Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kalimantan (flickr.com/CIFOR-ICRAF)

Intinya sih...

  • Kerusakan hutan di Lampung mencapai level mengkhawatirkan, dengan 375.928 ha dari 1.004.735 ha total hutan rusak parah.
  • Liputan investigasi menunjukkan jutaan hektar hutan alam di Kalimantan Barat musnah atas nama investasi, mengganti dengan tanaman monokultur sawit dan akasia.
  • Nilai investasi tak sebanding dengan kerusakan alam, karena dapat memicu ancaman terhadap satwa endemik dan konflik sosial.

Bandar Lampung, IDN Times - Kerusakan hutan di Lampung mencapai level mengkhawatirkan. Hingga saat ini, seluas 375.928 ha dari 1.004.735 ha total hutan di Lampung rusak parah. Hal itu didominasi alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman dan perkebunan musiman.

Beberapa kalangan menilai, kerusakan itu salah satunya akibat kebijakan pembangunan dari pemerintah daerah tak berorientasi jangka panjang. Hal itu terungkap dalam acara nonton bareng dan diskusi publik digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Lampung bersama Teknokra Universitas Lampung, di Gedung Gerha Kemahasiswaan Lama, Universitas Lampung, Senin (3/6/2024).

Diskusi bertajuk “Deforestasi atas nama Investasi” itu dipandu Koordinator SIEJ Simpul Lampung Derri Nugraha dengan mima narasumber. Mereka yakni, Staf Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung Mustakim, Fungsional Perencana Ahli Madya Bappeda Lampung Ida Susanti, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Hutan Dinas Kehutanan Lampung Zulhaidir, Pengamat Kebijakan Publik Dodi Faedlulloh dan Jurnalis CNN Televisi Indonesia M Miftah Faridl.

1. Kondisi hutan di Lampung tidak baik-baik saja

Nonton bareng dan diskusi publik digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Lampung di Gedung Gerha Kemahasiswaan Lama, Universitas Lampung, Senin, (3/6/2024) (IDN Times/Istimewa)

Acara tersebut diawali nonton bareng liputan investigasi kolaborasi berjudul “Melawan Penjagal Hutan Kalimantan”. Liputan diterbitkan CNN Televisi Indonesia itu mengungkap fakta, bahwa jutaan hektare hutan alam di Kalimantan Barat musnah dijagal atas nama investasi.

Hutan dengan keanekaragaman hayati, berganti tanaman monokultur (sejenis) yakni sawit dan akasia. Kerusakan ini memicu berbagai persoalan mulai ancaman terhadap satwa endemik hingga konflik dengan masyarakat adat.

Laporan tersebut diinisiasi oleh SIEJ pusat melalui platform Depati Project. Media yang tergabung dalam kolaborasi yaitu CNN Indonesia TV, Betahita.id, Pontianak Post, Mongabay Indonesia, Ekuatorial.com, dan Jaring.id.

“Kita merefleksikan deforestasi hutan Kalimantan dengan melihat kerusakan hutan di Lampung. Ada kemiripan dengan yang terjadi di sana. Bahwa kondisi hutan di Lampung tidak baik-baik saja. Lebih dari 30 persen hutan di Lampung mengalami kerusakan yang salah satunya akibat alih fungsi lahan,” Kata Derri.

Derri mengatakan, hal tersebut mesti jadi perhatian semua pihak. Sebab, hutan merupakan jantung dari sebuah daerah. Di dalamnya, terdapat ekosistem kehidupan yang harus dijaga. Jika rusak, dapat dipastikan terjadi ketidakseimbangan ekosistem dapat memicu masalah multisektor mulai bencana alam hingga konflik sosial.

2. Bertambahnya jumlah penduduk jadi tantangan menjaga hutan

Image by wirestock on Freepik

Zulhaidir tak menampik, hutan di Lampung mengalami kerusakan. Namun, ia masih optimis dengan kondisi hutan yang ada. Menurutnya, lebih dari 60 persen hutan dalam kondisi cukup baik dan terjaga.

“Kami terus mengupayakan perlindungan hutan yang masih bagus serta merehabilitasi kawasan kritis,” ujarnya.

Menurutnya, tantangan ke depan ialah pertambahan jumlah penduduk. Saat ini, kawasan hutan banyak berbatasan langsung dengan desa-desa. Semakin tinggi jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahan meningkat. Hal itu bisa memicu, masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan.

3. Ruang terbuka hijau di Lampung menyusut

Taman Langit Gunung Banyak, Paralayang, Kota Batu. Foto: dok. Dhafintya

Selain kerusakan hutan, dalam diskusi, Walhi Lampung juga menyoroti deforestasi di luar kawasan serta kebijakan tata ruang. Salah satunya, menyusutnya ruang terbuka hijau di Lampung. Mustakim mengatakan, ketersediaan ruang terbuka hijau di Lampung sangat minim.

“Di kota Bandar Lampung saja, jumlah RTH hanya sekitar 2,93 persen. Hal itu sangat jauh dari amanat undang-undang yang mewajibkan 30 persen dari luas kota,” katanya. 

Disampaikan Mustakin, berdasarkan catatan Walhi, selama dasawarsa terakhir, dari 344,256 ha luas RTH di Bandar Lampung, sekitar 102,43 hektare lahan beralih fungsi menjadi industri, perumahan, objek wisata, dan lain-lain. Selanjutnya, dari 33 bukit di Kota Tapis Berseri, sebanyak 20 bukit rusak parah. Sebagian besar menjadi pertambangan dan permukiman.

4. Atas nama investasi ruang terbuka hijau di sulap jadi pusat bisnis

ilustrasi pusat perbelanjaan. (unsplash.com/ Alexander Kovacs)

Mustakim melanjutkan, hal itu disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah yang kerap memberi restu pembangunan yang mengambil ruang terbuka hijau. Atas nama pembangunan dan investasi, ruang terbuka hijau disulap menjadi pusat bisnis dan jasa. Bukit-bukit ditambang, lalu dibentuk menjadi perumahan dan objek wisata. Dengan dalih untuk hajat hidup orang banyak, hutan dibabat dan terjadi alih fungsi lahan.

“Contoh terbaru, dalam Rancangan Perda RTRW Kota Bandar Lampung dalam pasal 22 huruf (b) yaitu kawasan hutan lindung Batu Srampog Register 17 di Kecamatan Panjang, direncanakan ditetapkan sebagai kawasan perumahan,” ujar Mustakim.

Terkait persoalan tersebut, Ida Susanti mengatakan statusnya holding zone atau masih dalam proses peralihan. Sebab, sebetulnya sejak 2010 kawasan Batu Srampog secara faktual memang sudah terdapat pemukiman. Jadi coba dialihkan yang awalnya kawasan lindung menjadi perumahan. Namun, yang memiliki kewenangan tetap pemerintah pusat.

"Lalu, secara garis besar, Bappeda memastikan untuk mempertahankan hutan dan memperbaiki hutan yang rusak dalam setiap perencanaan pembangunan di Lampung," kata Ida. 

5. Nilai investasi tak pernah sebanding dengan kerusakan lingkungan

Ilustrasi Peristiwa Alam (Unsplash/Rob Morton)

Menurut Miftah Faridl sebagai jurnalis meliput langsung jejak deforestasi di Kalimantan berpesan, nilai investasi tak pernah sebanding jika dengan merusak lingkungan. Contohnya, jika lahan gambut dirusak, kerugian yang harus ditanggung negera dan masyarakat tidak akan sepadan. Sebab, lahan yang rusak akan membawa bencana ekologis dan konflik sosial.

“Berapa triliun yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi banjir bandang dan kebakaran hutan akibat lahan dirusak? Belum lagi nyawa yang harus melayang akibat kebijakan yang salah. Maka berapapun nilai investasinya tak pernah sepadan dengan ongkos lingkungan akibat kerusakan alam,” terangnya.

6. Kebijakan pemerintah harus berdasar studi ilmiah dan bukti nyata

ilustrasi anak sedang berpetualang di hutan (pexels.com/Ron Lach)

Melihat kondisi itu, Dodi Faedlulloh berpendapat, dalam setiap perumusan kebijakan publik harusnya melibatkan semua pihak terutama masyarakat yang bakal terdampak kebijakan. Dodi berkaca dari kasus di Kalimantan yang tersaji dalam liputan investigasi CNN. Tiba-tiba sebuah perusahaan datang dan menggunduli hutan.

Masyarakat yang menggantungkan hidup pada hasil hutan, akhirnya terpaksa kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan. Sebab, masyarakat yang tinggal di sana tak pernah diajak diskusi untuk merumuskan kebijakan. Padahal, mereka sudah tinggal di sana sejak zaman leluhurnya. Menurutnya, hal itu jangan sampai terjadi di Lampung.

“Pemerintah mesti mendasarkan sebuah kebijakan pada studi ilmiah dan berbasis bukti nyata. Artinya, kebijakan tersebut sudah terbukti membawa dampak baik bagi lingkungan dan sosial,” kata Dodi.

Editorial Team