Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak Menentu

Ternyata ada sentranya di Bandar Lampung

Bandar Lampung, IDN Times - Pakaian atau sepatu branded bekas kini makin digandrungi kalangan milenial. Istilah zaman sekarang adalah thrifting. Meski tak semuanya, kebanyakan barang-barang branded ini diimpor dari luar negeri.

Budaya ini sebenarnya sudah ada sejak lama hanya saja memiliki istilah berbeda-beda di tiap daerah misalnya seperti preloved atau monza. Di Bandar Lampung, istilah thrift lebih populer sehingga banyak toko menggunakan nama thrift sebagai nama storenya.

Menjual secara online memang lebih mudah saat ini karena hampir semua orang sudah akses media sosial. Namun ternyata di Bandar Lampung ada sentra penjual barang bekas branded atau thrift secara offline lho!

1. Sentra pakaian thrift di Bandar Lampung

Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak MenentuToko penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Sentra pakaian thrifting di Bandar Lampung berada di Jalan Kayu Manis, Kecamatan Kedaton Bandar Lampung. Sepanjang jalan ini kamu bisa menemui pedagang pakaian bekas mirip distro sampai berupa toko pakaian biasa.

“Memang udah banyak yang tahu kalau di sini sentranya. Kalau sepatu itu ada di dekat Pasar Tugu. Sebenarnya pertama kali saya terjun di dunia thrift itu karena hobi, cuma dipakai sendiri aja. Tapi kok barang lama-lama numpuk jadi saya jajal di online sampai sekarang buka toko,” kata Fahri, salah satu pedagang barang thrift di Jalan Kayu Manis.

Ia mengatakan, bergelut di dunia thrifting sejak 2017 dengan menjual barang secara online. Namun sejak Maret 2022 Ia mulai memberanikan diri membuka toko offline.

Berbeda dengan Fahri, pedagang baju thrift lainnya di Kayu Manis yaitu Mama Aldi sudah sekitar 6 tahun membuka toko barang bekas.

“Saya di sini aja Mbak (offline) udah enam tahun. Pernah pindah sih tapi ya masih sekitar jalan ini aja. Saya juga gak ada jualan online, soalnya yang tempat saya ambil barang itu sudah buka online,” ujarnya.

2. Membeli sistem bal

Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak MenentuToko Mama Aldi, penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Baik Fahri dan Mama Aldi, sama-sama membeli barang thriftnya dari berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, dan Palembang dengan sistem per bal.

“Saya mah gak pernah beli langsung dari luar (negeri), ya masih Indonesia aja. Tapi distributor kita di Jakarta, Bandung, Palembang itu memang dapat barangnya dari luar negeri sih,” kata Fahri.

Mama Aldi mengatakan satu bal pakaian ia beli dari distributor itu biasanya memiliki berat sekitar 100 kilogram. Jumlah barang juga relatif tergantung dengan ukuran, ketebalan, dan jenis kain.

“Apalagi kalau celana itu paling gak sampai 150 biji per balnya. Harganya juga beda-beda, misalnya kaus itu ada yang 10 sampai 15 juta, sedangkan kemeja cuma 11 juta (per bal),” jelasnya.

Baca Juga: Kisah Heri Susanto, Dulu Jawara Gulat Lampung Kini Marbot Masjid 

3. Pendapatan tak tentu

Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak MenentuToko penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (Google maps).

Sedangkan untuk omzet, Fahri hanya bisa memperkirakan per hari. Ia mengatakan kalau sedang ramai barang thriftnya bisa terjual hingga 5 helai pakaian, tapi tak jarang juga dalam satu hari tak laku sama sekali.

“Sama lah di online atau offline. Mana yang lebih ramai tidak terlalu jauh beda. Apalagi pas pandemik itu di kita juga ngaruh banget. Jarang orang beli, mungkin karena mereka lebih prefer ke kebutuhan pokok ya dibanding baju,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Mama Aldi. Ia mengatakan sehari itu mungkin hanya beberapa potong pakaiannya terjual.

“Enggak laris juga pernah. Ya pokoknya asal bisa buat makan lah. Enaknya jual barang gini kan enggak basi, jadi enggak rugi juga sih,” katanya.

4. Suka duka berdagang thrift shop

Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak MenentuToko penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Selain seharian bisa tak laris, menurut Fahri suka duka berjualan barang bekas adalah barang yang dibeli belum pasti sehingga ada saja barang bekas yang jelek.

“Kita kan mainnya per bal, jadi sekali dapat bagus ya bagus, tapi pas dapat ancur ya ancur. Tapi kalau kedapatan barang jeleknya banyak, dibilang rugi mah enggak pernah, untung juga enggak. Jadi gimana caranya yang penting balik modal dulu. Tapi ya perputarannya tidak secepat kita dapat barang bagus,” jelasnya.

Sedangkan Mama Aldi bercerita kalau dirinya justru senang dan tidak merasa tersaingi berdagang di sentra banyak pedagang thrift shopnya.

“Lebih banyak pedagang malah lebih bagus, justru kalau kita misah sendiri malah enggak ada yang beli. Enak malah ramai begini jadi pembeli tahu di sini banyak yang jual. Tinggal pilih aja toko mana mau dibeli,” ujarnya.

5. Disukai milenial karena murah dan bermerek

Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak MenentuToko penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (Google Maps/thriftbyels).

Salah satu pecinta barang thrift shop di Bandar Lampung adalah Okta (26), warga asal Kecamatan Kemiling. Ia mengatakan sudah sekitar enam tahun mengenal dan membeli pakaian bekas luar negeri tersebut.

“Kalau thrift mah saya udah lama tahunya, sekitar 2017 dan dari teman. Setelah dikasih tahu teman itu saya jadi ikutan beli, lumayan juga karena sampai sekarang saya masih suka beli kok walau ga sering,” katanya.

Ia mengatakan, barang thrift sangat menguntungkan baginya. Selain mendapat barang banded original dengan harga asli ratusan hingga jutaan rupiah, di thrift shop bisa mendapatkan harga terjangkau.

“Saya seringnya beli kaus sama celana, kalau sepatu mah belum pernah. Tapi kalau beli barang thrift harus pinter milih juga, ada juga brand bagus barangnya cacat, tapi ada juga sekali dapat bagus banget. Makanya saya kalau beli offline, biar bisa liat barang. Biasanya saya beli di Kayu Manis,” paparnya.

6. Thrift shop menunda adanya sampah

Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak MenentuToko penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Pengamat lingkungan sekaligus Ketua Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Lampung, Irfan Tri Musri menanggapi adanya thrift shop sebenarnya cukup berdampak baik untuk mengurangi sampah pakaian di bumi.

“Selain itu ini bisa disamakan juga seperti memberi nilai ekonomi terhadap barang-barang yang sudah tidak dibutuhkan,” katanya.

Meski begitu, Ia mengatakan Walhi Lampung memang belum pernah melakukan kampanye khusus tentang thrift shop. Sampai saat ini kampanye berhubungan dengan zero waste atau daur ulang lebih kepada kemasan sekali pakai, plastik, dan makanan saja.

“Menurut saya thrift juga sebagian dari upaya zero waste sih, menunda munculnya sampah. Tapi jadi problema juga sebenarnya karena sekitar 60-70 persen barang thrift itu kan dari luar negeri. Makanya kalau UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang larangan impor baju bekas itu, saya pikir pemerintah jangan terlalu ketat lah, karena banyak juga masyarakat kita menggantungkan hidup di sentra ini,” jelasnya.

Baca Juga: Nasib Seni Teater di Lampung, Seniman Senior: Rusak Parah

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya