Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?

Simak perjuangan warga Tionghoa Lampung pada zaman Orde Baru

Intinya Sih...

  • Etnis Tionghoa hadir di Nusantara sejak era Hindia Belanda, membawa kontribusi besar dalam sejarah Indonesia.
  • Pada zaman Orde Baru, masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi dan pembatasan berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan bahasa.
  • Seiring berjalannya waktu, larangan-larangan tersebut mulai terangkat, memungkinkan warga Tionghoa untuk lebih baur dengan masyarakat lokal.

Bandar Lampung, IDN Times - Menurut catatan perjalanan, pendeta Buddha sohor asal Tiongkok I-Tsing atau Yi Jing mengatakan pernah datang ke Kerajaan Sriwijaya pada 651 Masehi. Ia kemudian menetap beberapa bulan di sana untuk mempelajari Bahasa Sansekerta.

Namun kedatangan Etnis Tionghoa ramai ke Nusantara ketika era Hindia Belanda. Gelombang emigrasi dipicu oleh kejatuhan dan ketidakpastian hidup di masa dinasti-dinasti China. Pada awal abad ke-15, ada tujuh ekspedisi besar dilakukan di seluruh dunia. Salah satunya dipimpin oleh Sam Po atau Cheng Ho.

Ia berhasil mengunjungi Palembang Sumatra Selatan membawa ratusan pekerja Tionghoa termasuk sejumlah besar Muslim Yunan. Setelah berhasil menduduki Palembang, Sam Po membangun komunitas Muslim Tionghoa pertama di Indonesia.

Warga Tionghoa lainnya yang tiba di Nusantara juga menetap, membuat komunitas baru dan hidup bersama penduduk lokal kala itu. Aktivitas masyarakat Tionghoa pun berkembang hingga memberi banyak kontribusi dan peran besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, termasuk di Provinsi Lampung.

Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Lampung, Christian Chandra menjelaskan, keberadaan Etnis Tionghoa di Lampung sebenarnya sudah ada sejak lama. Mayoritas dari mereka datang dari Kota Palembang memang menjadi salah satu daerah pertama di Sumatra disinggahi orang Tionghoa dari China.

Chandra menceritakan, orang Tionghoa juga sudah sejak ratusan tahun lalu menetap di wilayah Bangka. Di sana orang Tionghoa bekerja sebagai buruh kasar Perusahaan Timah dan menetap. Hingga akhirnya memiliki keturunan dan menyebar ke Lampung.

“Sebagian besar etnis Tionghoa di Lampung ini dari Palembang dan Bangka. Karena dari awal kan tujuannya datang ke Kerajaan Sriwijaya. Setelah masuk ke Indonesia, menyebarlah ke berbagai daerah lain secara bertahap salah satunya Lampung. Kalau tahunnya saya memang tidak tahu pasti tapi kemungkinan sekitar 1.800-1.900,” katanya pada IDN Times, Jumat (2/2/2024).

1. Sejarah kedatangan warga Tionghoa ke Lampung menurut rujukan resmi

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?Vihara Thay Hin Bio. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Sejarawan Lampung Arman AZ menjelaskan, sampai saat ini masih belum ditemukan adanya rujukan resmi terkait masuknya orang Tionghoa ke Lampung. Meski begitu, ia menyebutkan ada beberapa sumber arsip arkeologi untuk mendeteksi kapan datangnya masyarakat Tionghoa ke Bumi Ruwa Jurai.

“Misalnya dengan cara menelusuri sejarah lewat tempat ibadah tertua masyarakat Tionghoa. Seperti Vihara Thay Hin Bio yang menjadi vihara tertua di Bandar Lampung menurut sumber resmi Kemenag Lampung. Kita bisa cek arkeologi dari sana,” jelasnya.

Selain itu, informasi tersebut juga bisa dilacak lewat arsip tulisan, foto atau peta. Misalnya, seperti tulisan salah satu tokoh Pers Indonesia, Tirto Adi Suryo yang dibukukan pada 1900an dan mengatakan kehadiran masyarakat Tionghoa di Lampung yakni menjadi buruh perkebunan di Lampung.

“Kemudian dari aspek peta juga pernah ditemukan yakni pada peta Teluk Betung Tahun 1906. Di sana terdapat tulisan ‘chinese camp’ di sekitar wilayah Tanjung Karang. Sementara menurut arsip foto tertua yang beredar di internet, juga ada sekelompok masyarakat Tionghoa di daerah Waylima Kedondong Pesawaran,” jelasnya.

Sehingga Arman menduga, berdasarkan data tersebut masyarakat Tionghoa memang sudah lama masuk ke Provinsi Lampung secara swadaya atau tanpa koordinasi seperti program transmigrasi dari pemerintah.

2. Sejarah adanya warga Tionghoa dari vihara tertua di Bandar Lampung

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?Vihara Thay Hin Bio. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Apabila merujuk tempat ibadah tertua orang Tionghoa Lampung, Rohaniawan Vihara Thay Hin Bio, Viriya Parama mengatakan vihara ini berdiri pada 1896. Berawal dari ditemukannya arca Bodhisattva atau yang dikenal secara umum dengan Dewi Kwan Im.

“Setelah terjadi letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, terjadi banjir di Teluk Betung sampai ke arah Polda lama. Setelah mulai surut airnya, arca ini mengapung kemudian diambil oleh orang keturunan Tionghoa,” ujarnya.

Arca Dewi Kwan Im ini kemudian ditaruh di altar rumah warga Tionghoa di sana. Semakin lama rumah warga Tionghoa tersebut terus didatangi banyak orang yang hendak melihat arca tersebut.

“Jadi mungkin karena merasa privasinya terganggu, akhirnya didirikan cetya atau vihara kecil dan arca tersebut ditaruh di sana. Kemudian di lokasi saat ini dibangun lah Vihara Thay Hin Bio pada 1896 yang masih beroperasi sampai saat ini,” kata Viriya.

Baca Juga: Produksi Padi di Lampung Meningkat, tapi Regenerasi Petani Nihil

3. Cerita orang Tionghoa zaman Orde Baru di Lampung

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Lampung, Christian Chandra. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Chandra mengatakan, keluarganya sejak beberapa generasi telah lahir dan besar di Provinsi Lampung. Sehingga ia sempat merasakan diskriminasi orang Tionghoa pada zaman Orde Baru di mana saat itu pergerakan masyarakat Tionghoa sangat dibatasi. 

“Zaman Orde Baru itu memang sangat jelas ya (diskriminasi terhadap warga Tionghoa), karena ada peraturannya. Kalau tidak salah dulu itu PP 10 (Tahun 1959). Salah satunya etnis Tionghoa tidak boleh tinggal di kota, harus di daerah (kabupaten). Gara-gara itu sampai banyak yang akhirnya pulang lagi ke China,” ujarnya.

Ia mengatakan, orang Tionghoa baru bisa bernapas lega setelah  Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden ke-4 RI. Salah satu kebijakannya adalah membebaskan orang Tionghoa merayakan Imlek dan memeluk agama Konghucu.

“Zaman Gus Dur kan kita boleh Imlekan lagi dan oleh bu Mega diperkuat dengan adanya tanggal merah. Kalau sebelum itu jangankan ada libur imlek, untuk merayakannya saja dilarang,” imbuhnya.

4. Kebijakan pemerintah era Orba membuat Tionghoa Indonesia saat ini tak bisa berbahasa Mandarin secara alami

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?ilustrasi orang tua mengajarkan aksara Tionghoa kepada anak-anak (istockphoto.com/AsiaVision)

Tak hanya itu, ia melanjutkan pergerakan orang Tionghoa zaman Orde Baru juga berdampak pada aspek sosial dan pendidikan anak-anak. Semua sekolah khusus Tionghoa ditutup, adanya pelarangan penggunaan bahasa dan aksara Mandarin, sampai larangan menggunakan nama China.

“Jadi anak-anak pada zaman itu hampir semua tidak bisa bahasa Mandarin, termasuk saya yang sampai sekarang tak bisa Mandarin. Orang tua gak bisa bicara atau ngajarin ke anaknya. Menulis aksara juga tidak boleh, bahkan penggunaan nama China juga gak boleh, harus pakai nama Indonesia,” jelasnya. 

Secara pribadi, Chandra sangat menyayangkan hal tersebut. Padahal dewasa ini, memiliki kemampuan berbahasa asing termasuk Mandarin sangat diperlukan. Namun budaya turun-temurun tersebut harus terputus karena kebijakan pemerintah.

“Seharusnya kita bisnis dengan Tiongkok bisa enak, tapi sekarang sudah susah karena kita gak bisa bahasanya. Sayang sekali,” imbuhnya.

5. PSMTI mendorong warga Tionghoa berani terjun ke semua sendi kehidupan masyarakat

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?Vihara Thay Hin Bio. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Meski begitu, Chandra mengaku menemukan hikmah atas larangan menggunakan nama China pada orang Tionghoa di Indonesia saat itu. Menurutnya hal itu berdampak baik karena bisa menurunkan kesenjangan warga Tionghoa dan masyarakat lokal setempat.

“Saya jadi berpikir, larangan pakai nama Tionghoa itu menurut saya ada baiknya juga. Jadi kita bisa membaur melalui nama Indonesia kita. Suatu hal yang baik juga agar tidak terlalu eksklusif,” tambahnya.

Chandra juga senang kini kata “pribumi” dan “non pribumi” sudah tidak lagi digunakan di Indonesia. Pasalnya, tak dipungkiri hingga kini masih ada sebagian kecil orang menganggap orang Tionghoa Indonesia (Chindo) bukanlah orang asli Indonesia dan anggapan itu salah.

“Saya tahunya nenek moyang saya lahir dan besar di Indonesia. Siapa yang tahu kalau salah satu dari mereka ada yang pernah menikah dengan suku di Indonesia. Sama lah dengan etnis lainnya. Saya yakin sudah tidak ada lagi yang 100 persen murni,” katanya.

Oleh karenanya, Chandra melanjutkan PSMTI didirikan agar warga Tionghoa bisa membaur dengan masyarakat suku lain. Bisa masuk ke dalam kehidupan masyarakat di berbagai bidang.

“Misalnya supaya mau jadi tentara atau PNS. Termasuk politik, dulu yang nyaleg tuh bisa dihitung, sekarang di Lampung sudah banyak yang mau. Mungkin dulu sedikit itu karena trauma semenjak 1965 (Orde Baru) itu kan Tionghoa disisihkan karena waktu itu partai gak semua ideologinya Pancasila. Sekarang kan semua sudah berlandaskan Pancasila,” paparnya.

6. Kenapa masyarakat Tionghoa di Lampung tidak berbicara Bahasa Lampung?

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?ilustrasi perayaan Imlek (pexels.com/Angela Roma)

Orang Tionghoa di beberapa daerah Indonesia memiliki ciri khasnya masing-masing. Salah satunya dari logat bahasa. Kita bisa melihat warga Tionghoa Surabaya sangat fasih berbahasa Jawa. Bahkan hampir semuanya memiliki logat jawa kental saat berbicara bahasa Indonesia. Sayangnya hal tersebut tidak terjadi di Lampung.

“Sama seperti di Jawa, di Palembang Chindonya juga fasih ngomong bahasa Palembang. Beda dengan Lampung. Menurut saya ada beberapa faktor di sini, bisa jadi karena mereka dari etnis Tionghoa yang berbeda. Atau bisa juga karena Tionghoa di Lampung (dulu) terkesan memisahkan diri jika didasarkan pada peta (Chinese Camp),” kata Arman.

Kemudian, ia menambahkan penggunaan bahasa Lampung juga memang tidak semasif Bahasa Palembang dan Bahasa Jawa di daerahnya. Sehingga pendatang termasuk orang Tionghoa tidak mendapat pengaruh cukup berarti.

“Ini juga bisa jadi karena persentase masyarakat Lampung asli yang lebih sedikit dibanding pendatang. Sehingga bahasa Indonesia lebih sering digunakan dan mungkin menjadi penyebab tidak ada peleburan dalam aspek bahasa. Kalau di Surabaya etnis lokalnya kan dominan tuh, jadi ada akulturasi bahasa,” paparnya.

7. Warga Tionghoa sudah mulai merambah ke sektor luar perdagangan

Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?Peakpx

Arman menanggapi terkait adanya stereotipe masyarakat tentang warga Tionghoa di Lampung mayoritas bermata pencaharian sebagai pedagang atau bekerja di bidang ekonomi. Bisa di bilang stereotipe ini menganggap hampir tak ada sektor lain yang dijamah .

“Latar belakang etnis Tionghoa yang dulu (Orde Baru) tidak bisa menjadi ASN atau abdi negara menjadi salah satu penyebab. Selain itu etnis ini juga datang ke Indonesia dikarenakan untuk berdagang sehingga wajar jika memang sampai saat ini banyak yang bekerja di sektor perdagangan,” tuturnya.

Namun menurutnya, kini sudah banyak warga Tionghoa mengambil peran di luar sektor perdagangan misalnya atlet olahraga. Cukup banyak atlet Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa. Ia menyebutkan, bahkan ada pelatih badminton terkenal era 1960-1970 yang berasal dari Teluk Betung.

Arman menyampaikan, saat ini sudah bukan lagi masanya membedakan manusia berdasarkan ras. Ia berharap, anggapan masyarakat tentang Chindo yang bukan orang Indonesia itu bisa dihilangkan sepenuhnya. Karena dapat berbahaya bagi kesatuan bangsa dan menimbulkan politik identitas.

“Sebenarnya upaya untuk mempersatukan etnis Tionghoa dan Lampung ini sudah ada sejak dulu. Di Skala Brak pernah menjadikan masyarakat Tionghoa sebagai adik keluarga kerajaan dan upaya-upaya seperti ini sangat menarik untuk dilakukan,” jelasnya.

Baca Juga: Menelisik Dibalik Kepulan Asap Rokok Ilegal di Bandar Lampung

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya