Cerita Qyoko, Millennial yang Berdayakan Perempuan Lewat Anyaman

Qyoko ingin menggali lebih dalam potensi di daerahnya

Bandar Lampung, IDN Times - Pandemik COVID-19 memang menjadi petaka karena dampaknya merambah ke segala aspek, terutama ekonomi. Namun hal itu tak menjadi alasan bagi millennial asal Tulang Bawang (Tubaba) Barat, Ezed Qyoko Wahyuni Pratiwi untuk mengembangkan ide-ide kreatifnya.

Prempuan akrab disapa Qyoko ini memberdayakan perempuan di kampung halamannya dalam memasarkan produk-produk khas Tubaba, terutama hasil anyaman tikew.

"Jadi tikew itu tumbuhan mirip kaya bambu tapi dia tipis dan kecil. Kalau daerah lain menyebutnya purun atau mendong," kata Qyoko kepada IDN Times Jumat (18/6/2021).

Berikut ini IDN Times rangkum cerita Qyoko memberdayakan perempuan di tanah kelahirannya.

Baca Juga: Perbedaan Makna 2 Siger Lampung Sebagai Mahkota Perempuan  

1. Tak bekerja selama satu tahun akhirnya lakukan ini

Cerita Qyoko, Millennial yang Berdayakan Perempuan Lewat AnyamanPemilik usaha Atu Qu millenial asal Tulang Bawang (Tubaba) Barat, Ezed Qyoko Wahyuni Pratiwi (Instagram.com/ezedqyoko)

Awalnya, Qyoko adalah seorang pengusaha tour dan travel luar negeri. Namun akibat pandemik COVID-19, selama satu tahun ia tak mendapat tamu. Alhasil, waktunya banyak dihabiskan di kampung halaman.

Karena tak bekerja sama sekali, akhirnya alumni Agroteknologi Universitas Lampung ini berbaur dengan masyarakat, terutama ibu-ibu perajin anyaman tikew. 

"Perajin di sini baru sampai tahap pembuatan saja. Untuk penjualan mereka bisa dibilang tidak ada perkembangan, hanya berkutat di lingkungan ini saja. Jadi saya menemukan produk anyaman tikew yang mulai hilang ini," tulisnya.

2. Budaya menganyam tikew semakin hilang

Cerita Qyoko, Millennial yang Berdayakan Perempuan Lewat AnyamanInstagram.com/Atu.qu

Setelah menggali lebih dalam mengenai anyaman dibuat oleh ibu-ibu di Tubaba, pada akhir 2020, Qyoko mulai membuat desain menarik untuk produk anyaman dan memasarkannya ke media sosial.

Menurutnya, ayaman tikew sebenarnya sudah ada sekitar tahun1960-an dan menjadi budaya bagi masyarakat setempat.

Namun dampak dari modernisasi dan pemasaran yang kurang, tikew semakin hilang di pasaran. "Karena ini budaya, jadi zaman dulu ketika mau menikah ada yang namanya sesan. Sesan itu isinya berupa produk dari tikew ini," ujar Qyoko.

3. Dahulu Tikew menjadi budaya khas sebagai hadiah pernikahan

Cerita Qyoko, Millennial yang Berdayakan Perempuan Lewat AnyamanTumbuhan tikew atau daerah lain menyebutnya mendong atau purun sebagai bahan baku utama anyaman (IDN Times/Silviana)

Qyoko menceritakan, saat ini sudah sangat jarang anak muda di kampung halamannya yang mau belajar menganyam tikew. Padahal zaman dahulu, ketika akan menikah, perempuan suku Lampung harus memiliki hasil keterampilan yang mereka buat.

"Kalau orang Lampung ketika menikah, wanitanya tidak membawa tangan kosong. Tapi anak-anak muda sekarang mulai meninggalkan budaya keterampilan tikew sehingga tinggal tersisa ibu rumah tangga," bebernya.

Sebab itu Qyoko mencoba menggiring anak muda di kampungnya untuk kembali menggeluti budaya menganyam tikew. "Supaya anak muda gak lupa ini adalah budaya daerah Tulang Bawang Barat,"  jelas dia.

4. Sebagai bentuk bakti pada sang ibu

Cerita Qyoko, Millennial yang Berdayakan Perempuan Lewat AnyamanPemilik usaha Atu Qu millenial asal Tulang Bawang (Tubaba) Barat, Ezed Qyoko Wahyuni Pratiwi (Instagram.com/ezedqyoko)

Menurut Qyoko, upaya memberdayakan perempuan dan menggali lebih dalam tentang potensi di daerahnya itu merupakan bentuk baktinya juga pada sang ibu yang telah meninggal dunia.

"Dulu beliau meneliti motivasi belajar anak menganyam tikew. Untuk membantu mewujudkan itu saya ambil peran untuk memberdayakan ibu-ibu," paparnya.

Qyoko menceritakan bagaimana kondisi ibu-ibu di daerahnya pada awal pandemik cukup sulit lantaran pergerakan ekonomi yang rendah. "Jadi saya beli dari mereka dan saya jual lagi lewat media sosial. Jadi aku membantu ibu-ibu itu seperti membantu ibuku," ungkapnya.

5. Topi tikew akan dipatenkan menjadi produk khas Tubaba

Cerita Qyoko, Millennial yang Berdayakan Perempuan Lewat AnyamanPotret millenial Tubaba mengenakan topi tikew (Instagram.com/ezedqyoko)

Saat ini, Qyoko sudah membuat akun media sosial seperti Instagram dan Facebook bernama Atu Qu untuk memasarkan hasil olahan anyaman tikew tersebut. Nama itu juga sekaligus menjadi merek produk yang ia jual.

"Atu itu panggilan anak perempuan Lampung pertama, dan dulu almarhum ibu dipanggil Atu. Kalau Q itu pelat kendaraan Tubaba identik huruf Q," terangnya.

Menurutnya, hasil olahan anyaman tikew bukan hanya tikar saja atau dalam masyarakat Tubaba disebut apay. Ada banyak bentuk lain seperti pinggan ruring, yaitu wadah bisa digunakan untuk tempat buah-buahan. Kemudian ada kedirun untuk tempat hasil panen, pakaian atau barang lainnya karena ukurannya besar.

"Paling dicari dan akan kita patenkan menjadi ciri khas Tubaba adalah topi tikew harganya Rp50 ribu. Paling mahal satu set kedirun terdiri dari kedirun kecil, sedang dan besar harganya Rp185 ribu," paparnya.

Qyoko bahkan sudah menjalin kerja sama dengan pihak pemerintahan seperti Dekranasda provinsi supaya anyaman di Tubaba menjadi bagian dari home decor.

6. Setiap motif memiliki makna dan pemakaian berbeda

Cerita Qyoko, Millennial yang Berdayakan Perempuan Lewat AnyamanTikew motif nago besilow (Instagram.com/atu.qu)

Qyoko juga mengatakan, bahwa saat ini ia sedang menggali data-data mengenai motif pada anyaman tikew. Sebab setiap motif memiliki makna dan pemakaian yang berbeda.

"Misal apay, ada banyak motif seperti puring digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Motif selop untuk nikah. Kalau apay andak untuk orang meninggal dunia. Jadi untuk apay ini setiap motif ada perbedaan penggunaan," terangnya.

Baca Juga: Tips Makeup Pengantin Tahan Seharian Ala MUA Lampung Rangga Juans

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya