Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan Ekonomis

Laut di Lampung sudah seperti "supermarket"

Bandar Lampung, IDN Times - Kesadaran masyarakat mengelola sampah menjadi barang bernilai ekonomi semakin meningkat. Sudah banyak bank-bank sampah mampu menghasilkan produk dan dijual di pasaran.

Ironisnya, ada sekelompok ibu-ibu rumah tangga yang sudah berjuang mengolah sampah menjadi barang yang bernilai seni dan ekonomi masih belum mendapatkan tempat untuk berjualan serta menunggu dukungan pemerintah.

1. Berkhayal mengolah sampah menjadi sesuatu yang bernilai

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Istimewa

Bermodalkan semangat untuk memerangi sampah yang kian hari kian menumpuk di lingkungan sekitar rumahnya, Turina salah satu warga Kampung Baru, Kelurahan Panjang Utara, Kecamatan Panjang meyakinkan teman-temanya untuk melakukan pengelolaan sampah menjadi barang yang lebih berguna.

“Saya awalnya punya bank sampah. Tapi kalau bank sampah itu nggak laku kan. Terus saya mikir gimana ya caranya ngelola sampah ini. Karena ngeliat di pantai banyak sampah plastik yang ancurnya lama, kalau dibakar juga bikin polusi. Seandainya dibuat apa gitu bisa nggak ya,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (15/10/2020).

Kebingungan Turina pun terjawab,  pada November 2019, ada rumah zakat yang memberikan tawaran untuk mengadakan program ecobrick. Program tersebut bekerjasama dengan CSR Pertamina yang akan memberikan pelatihan untuk masyarakat tentang bagaimana mengelola sampah menjadi barang yang bernilai ekonomi.

2. Mulanya berkarya tanpa memikirkan keuntungan

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Istimewa

Mengelola sampah menjadi barang yang bernilai ekonomi melalui ecobrick menjadi hal baru bagi warga Kampung Baru, Kelurahan Panjang Utara, Kecamatan Panjang. “Setelah diberi tahu apa itu ecobrick dan dikasih contoh gimana cara pembuatannya kita langsung mulai nentuin jadwal kumpul dan bikin ecobrick,” terang Turina yang didaulat menjadi Ketua gerakan Ecobrick.

Selama proses pembuatan, lima orang ibu-ibu dari kader posyandu yang ikut dalam program tersebut membuat jadwal pertemuan satu minggu sekali. Setiap pertemuan wajib mengumpulkan tujuh botol ecobrick.

“Jadi kita bikinnya sesempatnya karena bikin di rumah masing-masing. Setiap hari senin kita kumpul buat belajar olahan lain sambil ngumpul hasil yang udah kita buat,”ujarnya.

Menurut Turina, proses pembuatan ecobrick tersebut didasari ingin mengurangi sampah yang ada. Sekitar enam bulan sejak program itu bergulir, mereka belum mengetahui akan dijual kemana dan bagaimana cara pemasarannya.

“Saya kan awalnya ngajak-ngajak aja yang penting bikin dulu, dapet ilmu dulu masalah uang ya nomor sekian lah. Alhamdulilah ya ibu-ibu yang saya aja tertarik dan mau belajar,” jelasnya.

3. Tak ingin sampah kembali berhamburan, emak-emak inisiasi pembuatan kursi berbahan sampah

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Istimewa

Komitmen para emak-emak Kampung Baru, Kelurahan Panjang Utara, Kecamatan Panjang membuat ecrobick dan sempat mengadakan launching produk tak bertepuk sebelah tangan. Karya mereka mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Tak mau hasil karyanya terbuang sia-sia dan kembali menjadi sampah, kelompok yang saat ini mengubah nama menjadi Bengkel Ecobrick tersebut, membuat konsep pembuatan kursi. "Nah ini kan kita udah buat banyak dan nggak terjual daripada nanti malah program ini berhenti sampahnya juga berhamburan lagi akhirnya kita inisiatif dibikin jadi kursi sofa,” jelasnya.

Menurut Turina, masih ada saja masyarakat yang menganggap ecobrick tak memiliki nilai jual. “Sebenernya acobrick bisa jadi pengganti bata rumah juga, tapi masih belum pada tau. Terus kadang udah dibuat kaya gini tetep aja dianggep sampah kalau ngliatnya nggak dari nilai seninya,”ujar Turina.

4. Sempat berhenti, namun kembali bangkit dengan inovasi baru

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Istimewa

Turina mengatakan program ecobrick ini sempat diberhentikan oleh CSR Pertamina. Namun saat ini mereka kembali menandatangani kontrak yang lebih lama dan berencana menambah program lain.

“Sekarang kita kontrak satu tahun. Tapi saya juga rencananya mau ngajuin bikin tanaman hidroponik sama budidaya ikan,” katanya.

Turina menambahkan, akan membuat ecobrick dengan bahan-bahan yang lebih murah sehingga harga jualnya pun akan lebih terjangkau. Selain itu, anggota Bengkel Ecobrick kini ada 10 orang. Rinciannya, lima perempuan dan lima laki-laki.

5. Kesadaran itu muncul, karena fenomena di lapangan

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Istimewa

Turina menceritakan awal ketertarikan dengan kegiatan lingkungan penanganan sampah. Ia mengatakan, aktif mengikuti kegiatan lingkungan sejak 2014 seperti bersih pesisir pantai, pembuatan kompos, serta pembuatan pupuk cair atau mol (mikro organisme lokal).

Menurutnya kesadaran itu muncul bukan karena banyaknya dia mengikuti kegiatan lingkungan melainkan karena melihat fenomena sampah yang ada disekitarnya. Saat ini ia aktif mengikuti kegiatan-kegiatan secara daring untuk meningkatkan kemampuannya dalam memasarkan produk ecobrick.

“Saya kan nggak tau gimana cara masarin ecobrick itu. Jadi ya ini lagi belajar buat bikin nama sendiri kaya di IG, Facebook gitu,” tandasnya.

Baca Juga: Menikmati Sunset ala Bali di Pantai Sebalang Lampung

6. Berharap pemerintah hadir dan mendukung kreatifitas masyarakat

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Istimewa

Melihat karya yang dibuatnya masih belum bisa dipasarkan hingga hari ini. Turina berharap pemerintah ikut mendorong kreativitas mereka agar tetap berjalan dan membantu perekonomian masyarakat setempat.

“Pemerintah kan besar ya, ada kelurahan kecamatan itukan banyak ada dinas dinas juga. Maksud saya gini loh, pemerintah itu ikut sih, terus beli loh produk kita untuk contoh. Jadi istilahnya kaya sejenis memaksakan enggak cuma inginnya sih diwajibkan sebagai dukungan juga,” harapnya.

Menurut Turina, jika program ini tidak ada tempat penjualannya otomatis programnya berhenti, sampahnya pasti akan menumpuk lagi. “Kalau kita bikin satu botol ini aja yang 600 ml botol air mineral itu, kita masukin nggak sembarang masukin loh itu ada berat-beratnya. Jadi kapasitas berat itu menentukan. Satu botol itu 250 gram. Itu sampahnya kalau belum kita masukin situ empat kresek merah yang gede itu masuk itu jadi satu botol,” jelasnya.

7. Kondisi laut Lampung sudah seperti "supermarket"

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Istimewa

Sampah di pesisir Kota Bandar Lampung kian menjamur. Tak hanya mencemari biota laut masyarakat yang tinggal di pesisir pun cukup terganggu dengan pemandangan sampah dan bau menyengat di sekitar area pesisir. Selain itu jika air naik maka sampah-sampah tersebut akan masuk ke dalam rumah.

Hal tersebut dirasakan langsung oleh Aminah salah satu warga Pulau Pasaran. “Iya kalau banjir tetep naik sampahnya semua,” ujarnya.

Turina warga Kampung Baru yang tinggal di dekat pesisir pantai juga menduga bintik-bintik merah yang ada di kaki anak-anak kecil akibat dari berenang di air laut yang sudah bercampur dengan sampah dan tinja. “Mungkin itu karena berenang di air laut kan udah kotor. Soalnya saya suka liat kakinya anak-anak itu pada bintik-bintik gitu,”  

Dicky Dwi Alfandy, Co Founder Gajahlah Kebersihan, sebuah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan  di Lampung, menyatakan, sampah di perairan laut Lampung sudah seperti supermarket.

Hal tersebut ia buktikan sendiri saat melakukan hobinya menyelam di laut Lampung. “2017 saya sering banget nyelem di lautan Lampung. Di sana saya liat banyak banget sampah laut dari yang dipinggir pantai sampai kalau kita nyelem ke dasar laut itu banyak banget udah kaya supermarket,” jelasnya.

8. Penanganan sampah jadi program diusung para calon wali kota

Cerita Emak-emak Pesisir Kelola Sampah Jadi Ecobrick dan EkonomisIDN Times/Silviana

Pada sesi debat pemilihan calon pemimpin, persoalan lingkungan kerap menjadi tema debat. Tak terkecuali pada sesi debat calon wali kota Bandar Lampung pada Rabu  (14/10/2020) malam. Pada sesi debat, para calon saling adu argumentasinya mengenai penanganan sampah di pesisir Kota Bandar Lampung.

Calon wali kota Rycko Menoza menjanjikan akan lebih memanusiakan masyarakat yang ada di pesisir pantai. Selain itu, mengubah sungai-sungai yang banyak sampah menjadi sungai bagian depan dari rumah mereka agar mereka bisa menikmati keindahan dan menjaga kebersihan. “Kita lakukan normalisasi, kita keruk sedimen-sedimen yang bercamupur dengan sampah,”ujarnya.

Tak mau kalah dengan Rycko, Yusuf Kohar juga akan mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap kebersihan. “Karena Bandar Lampung Kota terjorok nomor tiga dari atas. Saya berencana mengadakan festival bersih laut, festival bersih sungai untuk menata kembali Bandar Lampung menjadi kota bersih.

Sedangkan calon lainnya Eva Dwiana mengklaim, pemerintah kota saat ini sudah melakukan yang terbaik untuk masayrakat pesisir. "Selalu mengedepankan bantuan gratis untuk warga di sana serta sudah melakukan penataan. Namun ke depan akan ditata lebih rapi lagi," ujarnya.

Baca Juga: 5 Olahan Mie Unik dan Lezat di Lampung, Siap-siap Lapar Guys!

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya