Masifnya Kekerasan Antar Pelajar di Lampung, Pengamat: Anak Perlu N'Ac

Usia remaja menjadi salah satu tolak ukur

Bandar Lampung, IDN Times - Kekerasan antar pelajar masih marak terjadi di tanah air, tak terkecuali di Provinsi Lampung. Sepanjang 2022 ini saja, terdapat setidaknya 12 kasus kekerasan melibatkan pelajar sekolah di Lampung. Di antaranya kasus tawuran di Jalan Pramuka Rajabasa dan tawuran Baypass Gajah Mada pada Januari 2022.

Kemudian tawuran antar pelajar juga pernah terjadi di Jalan Panglima Polim dan mengakibatkan satu korban terkena luka bacok pada Februari 2022. Lalu ada jug tawuran perang sarung dengan senjata tumpul di Jalan Teuku Umar April lalu.

Terbaru, 305 remaja diamankan polisi karena terindikasi melakukan aksi tawuran antar pelajar September 2022.

Dari fenomena tersebut, Akademisi dari Universitas Lampung, Thoha B Sampurna Jaya menjelaskan, perilaku para pelajar ini tentunya didasari pada sifat asli dari remaja di masa pubertas.

“Secara konsep usia mereka ini kan remaja ya, yang berada di masa pubertas. Di mana akan ada kegelisahan-kegelisahan karena beberapa keinginan dalam dirinya tidak semuanya dapat terpenuhi. Di tambah dengan rasa ingin tahunya yang luar biasa,” kata Thoha, Minggu (16/10/2022).

1. Usia kecenderungan kenakalan remaja muncul

Masifnya Kekerasan Antar Pelajar di Lampung, Pengamat: Anak Perlu N'AcIlustrasi Pelajar. (IDN Times/Mardya Shakti)

Dosen Statistika di FKIP Unila ini menyebutkan, dalam teori psikologi, perkembangan perubahan mendasar pada manusia akan muncul ketika manusia sudah mencapai batas usia tertentu. Salah satunya pada saat anak-anak menuju usia remaja.

“Perpindahan dari anak-anak ke remaja itu ada di SMP sebenarnya. Maka tingkat kenakalan itu mencolok pada saat SMP dan awal SMA atau di kelas 8 hingga kelas 10. Itu masa pancarobanya,” imbuhnya.

Di waktu-waktu itulah, sebaiknya baik keluarga maupun sekolah jangan sampai kecolongan. Pengawasan memang perlu ditingkatkan namun jangan sampai membuat anak tertekan.

“Karena menuju remaja itu akan muncul dibenak mereka bahwa mereka sudah besar, padahal ya mereka masih sama saja anak-anak. Lalu akan muncul juga keinginan-keinginan misalnya ingin kebebasan, atau berbuat sesuatu yang menurut pemikiran mereka itu benar,” jelasnya.

2. Hubungan senioritas pun berpengaruh

Masifnya Kekerasan Antar Pelajar di Lampung, Pengamat: Anak Perlu N'AcDosen FKIP Unila, Thoha B Sampurna Jaya. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Thoha menyebutkan, adanya kelompok atau bisa disebut geng sekolah semacam itu sebenarnya sudah ada sejak lama. Kelompok ini biasanya juga membudaya turun temurun dari kakak tingkat ke adik tingkat di sekolahnya, dan masifnya perilaku menyimpang anak remaja pada saat ini juga kemungkinan diakibatkan oleh faktor lingkungan.

“Hal semacam itu kan memang sudah membudaya dari dulu sampai sekarang. Maka memang harus dilakukan suatu perubahan misalnya di dalam proses pengenalan lingkungan sekolah itu harus melibatkan pihak guru dalam pelaksanaannya, jangan hanya senior,” katanya.

Ia juga menyampaikan, pengajar juga wajib melakukan pengawasan dalam proses pengenalan lingkungan sekolah pada siswa baru dan menanamkan sikap berkompetisi dalam bidang akademik secara sehat. Tenaga pendidik juga wajib paham jika ada senior melakukan tindakan bersifat menekan kepada temannya hingga melakukan tindakan tidak sesuai norma-norma.

“Selain melibatkan guru, hendaknya menyusun program pengenalan lingkungan sekolah juga harus melibatkan pihak orang tua supaya diawal itu orang tua juga sudah diberikan gambaran. Karena awal sangat menentukan perjalanan berikutnya seperti apa,” ujarnya.

Baca Juga: Baju Adat Wajib jadi Seragam Sekolah, SMP-SMA Lampung Angkat Bicara

3. Empati masyarakat semakin menurun

Masifnya Kekerasan Antar Pelajar di Lampung, Pengamat: Anak Perlu N'AcIlustrasi tidak peduli. (Pinterest)

Kemudian terkait lingkungan. Baik di sekolah, keluarga, maupun lingkungan masyarakat, Thoha mengatakan saat ini tingkat kepedulian atau empati masyarakat semakin menurun.

“Kalau kata orang ‘sepanjang tidak ada keterkaitannya dengan saya ya sudah’. Jadi memang sedikit sekali rasa peduli dan empati itu karena sekarang manusia cenderung lebih menekankan kepada apasih untungnya kalau saya melakukn itu. Ukurannya sudah untung rugi, bukan baik dan buruk lagi,” kata Thoha. 

Maka sebenarnya trilogi lingkungan, yakni lingkungan informal atau rumah, lingkungan formal atau sekolah, dan lingkungan nonformal atau mastarakat harus hadir dan selalu ada ketika diperlukan oleh anak dan dilakukan secara sinergis.

4. Perlu adanya need of achievement

Masifnya Kekerasan Antar Pelajar di Lampung, Pengamat: Anak Perlu N'AcUnsplash

Thoha menambahkan, persoalan ini juga berhubungan dengan kebutuhan emosional anak. Dalam teori Maslow, agar pemenuhan dasar dalam diri anak dapat berkembang dengan baik maka wajib diberikan virus prestasi atau need of achievement atau n’ach.

Virus itu semestinya selalu ada karena bisa mengarahkan anak agar selalu melakukan hal produktif dan positif yang membuatnya berprestasi. Virus ini juga tak hanya harus ada di sekolah tapi juga di luar sekolah. Karena apa yang anak dapatkan di sekolah belum tentu sama dengan apa yang anak lihat ditengah masyarakat.

“Contoh kegiatan ekskul, kegiatan itu kan bisa menyalurkan emosional siswa. Anak jadi menyalurkan energi mereka pada kegiatan itu. Nah kalau sudah berkhiat mereka gak bakal ada pikiran aneh, sudah capek ekskul, pulang, tidur, udah habis energinya enggak ada tawuran,” paparnya.

5. Jangan buat image negatif pada anak

Masifnya Kekerasan Antar Pelajar di Lampung, Pengamat: Anak Perlu N'Acpexels.com/Yan Krukov

Terakhir, Thoha menekankan tak ada salah satu pihak yang salah dalam kenakalan remaja. Semua wajib bertanggung jawab mulai dari orang tua, sekolah, lingkungan, sampai kepada anak itu sendiri.

“Oleh karena itu saya berharap komunikasi orang tua dan sekolah itu dapat dilakukan secara intens. Tak hanya lewat media sosial seperti grup WhatsApp begitu, tapi juga pertemuan secara langsung,” katanya.

Kemudian ia juga menyampaikan, jika memang persoalan kenakalan remaja tersebut tidak sampai menimbulkan tindak pidana dan kejadiannya masih di dalam lingkungan sekolah, maka sebaiknya peran polisi di sekolah dikurangi.

“Maksudnya polisi gak perlu masuk ke sekolah karena disitu sudah ada guru dan pengaman sekolah karena bisa menimbulkan image buruk di mata masyarakat, ada apa kok polisi sampai masuk. Takutnya memimbulkan mispersepsi karena di sekolah masih tanggung jawab sekolah. Kecuali memang ada hal yang menimbulkan kerusakan atau tindak pidana,” tutupnya.

Baca Juga: Profil Kapolda Lampung Irjen Akhmad Wiyagus, Segini Hartanya

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya