kali.

“Mereka kalau dikasih tau malah gak suka gitu. Terus kadang gak ngaku juga walaupun udah jelas-jelas ketahuan,” jelas Maysaroh.

5. Berharap ada pendidikan tentang teknologi untuk guru

Kisah Pilu SD Moro Dewe, Guru Tanam Singkong untuk Operasional SekolahIDN Times/Silviana

Di tengah pandemik yang serba menggunakan teknologi ini, Maysaroh merasa perlu adanya pelatihan bagi guru di SD Moro Dewe tentang penggunaan teknologi seperti komputer. Menurutnya dari tiga guru di sana tak ada satu pun yang benar-benar paham menggunakan teknologi tersebut.

Selain itu, SD Moro Dewe juga sempat melakukan belajar secara daring selama dua bulan di awal pandemik. Namun hasilnya tak maksimal, anak-anak justru tak mengikuti pelajaran sama sekali.

“Ya itu karena ada yang gak punya HP. Terus kalau pun punya HP orang tuanya nggak mau memperhatikan anaknya untuk ngerjain tugas yang udah di kasih. Jadi tugasnya itu lewat gitu aja. Bahkan kalau yang nggak punya HP nggak belajar sama sekali selama 2 bulan itu,” terangnya.

Merujuk kondisi itu, saat ini Maysaroh memutuskan untuk sekolah secara tatap muka. Alasannya, sebentar lagi akan memasuki ujian semester. Dia khawatir anak didiknya tidak ada persiapan untuk menghadapi soal semester. 

Baca Juga: Berinovasi di Tengah Pandemik, Siswanto Bikin Sepeda dari Bambu

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya