Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Kampus, Satgas PPKS Unila Dibentuk

Lebih dari 9 persen mahasiswa pernah alami kekerasan seksual

Bandar Lampung, IDN Times - Pada 2021 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Peraturan itu berisi kewajiban perguruan tinggi untuk menciptakan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Hal itu dinilai perlu setelah ditemukan fakta bahwa dari 88 persen kasus kekerasan seksual terlaporkan di Indonesia, kontribusi terbesar ternyata ada di tingkat perguruan tinggi yakni sebesar 27 persen kasus. Data ini berdasarkan pada data survei Komnas Perempuan (2015-2020).

Namun nyatanya hingga akhir 2022 masih banyak perguruan tinggi belum memiliki satgas termasuk Universitas Lampung. Hingga akhirnya kampus negeri tertua Lampung ini resmi memiliki satgas PPKS, Senin (9/1/2023).

“Perguruan tinggi kan tempatnya agen perubahan sosial. Di mana orang-orang di dalamnya diharapkan nanti dan saat ini dapat menjadi agen pembangunan ke arah yang lebih baik maka harus belajar di lingkungan yang juga baik, maka ini menjadi urgen sebenarnya,” kata Ketua ASWGI (Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesi), Emi Susanti di Semnas Unila, Senin (9/1/2023).

Satgas PPKS Unila tersebut berjumlah 9 orang terdiri dari 4 orang dosen dan 5 orang mahasiswa laki-laki dan perempuan. Mereka bertugas melakukan pencegahan serta penanganan terhadap kasus kekerasan seksual di kampus.

1. Lebih dari 9 persen mahasiswa di Indonesia pernah mendapat kekerasan seksual

Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Kampus, Satgas PPKS Unila DibentukKetua ASWGI, Emi Susanti. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Ia juga memaparkan terkait data dari ASWGI dari hasil penelitian di 36 perguruan tinggi dengan responden sebanyak 3.194 mahasiswa dan 1.450 dosen dan tendik, ternyata 9,2% mahasiswa dan 1,1 % dosen dan tendik pernah mengalami kekerasan seksual.

Sehingga ia menilai semua lembaga dan organisasi perlu mengadopsi nilai keadilan dan kesetaraan gender di setiap pemangku kepentingan. Dengan kata lain di tingkat perguruan tinggi mulai dari rektor, pejabat lain, tendik, karyawan, hingga mahasiswanya.

“Maka Satgas PPKS di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ini wajib selalu monitoring penanganan kasus dan berpihak pada korban, serta memberi sanksi pada pelaku secara transparan. Data juga harus punya di tingkat kampus, jangan hanya mencatut dari komnas saja,” papar Emi.

Baca Juga: Marak Kekerasan Seksual di Pesantren, Ini Desakan Damar untuk Kemenag 

2. Kekerasan seksual tak hanya berbentuk pemerkosaan saja

Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Kampus, Satgas PPKS Unila DibentukSatgas PPKS Unila. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Emi mengatakan,.saat ini masih banyak stigma masyarakat tentang kekerasan seksual adalah pemerkosaan. Padahal menggoda secara verbal sebenarnya telah dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

“Sudah jadi budaya di Indonesia, kalau kekerasan seksual itu pemerkosaan saja. Padahal bersiul-siul atau berkomentar tentang tubuh seorang perempuan saja itu sudah dikategorikan kekerasan seksual," ujarnya.

Sehingga ia memandang adanya tempat khusus untuk Pencegahan dan Penanganan Kekeraaan Seksual (PPKS) di tiap kampus memang perlu

“Sebagai agen perubahan, mahasiswa dan tenaga pendidik itu harus mendapat lingkungan belajar yang baik, harus merdeka dari semua tindak kekerasan termasuk kekerasan seksual. Jangan sampai dia jadi pelaku misalnya atau bahkan korban,” imbuhnya.

3. Relasi kuasa di perguruan tinggi, perempuan menjadi pihak paling rentan

Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Kampus, Satgas PPKS Unila Dibentukilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Emi juga mengatakan, kasus kekerasan seksual adanya ketimpangan relasi kuasa juga menjadi salah satu penyebab paling tinggi. Dalam relasi kuasa di perguruan tinggi pihak yang lebih banyak punya kuasa biasanya adalah pimpinan, dosen dan tendik, dan paling rendah biasanya adalah mahasiswa.

“Tapi tidak menutup kemungkinan relasi kuasa juga terjadi antar mahasiswa. Dalam hal ini ketimpangannya antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Karena dalam survei kami kekerasan seksual di kampus ini ternyata banyak terjadi antar mahasiswa,” jelasnya.

Ia mengatakan, relasi kuasa mahasiswa laki-laki lebih besar dibanding mahasiswa perempuan. Sehingga memang perempuan lebih rentan dalam hal berhubungan dengan kekerasan seksual.

4. Kampus tak boleh menutup mata dan menyembunyikan kasus kekerasan seksual

Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Kampus, Satgas PPKS Unila DibentukIlustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Emi juga menyampaikan kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja baik itu pelaku maupun korban. Sehingga perguruan tinggi tak perlu menutupi kasus tersebut apalagi setelah melihat status sosial, ekonomi, dan politik dari pelaku atau korban.

“Kadang sering nih ditutupi kasus seperti ini karena demi nama baik kampus, jadi kasusnya tidak ditangani pada level institusi pendidikan. Dalihnya biasanya kampus bilang itu urusan pribadi pelaku dengan korban," timpalnya.

Oleh karenanya Emi menilai, perlu adanya pendidikan berbasis pada keadilan dan kesetaraan gender di mana setiap orang berhak mendapat akses pendidikan aman, nyaman, dan inklusif untuk semua gender tanpa melihat background apapun.

Baca Juga: Marak Pelecehan Seksual di Ponpes, Kemenag Lampung Lakukan Evaluasi!

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya