Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di Lampung

Hingga kini hak dan keadilan para korban masih belum jelas

Intinya Sih...

  • Tragedi Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi 34 tahun lalu.
  • Diskusi FJPI Lampung bertujuan menghimpun informasi terkait tragedi, menyuarakan ketidakadilan korban, dan mencari solusi agar trauma korban bisa pulih.
  • Korban Talangsari mengalami kehilangan keluarga, pengungsi, penindasan oleh aparat, diskriminasi masyarakat, dan belum mendapatkan hak atas tanah mereka.

Bandar Lampung, IDN Times - Tragedi Talangsari 1989 merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Peristiwa ini terjadi 34 tahun lalu tepatnya pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (saat itu masuk Kabupaten Lampung Tengah).

Dusun Talangsari atau yang lebih familiar dikenal dengan Dusun Cihideng saat ini sudah berganti nama menjadi Dusun Subing Putra 3. Perubahan nama ini dilakukan agar para korban tak lagi mengingat peristiwa kelam pada masa orde baru bernama “Talangsari”.

Memperingati hari HAM Nasional, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung mengadakan diskusi bersama Korban Peristiwa Talang Sari 1989 dengan tema Berdamai dengan Trauma, Sabtu (23/12/2023). Fokus utama diskusi ini adalah menghimpun informasi terkait tragedi dilingkup jurnalis agar kebenaran peristiwa dapat dipublikasikan serta mencari solusi agar trauma korban bisa berangsur pulih.

Diskusi ini juga bertujuan untuk terus menyuarakan ketidakadilan korban kejahatan HAM berat agar generasi saat ini dapat mengetahui kebenaran cerita tanpa ada distraksi. Agar anak muda tak melupakan sejarah dan kejadian tersebut tak terulang kembali.

1. Tak hanya orang dewasa, korban Tragedi Talangsari ada anak-anak dan remaja

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di LampungIlustrasi kekerasan pada anak-anak dan perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Salah satu korban pada tragedi tersebut adalah Edi. Dalam diskusi tersebut, Edi bercerita saat peristiwa itu berlangsung ia masih kelas 1 SMP. Edi mengatakan tak hanya di Dusun Cihideng, pembantaian Talangsari juga terjadi di Desa Sidorejo.

“Sebenarnya waktu itu ada dua peristiwa (Tanggal) 6-7 di Dusun Cihideng dan merembet besoknya di Desa Sidorejo Lampung Tengah. Di Cihideng saya biasa main dengan teman-teman yang sebaya dengan saya, ada 11 anak. Tapi setelah kejadian itu, 11 anak itu gak pernah kembali. Gak pernah pulang ke rumah mereka sampai sekarang,” ungkapnya.

Edi menceritakan, hingga saat ini pun belum ada kejelasan mengenai kabar 11 anak hilang usai peristiwa Talangsari tersebut. Jika pun meninggal, mayat mereka belum ditemukan. Oleh karenanya nama 11 anak itu sampai saat ini masih berada di kartu keluarga masing-masing.

2. Aparat negara menyerang rumah dan masjid tanpa alasan jelas

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di LampungKorban Talang Sari 1989. (IDN Times/Rohmah Mustauida)

Edi bercerita, suatu malam datang aparat polisi di depan rumahnya. Polisi-polisi itu menyebut masyarakat setempat PKI dan meminta semuanya untuk keluar. Keributan tersebut membuat salah satu ustaz masjid keluar dan terjadi cekcok antara usta dengan polisi.

“Saya lihat sendiri pak ustaz, guru ngaji saya itu meninggal setelah mereka berantem. Saya langsung lari pulang ke rumah dan ngomong sama ustaz lain di sana,” ujarnya.

Tak hanya itu, aparat TNI juga mendatangi sebuah musala di Dusun Talangsari dan menembak beberapa kali di sana. Akibatnya ada 3 jemaah meninggal.

Di tengah peristiwa mencekam itu, Edi pindah bersama ibunya ke Padang untuk mengungsi. Namun tak disangka ternyata TNI dari Kodim di Padang pun menangkap Edi dan ibunya. Di sana Edi melihat Ibunya diinterogasi di sebuah lapangan olah raga dan disiksa.

“Saya ngeliat itu dari dalam ruangan dan gak boleh keluar. Ibu saya diinterogasi sambil dijedotin kepalanya di tembok. Rasanya saya ingin lari dan menolong ibu saya tapi gak bisa,” ungkapnya.

Baca Juga: LBH Bandar Lampung Sesalkan Kasus Talangsari Diselesaikan Nonyudisial

3. Tak hanya ditangkap, korban sandera juga disiksa

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di LampungIlustrasi sandera ditangkap (istockphoto.com/cyano66)

Tak hanya melihat ibunya disiksa, Edi juga merasakan sendiri penderitaan sebagai sandera TNI di sana. Ia mengatakan dirinya direndam dalam kolam air kotor selama berjam-jam hingga menggigil, ditakut-takuti, agar dirinya mau mengungkapkan keberadaan ayahnya.

“Saya memang saat itu gak tahu ayah saya di mana. Ada orang yang bilang ayah saya sudah ditangkap, saya gak tahu. Saya dipenjara di Kodim itu selama satu minggu. Terpisah dengan Ibu saya. Di sana saya disuruh nyuci motor dan mobil TNI di sana dan memasak makanan untuk para tahanan,” jelasnya.

Setelah satu minggu, Edi mengatakan tiba-tiba dirinya diminta untuk membakar berkas interogasi tahanan. Setelah itu ia dan ibunya dipulangkan ke Lampung. Bersama para korban Talangsari lainnya mereka dibuatkan tenda dan memulai menjalani hidup lagi disana.

4. Mau melapor ke gubernur malah ditangkap

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di Lampungilustrasi mengirim surat berisi dokumen (pexels.com/John-Mark Smith)

Pasca peristiwa itu, kehidupan para korban tidak sama lagi. Mereka tak bisa lagi pulang ke rumahnya karena semua bangunan tak ada lagi, habis dihancurkan dan dibakar oleh TNI.

Tak hanya rumah, Edi juga tak bisa meneruskan sekolah karena sekolah lamanya tutup, dan anak para korban ditolak oleh sekolah lain karena dituduh bekas Mujahidin.

“Waktu itu sekitar tahun 1990, LBH Bandar Lampung coba sempat advokasi keluarga kami untuk melapor ketidakadilan ini. Tapi nyatanya setelah melapor malah bapak saya dipenjara 2 bulan,” katanya.

Ada juga saran untuk menyurati gubernur, bupati, dan wakil presiden. Namun semua surat itu selalu jatuh ke tangan TNI sehingga ayahnya kembali ditangkap. Sejak 1998, melalui Komunitas Solidaritas Mahasiswa Lampung mulai ada perubahan sampai hari Ini.

5. Penyebab trauma dan diskriminasi para korban Talangsari

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di LampungPinterest

Korban lainnya Turasih menceritakan kisah dari sudut pandang dirinya saat itu. Saat kejadian ia memiliki bayi berusia 11 bulan. Kabur dari desa bersama kakak perempuannya yang membawa anak SD dan juga bayi.

“Jam 11, waktu itu ada mobil masuk dan terdengar suara tembakan. Ngumpul semua keluarga saya, ada 3 keluarga waktu itu di rumah bapak saya. Kami akhirnya coba kabur dan ngungsi ke desa seberang lewat pintu belakang,” katanya.

Turasih mengatakan saat itu mereka kabur melewati hutan, alas, pontang-panting membawa bayi takut ditangkap dan ditembak. Nahas saat sampai disungai, jembatan penghubung antar desa sudah dihancurkan. Akhirnya mereka melewati sungai tanpa jembatan.

“Sudah sampai di sana kami gak boleh ngungsi. Mana semua laki-laki di keluarga kami ditangkap. Suami saya gak berani pulang karena tahu kondisi di sini. Anak saya sempat muntahber juga nular ke anak lain. Ngemis-ngemis kami minta obat ke klinik karena gak punya uang,” ujarnya.

Pascakejadian tersebut juga memprihatinkan. Karena semua rumah dibakar, tiga keluarga ini tinggal di sebuah gubuk kecil milik orang lain. Para perempuan terpaksa menjadi kuli untuk mencari nafkah karena para laki-laki masih ditangkap.

Para korban Talangsari juga mendapat bully dan diskriminasi dari tetangga denganggap mereka bekas Mujahidin. Tidak ada yang mau bercengkrama dengan para korban Talangsari. Hasil tani korban dijual lebih murah dari petani lain, bahkan ia tak bisa bekerja sebagai TKW karena peristiwa tersebut.

6. Tanah mereka bekas lokasi kebakaran dirampas

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di LampungIlustrasi sertifikat. (Unsplash.com/Lewis Keegan)

Korban Talangsari Sutrisno menambahkan, hak yang dituntut para korban hingga saat ini salah satunya adalah tanah mereka bekas terjadinya peristiwa mencekam tersebut.

Hingga saat ini belum ada kejelasan pemerintah untuk membuatkan sertifikat tanah milik korban Talangsari waktu itu. Parahnya, tanah seluas 1,5 hektare tersebut malah berada di bawah nama seorang komandan korem saat itu bernama Hendropriyono.

“Kami minta hak tanah kami kepada pemerintah. Untuk dikembalikan pada kami segera dengan surat resmi (sertifikat),” ungkapnya.

Baca Juga: Menolak Lupa Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Talangsari 1989

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya