Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan Tahun

Kerusakan paling parah terjadi di kawasan hutan industri

Bandar Lampung, IDN Times - Kerusakan hutan di Lampung saat ini berdasarkan data Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung mencapai 30 sampai 40 persen. Kerusakan tersebut dinilai cukup parah karena melebihi angka 10 persen. Bahkan hingga hari ini belum ada perubahan atau perbaikan signifikan untuk kondisi hutan lindung di Bumi Ruwa Jurai ini.

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri menyampaikan, kawasan hutan primer di Lampung hanya tersisa sedikit lagi dan sebagian besar berada di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

“Angka kerusakan 30 persen itu cukup mewakilkan untuk menyatakan status kerusakan hutan cukup parah. Kecuali masih di bawah 10 persen, masih relatif rendah. Hutan lindung sendiri bisa dibilang kuantitasnya cukup kecil,” kata pria berkacamata itu kepada IDN Times, Kamis (12/1/2022).

Menurut Irfan, angka pasti dibutuhkan untuk memperbaiki hutan Lampung adalah selama 30 sampai 50 tahun. Sebab realitanya, perbaikan hutan yang rusak tidak bisa dipulihkan dalam waktu bersamaan.

Irfan mengasumsikan, jika menebang kawasan hutan seluas 10 hektare bisa selesai dalam waktu 3 sampai 5 tahun, maka upaya untuk menumbuhkan kembali butuh waktu puluhan tahun.

“Belum lagi, kalau kita dikaitkan dengan alasan klasik pemerintah masalah keterbatasan anggaran. Jadi upaya rehabilitasi lingkungan itu, biaya dan waktu pemulihan tidak berbanding lurus dengan apa yang telah didapatkan," paparnya.

"Misal pemerintah mendapat pajak atau PNBP dari perubahan kawasan hutan, kan pajaknya sangat kecil. Tapi biaya yang akan dikeluarkan untuk memulihkan kawasan hutan tersebut berpuluh kali lipat atau bahkan ratusan kali lipat lebih tinggi,” jelasnya.

1. Lampung menjadi percontohan sistem perhutanan sosial secara nasional

Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan TahunTN Bukit Barisan Selatan (instagram.com/aguskusmawanto)

Menurut Irfan, hutan di Lampung memiliki karakteristik geografis cukup bervariasi. Mulai dari kawasan hutan berada di dataran rendah, rawa, dataran sedang sampai di dataran tinggi. Ciri khasnya adalah menjadi bagian dari ekosistem landscape Bukit Barisan yang membentang sampai Provinsi Lampung serta keanekaragaman satwa flora dan fauna hutan di Lampung memiliki harimau, badak, gajah yang tidak bisa ditemukan di wilayah lain.

“Di wilayah pantai barat Lampung ada ekosistem Rafflesia mungkin hanya ada di Lampung dan Bengkulu. Di sisi lain, Lampung menjadi percontohan sistem perhutanan sosial secara nasional. Itu adalah program HKN telah lama dijalankan dari tahun 90an dan sampai hari ini sudah bisa kita lihat hasilnya,” jelasnya.

Namun menurutnya, penerbitan SK Dinas Sosial yang baru, tidak bisa dipungkiri secara signifikan keberhasilannya masih cukup minim. Sebab, per 2022 ada SK Perpu baru dari KLHK tentang penetapan kawasan hutan. Sehingga, awalnya kawasan hutan di Lampung luasnya 1.004.735 hektare. Setelah dihitung ulang menjadi 948.641,07 hektare dengan persentase kawasan hutan 28,14 persen. 

Irfan mengatakan, seharusnya perbaikan kawasan hutan dari pemerintah melalui skema perhutanan sosial. Namun, bagi sebagian besar masyarakat atau pemerintahan, perhutanan sosial merupakan hal baru, karena baru ada payung tetapnya di tahun 2016 melalui Permen LHK No 83 Taun 2016.

“Jadi rentang waktu 2016 sampai 2022 ini kan mungkin belum ada hasil yang cukup signifikan bisa kita lihat. Misal, apakah telah terjadi perubahan tutupan lahan yang tadinya warna cokelat karena minim tanaman dan seekarang sudah berubah warna menjadi hijau. Itu kan jangka waktu selama 6 tahun ini sebentar dan secara signifikansi belum bisa kita lihat hasilnya,” jelasnya.

2. Kerusakan paling parah terjadi di kawasan hutan industri

Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan TahunPixabay.com

Terkait alih fungsi atau penurunan kualitas kawasan hutan di Lampung menurut Irfan disebabkan beberapa hal, di antaranya aktivitas illegal logging, pinjam pakai kawasan hutan dan aktivitas masyarakat memiliki ketergantungan terhadap sumber daya alam di dalam kawasan hutan. Tiga hal tersebut menurutnya cukup mendominasi sebagai sumber perubahan kawasan hutan di Provinsi Lampung.

“Kerusakan paling parah terjadi di kawasan di dalam  hutan produksi terutama hutan produksi yang dibebani izin-izin tanaman industri. Hutan Tanaman Industri (HTI) di Lampung ada di Kabupaten Mesuji, Way Kanan dan Lampung Utara,” bebernya.

Menurutnya, tingkat kerusakan tersebut disebabkan karena hutan seharusnya ditanami kayu justru ada yang ditanami singkong atau tebu. Kemudian, selama ini tingkat signifikansi kawasan hutan belum bisa terlihat karena laju kerusakan kawasan hutan dengan laju upaya rehabilitasi tidak seimbang.

“Bahkan catatan di tahun lalu ada jarak sekitar 150 ribu sampai 200 ribu hektare antara laju kerusakan dengan rehabilitasi yang dilakukan. Kalau tidak salah, laju kerusakan diangka 300 ribu tapi upaya rehabilitasi dilakukan baru di angka 50 ribuan. Jadi lebih dari 100 ribu hektare hutan kita masih mengalami kerusakan dan sebarannya didominasi di kawasan hutan produksi,” paparnya.  

Baca Juga: Berkaca Kasus KONI Lampung, DPRD dan Jaksa Perketat Awasi Dana Hibah

3. Kepadatan hutan di Lampung masih cukup bagus

Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan TahunKebun Raya Liwa (instagram.com/lambargeh)

Kendati demikian, menurut Irfan sampai hari ini upaya perbaikan hutan di Lampung terus dilakukan. Namun harus menunggu dalam waktu cukup lama sampai hasilnya benar-benar terlihat. Menurutnya, tingkat kepadatan hutan primer di Lampung masih cukup bagus sebagian besar berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Kemudian untuk kawasan hutan lindung secara tutupan lahannya masih bagus berada di Batu Tegi, Gunung Rajabasa, Gunung Tanggamus dan Liwa.

“Memang yang paling parah bisa dibilang dengan luas puluhan ribu hektare tapi pohonnya bisa dihitung dengan jari ya di kawasan hutan produksi yang dibebani izin seperti di Register 45, Sungai Buaya Mesuji, Wilayah konsesi PTN Hutani Lampung Utara, Way Kanan, Register 42 dan Register 44,” jelasnya.

Irfan mengatakan, jika dikaitkan dengan perbuhan iklim, maka kerusakan di kawasan hutan produksi tidak bisa di biarkan begitu saja. Sehingga harus ada langkah konkret dilakukan pemerintah memiliki kewenangan untuk mengembalikan fungsi kawasan hutan produksi tersebut. Menurutnya, semakin rusak kawasan hutan produksi, nilai jasa lingkungannya akan semakin kecil.

“Tapi ketika dilakukan perbaikan, nilai jasa lingkungannya akan semakin tinggi. Di sisi lain, wilayah hutan produksi yang dibebani izin HTI tersebut, ternyata merupakan wilayah  terjadi konflik sosial atau konflik pertanahan antara masyarakat dengan pemegang izin. Tentunya konflik tersebut harus dituntaskan oleh pemerintah,” ujarnya.

Irfan mencontohkan kasus di Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji, yang sudah berlangsung lama dan belum ada penyelesaian. Bahkan di tahun 2011 dan 2012 pernah terjadi puncak ledakan konflik hingga menewaskan beberapa orang.

“Tapi ternyata upaya dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut juga tidak serius. Sampai hari ini konflik tersebut masih terjadi di register 45,” terangnya.

4. Perbaikan fungsi hutan bisa menurunkan angka emisi dan menambah cadangan karbon

Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan TahunIlustrasi hutan (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Tidak kalah penting menurut Irfan adalah konflik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus terjadi. Menurutnya konflik tersebut berpengaruh terhadap upaya mitigasi perubahan iklim.

Itu karena, di wilayah pesisir memiliki potensi cadangan karbon cukup tinggi. Namun koflik pengelolaan ruang laut di wilayah laut timur Lampung antara nelayan dengan izin usaha pertambangan pasir laut masih terus terjadi di Provinsi Lampung.

Bahkan baru-baru ini  pemerintah pusat telah menerbitkan SK wilayah izin pertambangan atau IUP seluas 1.000 hektar di wilayah pantai timur Lampung. Itu masuk kawasan Kabupaten Lampung Timur.

Menurut Irfan, entunya ketika alih fungsi lahan terjadi akan merubah fungsi dari lahan tersebut. Tadinya misal, ditetapkan sebagai lahan konservasi perairan atau kawasan perikanan tangkap ternyata dialihkan jadi pertambangan pasir laut. Itu akan berdampak pada upaya mitigasi perubahan iklim.

"Belum lagi misal, alih fungsi ekosistem mangrove yang tejadi, di mana ekosistem ini memiliki cadangan karbon lima kali lebih tinggi daripada hutan di daratan. Tapi ternyata di Provinsi Lampung, alih fungsi lahan mangrove hampir setiap tahun masih terjadi,” terangnya.

Irfan menambahkan, perbaikan fungsi hutan bisa menurunkan angka emisi dan menambah cadangan karbon yang ada sehingga bisa berkontribusi dalam menekan laju perubahan iklim global. Ada dua skema kontribusi bisa dilakukan.

Pertama, skema tanpa upaya yaitu bagaimana pun kondisi kawasan hutan di Lampung tetap bisa menambah cadangan karbon dan menekan laju emisi. Skema kedua, Tetap mempertahankan kondisi hutan yang baik dan memperbaikan kondisi hutan yang rusak.

 “Tentu itu akan menambah kemampuan lahan kita dalam menekan laju emisi dan memberikan potensi cadangan karbon. Tinggal semangat itu yang harus dilihat, apakah program rehabilitasi hutan dan lahan fungsi kawasan hutan itu sudah bisa dilihat hasilnya,” kata Irfan.

5. Sambut hari menanam pohon, Dishut Lampung tanam pohon nangka dan mahoni

Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan Tahunilustrasi menanam pohon (pexels.com/Thirdman)

Sementara itu, dalam rangka meyambut Hari Menanam Pohon Indonesia, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bersama beberapa UPT Kementerian LHK dan IPKINDO melakukan penaman pohon di Komplek Perkantoran Pemerintah Provinsi Lampung, Kota Baru pada November 2022 lalu.  Jenis tanaman digunakan pada kegiatan tersebut adalah MPTS dan pohon kayu.

Untuk jenis PMTS bibit nangka sebanyak 1.500 batang dan bibit eucalyptus sebanyak 500 batang. Sementara untuk jenis tanaman kayu terdapat bibit mahoni sebanyak 1.500 batang.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Ruchyansyah, kegiatan penanaman pohon adalah salah satu implementasi kegiatan Rehabilitasi Hutan Lahan (RHL) dan merupakan usaha untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Selain itu juga merupakan upaya untuk meningkatkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang merupakan indikator kinerja utama Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dalam RPJMD 2019-2024.

“Itu tertuang dalam 33 Janji kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2019-2024. Kegiatan RHL adalah salah satu upaya untuk mencapai Janji Kerja ke 32, yaitu Mengelola Lingkungan Hidup Untuk Kesejahteraan Rakyat,” katanya.

Ruchyansyah menyampaikan, kegiatan RHL bukan sekadar kegiatan menanam, namun  kegiatan merencanakan panen. Sehingga, selain dapat meningkatkan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL), diharapkan juga dapat meningkatkan pendapatan petani hutan.

6. Penguatan kelembagaan masyarakat sebagai ujung tombak di lapangan

Hutan di Lampung Rusak 30 Persen, Perbaikan Butuh Puluhan TahunKebun Raya Liwa (instagram.com/buddyhertawan)

Akademisi Universitas Lampung (Unila), Prof Christine Wulandari menambahkan, saat ini di Lampung banyak dilakukan program rehabilitasi hutan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)  juga BPDAS Way Seputih Way Sekampung. Bahkan menurutnya, banyak program pengelolaan hutan seperti pengembangan ekowisata.

“Program-program tersebut mengkombinasikan untuk mencapai tujuan kelestarian ekologi sekaligus ekonomi. Saat ini hampir semua KPH mengembangkan potensi lokasinya utk tempat wisata,” ujarnya.

Namun menurutnya masih ada tantangan untuk bisa menurunkan perambahan atau illegal logging. Sehingga salah satu strategi bisa diprioritaskan adalah penguatan kelembagaan masyarakat sebagai ujung tombak di lapangan.

“Penguatan ini meliputi keorganisasiannya untuk peningkatan bargaining positionnya agar tidak bermasalah ketika memasarkan hasil hutan,” jelas dosen Kehutanan Unila itu.

Baca Juga: Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di Indonesia

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya