Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di Indonesia

Kurangnya dokter spesialis masih menjadi persoalan serius

Bandar Lampung, IDN Times - Kurangnya dokter spesialis masih menjadi persoalan serius di negeri ini. Data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menunjukkan, dokter spesialis di Indonesia hingga saat ini sekitar 54.000. Sementara jumlah penduduk Indonesia sebanyak 275 juta jiwa. Itu artinya, hanya ada dua dokter spesialis untuk setiap 10.000 warga Indonesia.

Melalui artikel kolaborasi pekan ini, IDN Times mengulik berbagai perspektif disampaikan akademisi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dinas kesehatan berbagai provinsi, kepala daerah terkait kondisi terkini dokter spesialis di Indonesia, pesebaran di daerah, tantangan dihadapi dan solusi dapat diimplementasikan.

1. Faktor tak meratanya pesebaran dokter spesialis

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaPixabay.com/voltamax

Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yodi Mahendradhata, menyebut Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Papua dinilai masih kekurangan dokter spesialis. "Sedangkan di daerah lain cenderung menumpuk," ujar Yodi, Jumat (6/1/2023).

Banyak faktor menurutnya menyebabkan tidak meratanya dokter spesialis di Indonesia. "Isu utamanya distribusi dokter spesialis yang lebih merata. Ini terkait banyak faktor, antara lain disparitas kemajuan pembangunan, sosial ekonomi, infrastruktur kesehatan antardaerah," jelas Yodi.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim, dr. Erwin Astha Triyono menambahkan, dokter umum maupun spesialis di Jatim belum merata. Hal itu karena produksinya minim. Dia menyebut, saat ini ada 15.000 dokter terdiri dari umum dan spesialis di Jatim. Jumlah itu dirasa masih sangat kurang.

Jika jumlah idealnya 1:1.000, Erwin menyimpulkan, Jatim sebenarnya butuh sebanyak 40.000 dokter. Karena saat ini, jumlah penduduk Jatim ditaksir sudah tembus sebanyak 40.000.000 orang lebih.

Hal serupa juga diakui Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur tak menepis adanya kekurangan dalam persebaran tenaga medis tersebut di Bumi Mulawarman. Di provinsi ini, penempatan dokter spesialis terbanyak saat ini justru didominasi di wilayah perkotaan.

"Dokter spesialis lebih banyak di ibu kota provinsi seperti Samarinda dan Balikpapan. Sementara di tempat lain terlalu sedikit sebarannya," ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim dr Jaya Mualimin, saat dihubungi IDN Times.

Berdasarkan data diterima oleh media ini, memang terdapat ketimpangan distribusi dokter spesialis di daerah Kaltim. Terbanyak dimiliki oleh Balikpapan, yaitu 265 dokter spesialis. Kemudian disusul Samarinda sebanyak 240 dokter.

Sementara di wilayah lain, yakni Bontang sebanyak 77 dokter, Kutai Kartanegara 68 dokter, Kutai Timur 53 dokter, Paser 32 dokter, Berau 27 dokter, Penajam Paser Utara (PPU) 23 dokter, Kutai Barat 19 dokter, dan Mahakam Ulu (Mahulu) sebanyak 2 dokter.

Merujuk catatan profil Dinkes Lampung 2021, pendataan Rasio Dokter Spesialis terhadap 100 ribu penduduk, mencapai 13,6 dokter spesialis per 100 ribu penduduk. Angka ini diklaim mencapai target dalam Renstra Dinkes Provinsi Lampung yaitu, 4 per 100 ribu.

Masih dari data tersebut, rasio dokter spesialis di Lampung pada 2021 adalah 13,6, artinya, setiap 100 ribu penduduk di Lampung baru dilayani oleh sekitar 13-14 dokter spesialis. Lalu rasio dokter spesialis terhadap rumah sakit di Lampung sebesar 15,27. Itu menunjukkan setiap rumah sakit rata-rata memiliki sekitar 15-16 orang dokter spesialis.

Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia, sebaran dokter spesialis di Sulsel saat ini paling banyak di Kota Makassar. Dari 7.664 dokter, sebanyak 4.433 merupakan dokter umum, 1.282 dokter gigi dan 1.949 dokter spesialis. Selebihnya, masih cukup jauh. 

Salah satunya Kabupaten Gowa dengan jumlah 377 dokter, 222 dokter umum, 87 dokter gigi dan 68 dokter spesialis. Kemudian, ada Kabupaten Bulukumba yang memiliki 109 dokter dengan rincian 64 dokter umum, 24 dokter gigi dan 21 dokter spesialis.

Kemudian di Kabupaten Sinjai dengan jumlah 85 dokter yakni 47 dokter umum, 22 dokter gigi dan 16 dokter spesialis. Kemudian di Kabupaten Barru dengan jumlah 67 dokter yakni 40 dokter umum, 19 dokter gigi dan hanya 8 dokter spesialis.

Berdasarkan data Dinkes Provinsi NTB sampai 2 Agustus 2022, jumlah dokter spesialis sebanyak 516 orang di seluruh NTB dengan rasio 9,6 : 100.000 penduduk. Dokter spesialis tersebut tersebar di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan (saryankes) lainnya di kabupaten/kota.

Dengan rincian, terbanyak di RS di Kota Mataram sebanyak 245 dokter spesialis, RS di Lombok Timur 51 dokter spesialis, RS di Sumbawa 36 dokter spesialis, RS di Lombok Lombok Tengah 32 dokter spesialis, RS di Lombok Barat 32 dokter spesialis, RS di Bima 18 dokter spesialis, RS di Lombok Utara 17 dokter spesialis, RS di Dompu 10 dokter spesialis, RS di Kota Bima 9 dokter spesialis dan RS di Sumbawa Barat 8 dokter spesialis.

Kemudian Saryankes di Kota Mataram 50 dokter spesialis, Saryankes di Sumbawa 12 dokter spesialis, Saryankes di Lombok Barat 2 dokter spesialis, Saryankes di Lombok Timur dan Kota Bima masing-masing satu dokter spesialis.

2. Ternyata masih menumpuk di ibu kota provinsi

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaTugu Adipura Bandar Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Kepala Dinkes Provinsi NTB dr. Lalu Hamzi Fikri, mengutarakan sebaran dokter spesialis masih banyak menumpuk di ibukota provinsi NTB yaitu Kota Mataram. Ia menyebutkan ada 42 rumah sakit milik Pemda dan swasta di NTB. Dimana, 13 rumah sakit merupakan milik Pemda.

Dari puluhan rumah sakit yang ada di NTB, baru 60 persen memiliki dokter spesialis dasar. Seperti dokter spesialis obgin, spesialis anak, spesialis bedah dan spesialis penyakit dalam.

Kepala Divisi Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah NTB, dr. Wahyu Sulistya Affarah, MPH, Sp. KL mengatakan secara umum, dokter umum maupun dokter spesialis masih menumpuk di ibukota provinsi. Sedangkan rasio disesuaikan dengan standar pemerintah. "Masing-masing spesialistik memiliki kebutuhan rasio berbeda, ini secara umum," terangnya.

Kepala Dinas Kesehatan Sumatra Selatan (Dinkes Sumsel), Trisnawarman, mengakui ada perbedaan jumlah dokter spesialis di Bumi Sriwijaya. Wilayah jauh dari perkotaan memaksa warganya harus pergi ke kota tetangga demi mendapatkan pengobatan dari dokter spesialis.

"Memang di Sumsel ada kekurangan juga seperti data yang dikeluarkan Kemenkes RI. Kekurangan itu terbanyak untuk dokter subspesialis, seperti dokter anestesi, paru, dan penyakit dalam," ungkap Trisnawarman kepada IDN Times, Sabtu (7/1/2023).

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah dokter di Sumsel pada 2021 mencapai 1.078 orang tersebar di puskesmas dan rumah sakit. Sedangkan data dokter umum di tahun yang sama mencapai 2.340 orang.

Trisnawarman menyatakan, kurangnya dokter spesialis menyebabkan satu dokter spesialis harus melayani 9.000-11.000 orang. "Dari segi ketersediaan sudah ada banyak dokter spesialis, tetapi masih banyak kekurangan. Perlu dibuka kran penerimaan dokter spesialis dan sekarang sedang dilakukan," ujar dia.

Penyebaran dokter spesialis di daerah memunculkan ketimpangan jumlah dokter. Trisnawarman mencontohkan wilayah yang jauh seperti Musi Rawas Utara (Muratara) dan Musi Rawas (Mura), memaksa warganya harus pergi ke kota terdekat seperti Lubuk Linggau.

Dokter di daerah biasanya akan memberi rujukan ke kota terdekat untuk menemui dokter subspesialis. Lubuk Linggau dipilih karena paling dekat ketimbang harus ke ibu kota provinsi di Palembang. Begitu juga dengan fasilitas kesehatan, di Lubuk Linggau dinilai memadai untuk dokter spesialis dan peralatan medis.

Dirinya juga mencatat dari ketersediaan dokter spesialis di 17 kabupaten dan kota di Sumsel, masing-masing daerah sudah memiliki dokter spesialis untuk empat bidang seperti spesialis anak, bedah, penyakit dalam, dan obygin.

"Untuk daerah yang jauh biasanya ada satu sampai dua dokter spesialis. Cuma memang kita juga kekurangan untuk dokter subspesialis, seperti penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensi, anestesi, paru," ujar dia.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin M Ramadhan menjelaskan, jumlah rumah sakit di Banjarmasin juga menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat. Mengingat layanan kesehatan setempat juga dinikmati masyarakat di Kalsel dan juga sebagian Kalimantan Tengah. 

"Penduduk di Kalsel dan Kalteng berobat di RS yang ada di Banjarmasin seperti RS Ansari Saleh, RS Islam, RSUD Ulin, RS Sari Mulia, dan juga RS Bayangkara. Rumah sakit itu yang paling banyak mendapat rujukan dari daerah lain," ucapnya.

 

Baca Juga: Biaya Mahal Alasan Indonesia Masih Kekurangan Dokter Spesialis

3. Minim dokter spesialis, pasien “kabur” ke luar negeri

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di Indonesiailustrasi memilih tujuan dan destinasi wisata (pexels.com/Dominika Roseclay)

Jumlah dokter spesialis masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Keberadaannya saat ini dirasa minim dan tidak merata. Kebanyakan bisa dijumpai di rumah sakit kota-kota besar. Beberapa kepala daerah di Indonesia angkat bicara terkait hal itu.

Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansa sempat menyinggung kalau dokter spesialis distribusinya tidak merata ini membuat banyak pasien 'kabur' ke luar negeri. Mereka memilih berobat ke tetangga sebelah. Seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

"Rata-rata tujuan terbesar masyarakat Indonesia untuk berobat ini justru ke Singapura dan Malaysia," ujarnya saat peresmian program inovasi strategis RSUD dr. Soetomo tahun 2023, Rabu (4/1/2023).

Selain minimnya dokter spesialis, Khofifah juga menyebut, berdasarkan riset Zurich alasan membuat pasien memilih berobat ke luar negeri di antaranya kurangnya pelayanan dan pengawasan kesehatan di Indonesia, kecanggihan teknologi dan obat obatan.

Kemudian juga ada problem komunikasi dokter dan tenaga medis pembantu. "Padahal ketika pasien dapat senyumannya dokter itu, 80 persen bisa sembuh," kata Khofifah sembari berkelakar.  Ada juga soal ketepatan diagnosis, akomodasi, reputasi serta biaya di luar negeri dianggap lebih murah.

Gubernur Sumsel, Herman Deru tak menampik wilayahnya mengalami defisit jumlah dokter. Tak hanya dari segi kuantitas, sebaran tenaga kesehatan masih banyak menumpuk di perkotaan. "Jadi tidak sampai ke desa-desa, hanya sampai ibu kota atau kabupaten saja," jelas dia.

Menurutnya, sudah kewajiban dokter untuk mengabdi kepada masyarakat lewat ilmu yang dimilikinya. Setiap dokter memiliki tanggung jawab moril yang harus diaplikasikan kepada kehidupan. "Apa lagi ada janji dan sumpah dokter untuk melayani tidak hanya di kota saja, tetapi semuanya," tutup dia.

Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta menyoroti kosongnya pendaftar pada formasi dokter spesialis sudah beberapa kali terjadi di Klungkung saat rekrutmen PNS. Menurutnya ketersediaan dokter spesialis terbatas, menjadi penyebabnya. 

Ke depan, ia akan mencari cara agar dokter spesialis baru menyelesaikan pendidikan tertarik melamar PNS di Klungkung. Misalkan dengan menaikkan tunjangan dokter spesialis dan lainnya.

"Nanti akan kami pikirkan, mungkin bisa dengan menaikkan tunjangan dokter spesialis. Kami kaji dulu semua, sampai saat ini pelayanan masih normal. Ini harus kami pikirkan untuk meningkatkan pelayanan di RSUD Klungkung," jelas Suwirta. 

4. IDI bilang dipicu sarana prasarana kesehatan kurang memadai

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaIlustrasi rumah sakit. IDN Times/Asrhawi Muin

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, dr. Eka Mulyana mengatakan, persoalan jumlah dokter spesialis memang sudah lama. Karena jumlahnya tidak banyak sehingga pendistribusian ke berbagai daerah pun sulit dilakukan secara merata.

"Khususnya di daerah terpencil ini juga terkait dengan sarana prasarana kesehatan yang mendukungnya. Fasilitas ini penting untuk terpenuhinya pelayanan spesialis terkait," kata Eka kepada IDN Times, Jumat (6/1/2023).

Seperti contoh, ketersediaan alat USG tidak ada di setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama atau puskesmas. Padahal peralatan tersebut bisa mendukung pelayanan kesehatan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) atau angka kematian bayi (AKB).

Menurutnya, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kesehatan seharusnya bisa ada di setiap puskesmas atau tingkat desa, khususnya di daerah terpencil. Sehingga ketika ada masyarakat yang harus mendapatkan perawatan tidak bepergian ke rumah sakit (RS) jaraknya jauh.

Itu juga bisa membuat jumlah pasien tidak menumpuk di rumah sakit. Karena penumpukan terjadi bisa membuat pelayanan pada pasien kurang optimal. "Inilah yang membuat fasilitas itu penting ada di daerah," papar Eka.

Setali tiga uang, Dewan Pakar IDI Wilayah Lampung, dr Boy Zaghlul Zaini mengutarakan, ketersediaan dokter spesialis di masing-masing wilayah amat tergantung pada penunjang pemenuhan fasilitas rumah sakit masing-masing baik milik pemerintah maupun swasta.

"Sediakan dulu fasilitas spesialis sesuai standar rumah sakitnya. Jadi mindsetnya harus diubah, soal ketersediaan dokter memang penting, tapi harus diingat pemenuhan fasilitas rumah bagi spesialis juga sangat penting," ucap Boy.

Oleh karenanya tak heran, ketersediaan dokter spesialis di daerah perkotaan lebih banyak dan lengkap, bila dibandingkan di daerah kabupaten. Kondisi serupa turut terjadi di Lampung. Maka strateginya, penyediaan fasilitas penunjang spesialis selengkap-lengkapnya bakal mengundang pemenuhan dokter spesialis di daerah masing-masing.

"Baru buka rekrutmen dokter-dokter spesialis, nanti mereka ini bisa pergi ke sana (daerah kabupaten). Jangan juga belum punya apa-apa tapi sudah diajak ke kabupaten, tentu mereka berpikir apa yang akan dikerjakan di sana," lanjut Boy.

Ketua Pengurus IDI Cabang Lamongan, dr Budi Himawan menjelaskan, ada beberapa faktor membuat distribusi dokter ini tidak berjalan, di antaranya fasilitas disediakan pemerintah bagi para dokter yang berada di daerah atau luar Pulau Jawa. Karena dengan fasilitas atau alat minim maka dokter bertugas di daerah pun akan berpikir ulang mau ditempatkan di daerah tersebut. Problem lainnya adalah soal pendidikan maka hal itu juga menjadi pertimbangan.

"Jika pemerintah ingin memeratakan kebutuhan dokter di Indonesia maka yang perlu diperhatikan pemerintah adalah membenahi serta memberikan fasilitas mencukupi. Misalnya soal kesejahteraan dan fasilitas penunjang bagi dokter ini harus ada," jelasnya.

Kepala Divisi Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah NTB, dr. Wahyu Sulistya Affarah, MPH, Sp. KL, menjelaskan, untuk menarik minat dokter spesialis ke NTB dan sebarannya merata di kabupaten/kota, Pemda perlu menyiapkan fasilitas penunjang yaitu, fasilitas untuk menunjang secara praktik klinisnya. Misal, sudah ada dokter spesialisnya, tetapi alatnya belum ada.

Terkait dengan besaran insentif untuk menarik dokter spesialis, dr. Affrah mengatakan hal ini sebenarnya relatif. Namun, setidaknya ada standar insentif diberikan. Karena sekarang masih belum jelas standar insentif untuk dokter spesialis.

"Dokter umum pun standar honor atau gaji juga belum jelas. Ke depan, yang sedang berkeluarga, pasti mikir pendidikan untuk anaknya. Mengingat dari sektor pendidikan di NTB juga masih belum merata, juga akan mikir masa depan untuk anaknya. Ini juga jadi pertimbangan," tandasnya.

5. Ini sorotan PDGI

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaIlustrasi Dokter Gigi di Tengah Pandemik COVID-19 (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), per 6 Desember 2022 baru ada sekitar 54,1 ribu dokter spesialis di dalam negeri. Angka ini mencakup dokter dari 47 kelompok spesialisasi. Mulai dari spesialis anak (Sp.A), spesialis bedah (Sp.B). Begitu juga ada kelompok kelompok spesialis gigi seperti spesialis ortodonti (Sp.Ort) dan odontologi forensik (Sp.OF).

Kondisi dokter gigi spesialis termasuk memiliki jumlah paling sedikit. Data yang dilansir dari databoks.katadata.co.id, jumlah dokter gigi spesialis di Sumatra Utara jumlahnya hanya 198 orang per Desember 2022.

Hal ini diakui Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kota Medan Ranu Putra Armidin. Saat ini PDGI memiliki sekitar 1.300-an anggota di Kota Medan. Tidak kurang dari 60 persen memiliki tempat praktik sendiri. Sayang, kondisi sebaran praktik diakui belum merata. Sehingga berpotensi terjadi persaingan yang kurang sehat.

Buruknya penyebaran dokter spesialis juga diakui Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Perwakilan PDGI drg. Usman Sumanti mengatakan, jumlah dokter spesialis gigi di Indonesia masih sangat sedikit. Bahkan mayoritas dari mereka berada di kota-kota besar, tidak merata di seluruh daerah.

"Dokter gigi spesialis di Indonesia ini kurang. Di Asean saja, kita setara dengan negara kelas menengah bawah. Kita cuma punya 4.500 jumlah dokter gigi spesialis se-Indonesia. Dan ini rata-rata hanya menumpuk di kota besar," ujar kata Usman.

Menurutnya, perlu ada pemerataan tenaga medis sampai ke daerah terpencil. Jika tak ada regulasi dan percepatan regenerasi, dalam kurun 15 tahun ke depan kebutuhan akan dokter gigi spesialis tidak bisa terpenuhi.

"Saya berharap Unpad dan universitas lain di kota besar melalui poli gigi umumnya bisa mencetak dokter gigi baru. Mereka bisa ditempatkan ke daerah terpencil yang kita ikat melalui regulasi," paparnya.

Ketua PDGI Kota Bandung, drg. Sri Mulyanti membenarkan sebagian besar dokter gigi terutama spesialis masih menumpuk di kota-kota besar. Di Bandung saja jumlah dokter gigi umum sekitar 1.400 orang.

"Itu pun tidak semua aktif praktik, ya. Ya memang kalau saya pikir, jumlah dokter gigi itu terlalu menumpuk di kota besar," kata Mulyanti.

Belum meratanya jumlah dokter gigi di daerah terpencil juga berdampak dari kurangnya fasilitas kesehatan memadai. Sebab, dokter gigi sendiri membutuhkan dukungan fasilitas, minimal kursi gigi untuk melakukan tindakan.

"Dokter gigi itu kan butuh alat ya, misalnya kursi gigi. Kalau tidak ada fasilitasnya, para dokter gigi juga tidak bisa maksimal melayani. Nantinya malah hanya penyuluhan. Saya pikir perlu didukung juga dengan fasilitas memadai sebelum diterjunkan ke daerah yang membutuhkan," tuturnya.

Baca Juga: Fasilitas Penunjang Minim, Dokter Spesialis Enggan ke Daerah

6. Benahi fasilitas hingga beri beasiswa untuk calon dokter spesialis

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di Indonesiailustrasi mencari beasiswa (freepik.com/rawpixel.com)

Menyikapi kekurangan dokter spesialis di Indonesia, Ketua Pengurus IDI Cabang Lamongan, dr Budi Himawan angkat bicara. Menurutnya, saat ini kebutuhan dokter spesialis di Indonesia diakuinya masih kurang dari jumlah penduduk yang ada. 

Untuk itu, kata Budi, perlu peran serta dari pemerintah untuk mendukung dokter-dokter di Indonesia bisa melanjutkan ke jenjang dokter spesialis salah satunya dengan memberikan biaya. 

Budi mencontohkan, di luar negeri seorang dokter ingin mengambil jurusan spesialis mereka dibiayai oleh negara mereka. Hal itu karena selain mereka belajar menjadi dokter spesialis para dokter di luar negeri itu juga bekerja dan membantu menangani pasien. Tentunya dengan pengawasan dari mentor menjadi lokasi mereka belajar. Sehingga banyak dokter spesialis yang dihasilkan. 

Hal ini justru bertolak belakang dengan di Indonesia. Dokter ingin mengambil jurusan atau spesialis mereka harus bayar biaya perkuliahan tak sedikit biayanya. Karena biayanya tak sedikit, maka para dokter akan berpikir seribu kali melanjutkan ke dokter spesialis.

Selain itu, untuk memperbanyak dokter spesialis di sejumlah daerah Indonesia, pemerintah juga harus memberikan kemudahan bagi para dokter mengakses pendidikan. Misalnya, dokter bisa saja belajar di rumah sakit B memiliki tiga dokter spesialis di dalamnya. Sedangkan untuk menentukan gelar atau kelulusan dokter tentunya mereka (dokter) harus kembali mengikuti ujian di universitas mereka masing-masing. 

Menurut Budi, problem dihadapi negara ini bukan hanya persoalan jumlah dokter spesialis minim. Namun problem lainnya yakni soal distribusi dokter di sejumlah wilayah. IDI mencatat, setiap tahunnya ada 13 ribu lulusan dokter umum dihasilkan oleh universitas.

"Jika kita bandingkan dokter yang ada di DKI Jakarta, ini bisa menangani satu dokter dia bisa menangani 680 penduduk, tapi idealnya WHO satu dokter itu banding seribu. Tapi kalau di daerah Sulawesi Barat satu dokter itu menangani hampir 10 ribu dan itu sangat tidak ideal," jelasnya.

Dewan Pakar IDI Wilayah Lampung, dr Boy Zaghlul Zaini mengatakan, setiap rumah sakit plat merah maupun swasta minimal wajib memiliki 4 bidang dokter spesialis yaitu, spesialis kebidanan, anak, penyakit dalam, dan bedah. Baru kemudian dapat dikembangkan sesuai tipe masing-masing rumah sakit.

Menurutnya, Provinsi Lampung kini masih amat kekurangan beberapa tenaga dokter spesialis. Semisal, spesialis bedah saraf baru memiliki 3-4 dokter. Lalu sub spesialis bedah digestif 1 dokter dan bedah thorak 1 dokter.

"Apalagi spesialis bedah vaskular, Lampung saat ini belum ada dokternya. Catatan itu cuma dari beberapa bidang spesialis, saya rasa kekurangan dari spesialis lainnya juga masih banyak," terang pensiunan PNS RSUD Abdul Moeloek tersebut.

Sebagai langkah mengatasi keterbatasan tersebut, Boy menyarankan, pemerintah kabupaten harus menyiapkan fasilitas rumah sakit lengkap, hingga menggiatkan program khusus menyekolahkan putra-putri daerah agar dapat mengabdi di daerah asal masing-masing.

Selain itu, dinkes, pemerintah kabupaten, dan IDI dapat memperkuat komunikasi dan diskusi, untuk mencari jalan keluar mengatasi pemenuhan kebutuhan dokter spesialis. Termasuk ketersediaan penunjang sarana sesuai anggaran daerah.

"Untuk diketahui, menteri kesehatan juga mendukung wacana pengambilan spesialis dapat ditempuh melalui pendidikan rumah sakit bukan cuma Dikti. Tentunya, kebijakan itu untuk mengatasi kebutuhan supaya bisa lebih cepat sekolahnya," ingat Boy.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, dr. Eka Mulyana menyebut, untuk mencetak dokter maupun dokter spesialis tentu memerlukan standar minimal harus dipenuhi dalam pendidikannya. Karena profesi ini bersangkutan dengan nyawa manusia, dan hal tersebu berlaku untuk seluruh dunia kedokteran.

Pun dengan persoalan biaya untuk menjadi seorang dokter bahkan sampai mendapat gelar spesialis itu tidak murah. Setiap jenjang ketika ingin menjadi dokter biayanya besar, terlebih ketika orang tersebut ingin mengambil spesialis. "Hal ini tentulah membutuhkan biaya yang tidak sedikit sesuai kompetensi keahliannya," jelas Eka.

Ketua IDI Jawa Tengah, dr Djoko Handojo, menjelaskan,  pemerintah harus cermat melakukan pemetaan kebutuhan dokter spesialis di semua kabupaten/kota sampai ke pelosok pedesaan. Pemetaan terperinci, katanya bisa menghasilkan pendataan akurat mengenai jumlah dokter spesialis masing-masing daerah disesuaikan dengan sumber penyakit di daerah tersebut. 

Jika pemetaan tidak dilakukan, Djoko khawatir malah menghasilkan sesuatu yang sia-sia alias muspro. "Untuk ketersediaan dokter spesialis gak bisa diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Harus ada mapping sesuai banyak sedikit penyakitnya. Juga perlu membuat sarprasnya. Termasuk bagaimana maintenancenya dan layanan pengobatannya," jelasnya.

"Kalau itu tidak dilakukan ya yang ada jadi muspro. Jadi, jangan apa-apa menyalahkan IDI sebagai lembaga. Lha wong kota sudah berkali-kali sampaikan ke pemerintah lewat dinkes kok. Kita  sudah meminta mapping kebutuhan dokter spesialis di setiap kabupaten/kota. Ini menyangkut kelayakan kehidupan seorang dokter yang bertugas," tegasnya. 

Djoko menuturkan, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mewacanakan mentransformasi kesehatan juga disoroti pihaknya. Menurutnya, transformasi kesehatan semestinya dibarengi dengan ketersediaan sarana dan prasarana (sarpras), ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dan berkaitan dengan sumber pendanaan. 

"Apakah sudah dipikirkan ketersediaan SDM, ketersediaan sarana prasarana dan pendanaannya? Jangan sampai dipas-paskan. Nantinya malah yang dicari kambinghitamnya," tegasnya. 

Seorang dokter membutuhkan asupan tambahan ilmu kedokteran dibarengi dengan peningkatan kemampuannya. Djoko menyarankan kepada pemerintah untuk memperbaiki semua hal teknis mengenai pelayanan pengadaan obat-obatan. 

"Yang terpenting perbaiki layanannya. Karena kalau kita beri layanan yang tidak sesuai dengan pendidikannya ya mutunya gimana nanti. Sehingga secara teknis medis mulai cara pengadaan pengobatan patut dibenahi. Soalnya selama ini yang ada lebih condong mengendalikan obatnya tapi kualitas mutunya terabaikan," pungkasnya. 

7. Universitas juga diminta menjaga mutu dokter-dokter baru

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaFakultas Kedokteran Unila. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim, dr. Erwin Astha Triyono menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah mendorong perguruan tinggi mencetak banyak dokter. "Memproduksi baik itu dokter umum, spesialis maupun sub-spesialis diharapkan meningkat," kata dia.

Tak sampai di situ, universitas juga diminta menjaga mutu dokter-dokter baru. "Jangan sampai produksi banyak, tapi gak berhasil menjaga mutu. Terkait distribusi kami masih koordinasi dengan teman-teman IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk memetakan," kata Erwin.

Dalam pemetaan inilah, sambung Erwin, tidak mudah. Perlu mengonfirmasi dokter spesialis akan ditunjuk ke daerah pinggiran. Kemudian, menanyakan ke daerah tersebut apakah butuh dokter spesialis, juga sarana dan prasarananya.

"Sehingga nanti match, kita kirim (dokter spesialis) ke sana, daerahnya butuh, sarananya ada. Sehingga mereka (dokter) bekerja dengan situasi yang mendukung," katanya.

Nah, untuk mewujudkan agar ada dokter spesialis mau ditempatkan di daerah, Erwin mendorong pemerintah kabupaten setempat agar berinvestasi. "Artinya saya punya dokter muda, ayo sekolahlah. Nanti kami (dinkes) koordinasi dengan FK (Fakultas Kedokteran) supaya nanti dibuatkan sedikit afirmasi supaya dimudahkan, karena mereka bakal kembali ke daerahnya," jelas dia.

Selain masalah persebaran, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim, dr Jaya Mualimin, mengatakan, setiap rumah sakit juga memiliki standar tersendiri terkait kebutuhan tenaga dokter spesialis.

Ia menjelaskan, jumlah dokter diperlukan masing-masing rumah sakit itu berdasarkan tingkatannya. Misalnya rumah sakit kelas C itu harus ada empat dokter penyakit dalam, dokter anak, dokter obgyn, dan dokter bedah. Di samping ada spesialis penunjang lainnya seperti radiologi, anastesi dan patalogi klinik RS itu bisa memberikan dengan baik.

"Nah untuk tipe B, harus bertambah dari cuma tujuh dokter menjadi dua kali lipatnya. Tipe A malah lebih banyak lagi. Kaltim sendiri banyak kurang terkait pemenuhan tipe kelas A. Jadi memang belum sepenuhnya dokter spesialis yang dibutuhkan itu tersedia," terangnya.

Artinya, ketika dokter spesialis di salah satu rumah sakit saja tak ada dokter spesialis, tentu akan menghambat dalam memberikan pelayanan maksimal terhadap masyarakat.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Nyoman Gede Anom, mengungkapkan dalam memenuhi dan meratakan penyebaran dokter spesialis, Pemerintah Provinsi Bali mendorong kabupaten kota untuk melakukan rekrutmen dokter spesialis. Selain itu juga dengan melakukan pendayagunaan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), serta menyekolahkan dokter spesialis.

“Sekarang sudah ada beasiswa untuk pendidikan dokter spesialis dari Kementerian Kesehatan dan LPDP. Ini salah satu cara agar penyebaran dokter spesialis lebih merata,” ungkapnya.

Kepala Dinkes Provinsi NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri mengatakan dokter spesialis tidak bisa dipaksa untuk ikut seleksi CASN, apalagi PPPK. Karena itu merupakan pilihan masing-masing orang. "Kembali kepada pilihan pribadi. Kalau itu sifatnya PPPK, mungkin dilihat juga. Jadi, itu pilihan," katanya.

Demi memenuhi kekurangan dokter spesialis, pihaknya mendorong Pemda kabupaten/kota menyekolahkan dokter umum masih muda mengambil program dokter spesialis. Karena ada dokter spesialis yang sudah pensiun atau tua, sehingga perlu ada regenerasi.

"Karena kebutuhan SDM ini merupakan suatu keniscayaan, alau gak dipenuhi dari daerah kita. Maka yang senior akan pensiun, harus ada regenerasi. Kemudian kekurangannya harus di atasi," ujarnya.

Baca Juga: Pemerataan Dokter Spesialis Perlu Didukung Lembaga Pendidikan

8. Insentif jadi solusi?

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaSimbolis penyerahan insentif dokter PPDS FK Unair sebesar Rp75 juta per orang. Dok istimewa

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Abdul Hakam mengatakan, mayoritas dokter spesialis saat ini lebih memilih bekerja di kota besar dibandingkan daerah. Hal itu sudah menjadi hukum alam karena gaji akan mengikuti tempat mereka bekerja.

Maka, langkah bisa ditempuh untuk memecahkan masalah tersebut, bagi Hakam salah satunya memberikan beasiswa kepada mahasiswa kedokteran untuk menempuh pendidikan dokter spesialis. Selain itu, mendorong perguruan tinggi membuka fakultas kedokteran.

‘’Di Semarang mulai dibuka Fakultas Kedokteran di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Lalu, Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) rencananya juga akan membuka fakultas kedokteran. Dengan makin banyak fakultas kedokteran, harapannya bisa menghasilkan lulusan sarjana kedokteran dengan kualifikasi bagus,’’ ujarnya.

Kemudian, cara pemberian beasiswa juga penting untuk mencetak dokter spesialis. Namun, pemberian beasiswa ini penerimanya difokuskan bagi mahasiswa kedokteran yang baru lulus atau mereka yang tengah menempuh pendidikan dokter spesialis.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim, dr Jaya Mualimin mengatakan, untuk mengatasi masalah itu semua, pemerintah, dalam hal ini dinas kesehatan mesti memutar otak untuk mengambil langkah yang lebih efisien. Di antaranya saling terhubung antara dokter di daerah dan dokter spesialis dengan pola telekomunikasi atau konsultasi jarak jauh.

Kemudian menjalankan Program Kesehatan Bergerak (PKB), yang mana dinkes bekerja sama dengan IDI setempat untuk mengunjungi beberapa daerah yang tak ada dokter spesialisnya. "Itu salah satu upayanya ya, agar mereka diberikan akses mendapatkan pelayanan spesialis," ucapnya.

Selain itu, dinkes kabupaten/kota juga bekerja sama dengan fakultas kedokteran dokter spesialisnya sudah hampir menyelesaikan pendidikannya supaya mereka didatangkan ke RS di wilayah tersebut.

"Juga ada yang namanya rekomendasi rumah sakit terhadap dokter untuk menempuh pendidikan kembali, agar nanti mereka bisa kembali bekerja di rumah sakit itu," papar Jaya.

Untuk satu ini, ada berbagi kemudahan agar para dokter yang direkomendasikan bisa menempuh pendidikannya kembali. Yakni dengan memanfaatkan beasiswa yang ada di daerah dan dari Kementerian Kesehatan. Kalaupun yang dibiayai oleh pemerintah daerah, syaratnya dokter tersebut sudah berstatus aparatur sipil negara (PNS).

Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yodi Mahendradhata mengatakan, sebagai lembaga pendidikan yang juga melahirkan dokter spesialis, FKKMK UGM telah lama menyelenggarakan beberapa Program Pendidikan Dokter Spesialis. Animo untuk melamar ke program-program tersebut tinggi dan kompetitif.

"Untuk program pendidikan yang eksisting dan menjadi prioritas pemerintah, kuota sedang atau telah kita tingkatkan dengan tetap mengikuti standar-standar yang berlaku. Selain itu kami juga sedang dalam proses untuk membuka beberapa program pendidikan dokter spesialis dan sub-spesialis baru," ujar Yodi.

Yodi juga menyebut UGM bersama dengan beberapa perguruan tinggi lain mendorong pengembangan model Academic Health System (AHS) untuk pemenuhan kebutuhan dokter spesialis. Pendekatan AHS mengintegrasikan perguruan tinggi dengan dinas kesehatan dan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan untuk bersama mengatasi masalah kesehatan setempat, termasuk kebutuhan dokter spesialis.

"Pendekatan AHS ini telah dipayungi oleh Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Di bawah skema ini beberapa perguruan tinggi yang telah lebih dulu mengembangkan AHS mendapat mandat untuk mengkoordinasi perguruan-perguruan tinggi lain berbasis pembagian enam wilayah di Indonesia, untuk mengembangkan AHS di masing-masing wilayah tersebut," kata dia.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Lampung, Reihana menjelaskan, terkait upaya pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di Lampung, pemerintah daerah telah melaksanakan berbagai cara di antaranya seperti mengadakan tugas belajar Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI), hingga mengusulkan Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS), dan program Nusantara Sehat.

Termasuk mengadvokasi pihak pemkab membuka formasi PNS, P3K atau tenaga kontrak guna memenuhi kebutuhan dokter spesialis. Tak terkecuali, menguatkan koordinasi dengan universitas penyediaan pendidikan tenaga dokter di Lampung yaitu, Universitas Lampung dan Universitas Malahayati.

"Untuk jumlah ketersediaan dokter spesialis di Lampung, saat ini, ada beberapa dokter yang sedang menempuh pendidikan dan akan kembali ke Provinsi Lampung," imbuh kadinkes.

Kepala Dinas Kesehatan Sumatra Selatan (Dinkes Sumsel), Trisnawarman, mengatakan, Dinkes Sumsel mencatat kebanyakan dokter spesialis berada di kota Palembang. Pihaknya tak bisa menyalahkan banyak dokter ingin berpraktik di kota besar. Menurutnya, persoalan ini harus ditangkap pemerintah kabupaten dan kota untuk menjaring dokter spesialis.

"Selama ini sebenarnya pemerintah ada program wajib pengabdian dokter spesialis ke daerah-daerah. Pemerintah kabupaten dan kota seharusnya menganggarkan juga insentif kepada para dokter," ujar dia.

Persoalan kurangnya dokter spesialis khususnya di daerah disebabkan banyak faktor, salah satunya insentif yang minim. Menurutnya, seorang dokter spesialis paling tidak mendapatkan insentif minimal Rp25 juta.

"Bisa buat pengumuman, silakan datang ke kota ini ada insentif rumah dinas atau bonus lain. Siapa yang gak mau. Dokter juga gak mau ditelantarkan, mereka menginginkan hidup yang layak," jelas dia.

Apakah kurangnya minat dokter spesialis ikut seleksi CASN berkaitan dengan insentif? Kepala Dinkes Provinsi NTB dr. Lalu Hamzi Fikri mengatakan, insentif dokter spesialis memang belum ada standarnya. Insentif dokter spesialis di masing-masing Pemda berbeda-beda. Untuk Pemprov NTB, pemberian insentif dokter spesialis mengacu pada upah minimum provinsi (UMP).

"Secara nasional, belum ada standar insentif untuk dokter spesialis tetapi kita tetap mengacu pada UMP. Tetapi ada juga inisiatif masing-masing daerah untuk menarik dokter spesialis supaya bisa awet di situ, menyiapkan mobil, rumah dan fasilitas penunjang lainnya," katanya.

Ke depan, lanjut Fikri, pihaknya mendorong putra daerah untuk mengambil program dokter spesialis. Karena sekarang, peluang untuk program dokter spesialis terbuka lebar bahkan ada empat kali bukaan dokter spesialis dalam setahun dari Kementerian Kesehatan.

"Kita sudah sampaikan ke Pemda kabupaten/kota, dorong dokter umum untuk sekolah. Memang butuh waktu lama, ada 5 tahun, 10 tahun untuk fak-fak besar. Tetapi selama menyekolahkan putra daerah pasti mereka akan balik. Ada kabupaten/kota yang membiayai dari APBD untuk putra daerah. Kemudian ada daerah tertentu jumlah finansial yang disiapkan belum sesuai standar hidup layak," ungkapnya.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mendorong keberadaan dokter spesialis supaya lebih merata di berbagai daerah agar pelayanan kesehatan bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Caranya dengan memperbanyak pendidikan dokter spesialis.

"Kami kerja sama Kedokteran Unhas untuk merencanakan pendidikan spesialis yang banyak, termasuk juga dokter spesialisnya yang untuk penyakit tertentu seperti jantung, kanker dan ginjal," kata Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, Rosmini Pandin, Minggu (8/1/2023).

Untuk mengatasi tidak meratanya sebaran dokter spesialis, Dinkes Sulsel pun mendorong peningkatan jumlah dokter spesialis supaya distribusinya lebih merata hingga ke daerah-daerah. Apalagi saat ini, Kementerian Kesehatan berencana menambah kuota beasiswa kedokteran dan fellowship sebanyak 82 program studi tahun ini.

Menurut Rosmini, hal ini menjadi kabar baik karena bisa menjadi jalan untuk memeratakan layanan spesialistik di semua fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, termasuk di Sulsel. 

"Jadi sekarang pemerintah menambah beasiswa, kemudian akan ditambah dosen dan kesiapan RS untuk tempat pendidikan, juga ketika dia pendidikan itu diusahakan di mana dia berikan rekomendasi di situ dia kembali," kata Rosmini.

Rosmini menuturkan, nantinya masing-masing daerah akan membuat rencana untuk penambahan dokter spesialis. Kemudian, daerah menyekolahkan dokter yang ingin mengambil program dokter spesialis.

"Di samping daerah, dicari juga dishare kepeminatan dan disiapkan insentif untuk menarik dokter sepesialis yang berminat supaya jangan berkumpul di tempat tertentu saja," kata Rosmini.

9. Ternyata masih ada formasi CASN nihil pendaftar

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaHari pertama tes SKD CASN 2021 di Kampus ITERA), Selasa (14/9/2021). (IDN Times/Istimewa).

Kementerian Kesehatan saat ini tengah melakukan berbagai upaya untuk menambah jumlah dokter spesialis di Indonesia. Saat ini hampir semua wilayah di Indonesia kekurangan tenaga dokter spesialis. Demikian halnya dengan di Kabupaten Karangasem dan Klungkung yang sampai saat ini minim dokter spesialis.

Khusus di Kabupaten Klungkung, rekrutmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk dokter spesialis sebenarnya sudah dilakukan 2021 lalu. Hanya saja masih ada beberapa formasi dokter spesialis bahkan tidak ada pendaftarnya.

Kabid Pelayanan RSUD Karangasem, I Komang Wirya, menjelaskan, sampai saat ini RSUD Karangasem kekurangan spesialis Jantung, Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis THT, Spesialis Radiologi, dan Spesialis Kedokteran Jiwa.

“Misalnya saja dokter spesialis jantung di RSUD Karangasem hanya ada 1 orang. Namun jumlah pasien penyakit jantung per semester mencapai sekitar 1.400 orang atau rata-rata 10 sampai 15 pasien per harinya,” ungkap Komang Wirya, Senin (19/12/2022) lalu.

Idealnya, setiap poliklinik di RSUD Karangasem diisi oleh 3 orang dokter spesialis, sehingga bisa saling membagi tugas. Namun saat ini rata-rata hanya ada 1 sampai 2 dokter di setiap poliklinik.

“Meskipun kami kekurangan dokter spesialis, kami pastikan pasein masih terlayani dengan baik. Kami maksimalkan tenaga yang ada dan kami berharap ke depan segera ada tambahan tenaga,” harapnya.

Setali tiga uang dengan kondisi di Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung pun masih kekurangan dokter spesialis. Padahal pada 2021 lalu, Pemkab Klungkung telah membuka rekrutmen CPNS untuk formasi dokter spesialis.

Sebelum rekrutmen pada 2021, RSUD Kabupaten Klungkung masuk dalam rumah sakit rujukan di Bali Timur masih kekurangan dokter spesialis bedah plastik, dokter spesialis forensik, dokter spesialis gizi klinik, dokter spesialis kandungan, dokter spesialis orthodonti, dokter spesialis paru-paru, dan dokter spesialis urologi. 

Namun pada rekrutmen PNS dilakukan 2021 lalu, Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Klungkung, I Komang Susana mengatakan, ternyata 4 formasi dokter spesialis tidak ada yang melamar.

Formasi nihil pelamar tersebut yakni dokter spesialis bedah, dokter spesialis forensik, dokter spesialis orthodonti, dan dokter spesialis paru-paru. Komang Susana tidak mengetahui secara pasti kenapa 4 formasi itu kosong pelamar. Namun formasi ini akan tetap dibuka pada rekrumen PNS berikutnya.

Terkait kekurangan dokter spesialis, RSUD Karangasem sudah melakukan pengusulan ke Kementerian Kesehatan pada bulan November lalu. Nantinya permintaan itu akan diteruskan ke Kemenpan-RB. “Nanti apakah dapat PNS atau PPPK, itu keputusan pemerintah pusat," jelas Wirya.

Setiap pembukaan rekrutmen calon aparatur sipil negara (CASN), baik CPNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPK), Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) selalu mendapatkan alokasi puluhan formasi dokter spesialis. Namun, kebanyakan formasi dokter spesialis diperoleh tidak terisi karena sepinya peminat atau tidak ada pelamar.

Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTB, Muhammad Nasir mengatakan,dalam rekrutmen CPNS 2019, belasan formasi dokter spesialis Pemprov NTB tak terisi karena tidak ada pelamar. Kemudian pada rekrutmen PPPK Tenaga Kesehatan 2022, ada puluhan formasi dokter spesialis yang tidak terisi dengan penyebab yang sama. Untuk itu, BKD dan Dinkes NTB sudah berkomunikasi mencari solusi mengebai persoalan ini.

"Kalau kita paksa formasi dokter spesialis ini tetap gak ada peminatnya. Saya usulkan kenapa kita tidak terima saja formasi dokter umum, setelah dia masuk jadi ASN kita cari solusinya, berikan beasiswa untuk mengambil program dokter spesialis. Karena itu jauh lebih hemat kita," kata Nasir dikonfirmasi di Mataram, Sabtu (7/1/2022).

Daripada mendapatkan banyak formasi dokter spesialis, kata Nasir, tetapi tidak terisi, pemda akan rugi apabila setiap pembukaan rekrutmen CASN. Dalam rekrutmen PPPK Tenaga Kesehatan 2022, kata Nasir, hanya 9 formasi dokter spesialis terisi. Sedangkan puluhan formasi tidak terisi karena tidak ada pelamar.

"Sudah saya diskusi dengan kadinkes, sudah satu bahasa. Solusinya berikan beasiswa kepada dokter umum mengambil program dokter spesialis. Kalau kita paksakan formasi dokter spesialis, orang gak ada," katanya.

Sebanyak 9 formasi dokter spesialis yang terisi dalam rekrutmen PPPK Tenaga Kesehatan 2022, karena mereka sudah bekerja di NTB. Kemudian, ketika ada pembukaan rekrutmen PPPK, mereka mendaftar dan lulus dengan nilai yang bagus.\

Dengan lokasi penempatan di RSUD NTB, ada sejumlah formasi dokter spesialis tidak ada peminatnya. Antara lain, dua formasi dokter spesialis anak, dua formasi dokter spesialis dermatologi dan venereologi, satu formasi kedokteran jiwa atau psikiatri, 5 formasi dokter spesialis mata, 4 formasi dokter spesialis neurologi, 2 formasi dokter spesialis obstetri dan ginekologi, satu formasi dokter spesialis patologi klinik, 3 formasi dokter spesialis radiologi dan 2 formasi dokter spesialis THT, bedah kepala dan leher.

10. Rumah sakit beri peluang dokter muda "bersekolah"

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di IndonesiaBantuan oksigen PT Pusri ke Polda Lampung (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Direktur Utama (Dirut) RSUD dr. Soetomo, dr. Joni Wahyuhadi menegaskan kalau di rumah sakitnya terus melakukan regenerasi dokter-dokter spesialis. Bahkan, dokter-dokter muda berpotensi mendapat kesempatan disekolahkan hingga promosi spesialis.

"Kita sudah sekolahkan, kita beri kesempatan kawan-kawan spesialis sesuai dengan exspertise (keahlian) mereka. Jadi di Soetomo punya spesialis semuanya. Tinggal sarananya," tegas Joni.

Kepala Sub Bagian Humas Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah Denpasar, I Ketut Dewa Kresna, menyampaikan, di rumah sakit tersebut telah ada 26 keahlian dokter spesialis, dengan jumlah sekitar 320 orang dokter. 

“Untuk memenuhi seandainya kekurangan dokter spesialis, ya kami menyekolahkan atau merekrut,” ungkap Dewa Kresna, pada Jumat (6/1/2023).

Sementara itu, Kepala Bagian Administrasi Umum dan Keuangan RS Sultan Suriansyah Nadzir Isnainy mengatakan, pihaknya juga mengalami permasalahan keterbatasan jumlah dokter spesialis. 

Bila idealnya jumlahnya sebanyak 40 dokter, katanya RS Sultan Suriansyah hanya memiliki 30 dokter. Meskipun memang tidak terlalu berpengaruh terhadap pelayanan masyarakat. 

"Dokter spesialis kita ada 30 orang, Idealnya sekitar 40 an. Tahun ini akan kita tambah hingga 5 tahun ke depan melalui beasiswa program dokter spesialis Kemenkes," ucapnya.

Dokter spesialis RS Sultan Suriansyah, kata Nadzir, mayoritas tenaga kesehatan berstatus aparatur sipil negara (ASN). Hanya 4 orang di antara mereka ini berstatus kontrak dalam membekap pelayanan kesehatan bagi masyarakat.  "Kita akan kontrak dokter ortopedi atau dokter tulang, sehingga bertambah satu dokter kita," katanya.

11. Sorotan dokter peserta PPDS

Carut Marut dan Solusi Atasi Krisis Dokter Spesialis di Indonesiautoronto.ca

Seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kardiologi, dr. Makhyan Jibril Alfarabi mengakui memang banyak dari teman-teman sejawatnya belum mau kembali ke daerah setelah mendapat gelar spesialis. Hal itu dikarenakan minimnya peran serta pemerintah setempat kepada mereka.

"Dulu sekolah (kemudian lulus) tidak tahu kembali ke mana," ujarnya saat ditemui di RSUD dr. Soetomo Surabaya, Jawa Timur.

Ia menambahkan, sekarang ini, peran pemerintah mulai terlihat. "Kalau sekarang, sekolah terus ada rekomendasi tempat kembalinya (praktik). Sekarang di mapping, ada daerah yang spesialisnya sudah banyak, ada yang kurang. Dari situ dibuka jalur penerimaan PPDS-nya," kata pria karib disapa Jibril ini.

Tak hanya jalur itu saja, Jibril menyebut juga ada jalur melalui TNI. Karena rumah sakit TNI ternyata kekurangan dokter spesialis. "Jadi ada penerimaan PPDS dari kiriman daerah, ada juga dari TNI. Harapannya ketika kembali, mereka sudah menyebar. Tidak menumpuk satu tempat misalnya Surabaya saja," kata dia.

"Maka dari itu untuk sekolah spesialis sekarang perlu rekomendasi daerah atau instansi," ucap Jibril. Itu memastikan daerah (yang beri rekom) kekurangan spesialis. Sekarang pemerataannya mulai diatur. Peralatan canggihnya sudah mulai ada untuk menunjang dokter spesialis," tambah dia.

Salah satu anggapan kerap mengiringi langkah tenaga kesehatan yang siap terjun ke lapangan adalah tempat diminati untuk bekerja, termasuk dokter. Tak meratanya dokter sampai ke daerah pelosok pun menimbulkan pandangan bahwa dokter hanya ingin bekerja di perkotaan saja.

Hal ini dibantah dr Jaya dari Kalimantan Timur. Ia menuturkan, sebenarnya ada banyak dokter yang ingin sekali bekerja di daerah pedalaman. Namun karena terkendala infrastruktur, membuat para dokter ini memikirkan risiko yang akan dihadapi saat menangani pasien.

"Secara peralatan listrik saja masih ada yang tidak 24 jam sehingga agak kesulitan melakukan pelayanan itu saja sih yang menjadi kendala. Ke depan nanti akan kami usulkan membangun infrastrukturnya, fasilitas kesehatan dan pendukungnya, yang sesuai dengan standar. Karena kalau tidak sesuai dengan standar bagaimana mereka bisa memberikan pelayanan terbaik," jelasnya.

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kota Medan Ranu Putra Armidin bercerita minimnya jumlah dokter gigi spesialis juga dipengaruhi oleh masa pendidikan yang cukup lama. Ini menjadi salah satu tantangan bagi seorang dokter gigi untuk mencapai jenjang spesialis.

Dia mengilustrasikan untuk menyelesaikan jenjang strata 1, rata-rata mahasiswa menghabiskan waktu 4-5 tahun. Kemudian mereka harus melanjutkan ke jenjang Cooperative Assistant (co-ass) atau biasa dikenal sebagai pendidikan profesi dokter gigi. Pada jenjang ini, bisa menghabiskan hingga empat semester, bahkan lebih.

“Sangat variatif. Ada yang sarjananya lama, tapi di pendidikan profesi bisa cepat. Begitu juga sebaliknya,” kata Ranu kepada IDN Times, Rabu (5/1/2023).

Setelah merampungkan pendidikan profesi, mereka kemudian mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Gigi (UKDGI). Setelah lulus, mereka baru bisa mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) untuk berpraktik. Baik berpraktik di rumah sakit, atau membuka praktik mandiri.

Untuk menjalani pendidikan sebagai dokter gigi, para mahasiswa juga masih terkendala dengan minimnya sarana dan prasarana layanan kesehatan khusus gigi. Karena, layanan kesehatan harusnya menjadi wahana bagi para calon dokter gigi untuk berpraktik.

Di Sumatra Utara, ungkap Ranu, hanya beberapa daerah saja yang memiliki wahana yang baik untuk kedokteran gigi. Selain Rumah Sakit Gigi dan Mulut yang dimiliki Universitas Sumatra Utara. Lokasinya ada di beberapa kota seperti, Medan dan Pematang Siantar.

Ranu juga bercerita soal jalan panjang dan tantangan untuk menjadi dokter gigi spesialis. Setelah merampungkan strata 1 dan profesi, seorang dokter gigi bisa mengambil jenjang spesialis.

Untuk mengambil spesialisasi ada sejumlah syarat juga yang harus dipenuhi. Pada umumnya, mereka harus sudah bekerja sebagai dokter gigi selama setahun. Kemudian, mereka harus mendapat rekomendasi dari tempat dia bekerja untuk mengikuti pendidikan spesialis.

Kemudian seorang dokter gigi mengikuti ujian. Setelah dinyatakan lulus, dia harus menjalani pendidikan spesialis hingga 3 tahun. Khusus pada bedah mulut, pendidikannya mencapai 5 tahun.

Ranu mengatakan, selain prosesnya yang panjang, pendidikan spesialis menuntut pembiayaan yang tidak murah. Ketua Umum HMI Cabang Medan 2007 – 2009 itu menyebut, pendidikan spesialis bisa menghabiskan dana hingga Rp500 juta. “Jujur, biayanya mahal. Itu mulai dari biaya SPP, klinik, penelitian dan lainya,” katanya.

Tidak hanya spesialis, selama pendidikan strata 1 hingga menjadi dokter memiliki tempat praktik mandiri juga membutuhkan dana besar. Bayangkan, saja harga satu dental unit harganya bisa mencapai ratusan juta. Belum termasuk perlengkapan lain serta bahan praktik.

Kebanyakan, dokter mengambil spesialis gigi adalah orang–orang yang memiliki perekonomian cukup mapan. Meski pun ada jalur lainnya melalui berbagai beasiswa. Namun, peluangnya sangat kecil.

Tim Penulis: Imron, Ardiansyah Fajar, Riani Rahayu, Herlambang Jati Kusumo, Tama Wiguna, Wayan Antara, Ayu Afria Ulita Ermalia, Ni Ketut Wira Sanjiwani, Muhammad Nasir, Sri Wibisono, Anggun Pusponingrum, Debbie Sutrisno, Fariz Fardianto, Rangga Erfizal, Ashrawi Muin dan Prayugo Utomo.

Baca Juga: Provinsi Lampung Dilanda Krisis Dokter Spesialis? Ini Faktanya

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya