Film Dokumenter Sebagai Upaya Pemulihan Trauma Korban Talangsari 1989

Pengulangan cerita korban terus mengorek luka lama

Intinya Sih...

  • Psiolog Lampung Fiqih Amalia meminta komunitas membuat film dokumenter cerita para korban Tragedi Talangsari 1989 untuk mempercepat pemulihan trauma.
  • Fiqih menjelaskan bahwa trauma para korban tidak bisa hilang dengan mudah, karena mereka dihadapkan pada dilema antara mengingat kejadian menyakitkan dan menuntut keadilan.
  • Penyembuhan trauma akan membutuhkan waktu lama bahkan seumur hidup, sehingga pemerintah seharusnya menyediakan pendampingan profesional untuk para korban secara individu.

Bandar Lampung, IDN Times -  Psikolog Lampung Fiqih Amalia meminta komunitas masyarakat untuk bisa membuat film dokumenter cerita para korban Tragedi Talangsari 1989 sebagai salah satu upaya mempercepat pemulihan trauma para korban tragedi mengerikan tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Anggota Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI) Wilayah Lampung tersebut pada acara Diskusi Korban Peristiwa Talangsari 1989 “Berdamai dengan Trauma” bersama Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung, Sabtu (23/12/2023).

Usai mendengar kisah mencekam dan trauma pasca tragedi, Fiqih menilai kejadian 34 tahun lalu tersebut tak akan bisa hilang dengan mudah. Apalagi para korban dituntut untuk kembali mengulang cerita mereka saat perang terjadi kepada awak media, pembuat buku, maupun diskusi komunitas.

“Para korban ini memang dihadapkan pada dua kondisi yang membuat mereka dilema. Di satu sisi mereka enggan kembali mengingat kejadian menyakitkan tersebut. Di sisi lain hak mereka karena tragedi itu belum terbayarkan, dan cara untuk menuntut keadilan itu harus dengan tetap bersuara, bercerita terus kebanyak orang,” katanya.

Baca Juga: Menolak Lupa Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Talangsari 1989

1. Jangka waktu penyembuhan trauma sangat lama, bisa sampai seumur hidup

Film Dokumenter Sebagai Upaya Pemulihan Trauma Korban Talangsari 1989Ilustrasi perjuangan penyelesaian pelanggaran HAM berat. (IDN Times).

Fiqih menjelaskan, secara sederhana trauma dapat diartikan sebagai luka fisik maupun batin seorang individu disebabkan oleh kejadian luar biasa yang pernah dialaminya. Sehingga sangat wajar apabila para korban Talang Sari memiliki trauma akibat peristiwa tersebut.

“Tadi ada yang dengar suara petasan sudah menggigil, karena mirip suara tembakan. Kaget mendengar suara ketukan pintu, takut dengan air kolam karena pernah direndam di sana, atau sampai bisa pingsan saat dibawa ke lokasi kejadian,” katanya mengulang beberapa trauma yang diceritakan korban.

Fiqih mengatakan, penyembuhan trauma juga tidak bisa dilakukan dengan instan. Prosesnya akan membutuhkan waktu lama bahkan seumur hidup. Sehingga tak heran meski sudah 34 tahun tragedi ini berlalu, para korban masih terus merasakan dampaknya lewat trauma.

2. Tetangga dan keluarga adalah support system penyembuh luka batin

Film Dokumenter Sebagai Upaya Pemulihan Trauma Korban Talangsari 1989Peristiwa Talangsari. (dok. CNNIndonesia)

Saat ini para korban Tragedi Talangsari tak lagi tinggal di lokasi terjadinya peperangan tersebut. Mereka tinggal membaur dengan masyarakat di luar peristawa nahas tersebut.

Sayangnya orang-orang hingga kini memandang para korban sebelah mata sehingga mereka didiskriminasi bahkan dibully.

"Miris sekali mendengar cerita para korban yang mendapat diskriminasi, dimusuhi oleh tetangga-tetangga mereka. Karena komentar-komentar tetangga tersebut justru dapat memperburuk para korban. Di mana seharusnya keluarga dan tetangga adalah support system yang dibutuhkan," jelas Fiqih. 

Ia mengatakan, para korban yang bisa bertahan hingga saat ini merupakan orang yang hebat. Dikarenakan di usia masih sangat muda, dengan kondisi tak tahu apa-apa, mereka menerima perlakuan buruk bahkan sampai saat ini.

3. Pemerintah sebarusnya menyediakan pendampingan psikologis dan perbaikan nama baik pada korban

Film Dokumenter Sebagai Upaya Pemulihan Trauma Korban Talangsari 1989ilustrasi psikolog (pexels.com/SHVETS production)

Fiqih melanjutkan, proses penyembuhan trauma pada manusia itu berbanding lurus dengan keikhlasan. Di mana proses dan penerimaan setiap orang berbeda-beda. Sehingga ikhlas memang merupakan pelajaran bagi manusia seumur hidupnya.

"Apalagi belum ada kejelasan nih soal hak dan keadilan para korban Talangsari. Yang sebenarnya bukan hanya keadilan materi, tapi juga perbaikan nama baik," ungkapnya.

Fiqih menilai pemerintah semestinya menyediakan pendampingan profesional untuk menyembuhkan trauma para korban secara individu. Tiap orang harus mendapatkan pendampingan khusus lebih lanjut agar bisa berdamai dengan traumanya.

Baca Juga: Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989 di Lampung

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya