Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di Lampung

Meski fasilitas sudah cukup lengkap, pelayanan masih kurang

Bandar Lampung, IDN Times - Baru-baru ini WHO memperkirakan sebanyak 350 ribu anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah terdiagnosis kanker setiap tahunnya. Ikatan Dokter Anak Indonesia pun mencatat ada 3.834 kasus kanker pada anak di Indonesia selama 2022.

Salah satu kanker cukup mengerikan pada anak adalah kanker darah atau Leukimia. Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, kasus Leukimia di Lampung hingga 2022 mencapai 203 kasus dengan rincian 28 pasien laki-laki dan 175 perempuan.

Data ini baru dihimpun dari puskesmas saja. Belum kasus positif Leukimia di berbagai rumah sakit. Seperti dialami oleh bayi berusia 22 bulan asal Lampung Tengah bernama Alenta. Meski usianya belum genap 2 tahun ia sudah harus bertarung dengan Leukimia melalui kemoterapi.

Alenta merupakan putri dari pasangan suami istri Elwin (30) dan Eka (25). Saat ini Alenta masih menjalani kemoterapinya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek Lampung. Ketika ditemui IDN Times di Rumah Singgah Anak Hebat tempat Alenta dan keluarga menginap (4/7/2023), ternyata Alenta merupakan anak sangat aktif, mudah tersenyum, dan mudah dekat dengan orang lain.

1. Gejala awal Leukimia Alenta

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di LampungAlenta, anak penderita Leukimia di Lampung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Sang Ibu, Eka menceritakan gejala awal Alenta sakit nyaris seperti penyakit flu biasa yakni pilek. Ia menjelaskan, Alenta mengalami pilek hingga sulit bernapas. Namun ketika diperiksakan ke klinik, dokter hanya mengatakan itu diakibatkan adanya infeksi bakteri.

“Saya cuma dikasih antibiotik. Tapi udah berobat itu ingusnya Alenta masih gak keluar juga. Nafas juga masih susah. Saya datang lagi ke situ minta uap supaya bisa keluar ingusnya tapi gak dikasih. Katanya karena paru-parunya bersih,” katanya, Jumat (4/8/2023). 

Akhirnya Eka memeriksakan Alenta ke dokter spesialis anak karena dengan antibiotik tak juga membaik. Malah gejala Alenta semakin bertambah yakni matanya membengkak dan berair. Ia pun sempat diminta memeriksakan ke dokter spesialis THT dan mata juga namun diagnosa masih sama yakni pilek dan alergi saja.

“Itu masih 1,5 tahun waktu itu umur Alenta. Karena sesak napasnya itu Alenta kalau malam itu ngorok tidurnya, saya sampai periksa napas dihidungnya gak ada, jadi anaknya napas lewat mulut. Waktu kedua kalinya ke sana saya juga diminta ke THT, katanya amandelnya membesar. Tapi waktu saya minta oksigen ke dokternya karena sesak napas, tetap gak dikasih,” jelasnya.

2. Diagnosa Leukimia baru diketahui setelah berobat ke empat dokter

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di LampungAlenta, anak penderita Leukimia di Lampung dan Ayahnya. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Lelah berobat di tempat sama, Eka berniat ke rumah sakit lebih besar yakni ke RS Mitra Husada di Pringsewu. Di sana ia bertemu Dokter Soraya dan langsung diminta untuk melakukan pemeriksaan di laboratorium.

Di sini Eka cukup lega karena di klinik sebelumnya ia sudah meminta dokter untuk cek lab namun klinik tersebut mengatakan hal itu tidak diperlukan.

“Setelah cek lab ternyata hasilnya leukosit tinggi, naiknya dua kali lipat dari normal. Saya juga nanya kan anak saya sakit apa, tapi dokternya gak mau ngomong, katanya takut salah soalnya hasil darahnya jelek. Jadi saya disuruh ke dokter ahli darah di (RS) Imanuel. Itu pun dokternya gak bilang kalau saya ternyata dirujuk ke dokter kanker. Pokoknya saya suruh cepat ke sana aja,” ujarnya.

Namun melihat aktivitas aktif sang anak dan BPJS Alenta juga belum selesai diurus, Eka berencana untuk membawa Alenta ke RS Imanuel usai BPJS selesai dibuat. Namun ternyata semakin hari napas Alenta semakin sesak sehingga Eka nekat ke RS Imanuel meski BPJS belum di tangan.

“Saya mikir waktu itu uang bisa dicari lah. Memang BPJS nya itu jadinya lama. Saya dari awal Alenta sakit itu udah urus tapi BPJS nya selalu bilang belum jadi. Sekitar 3 mingguan lebih waktu itu BPJS baru jadi," jelas Eka.

Setelah sampai di RS Imanuel dan bertemu Dokter Bagus, Eka menyerahkan hasil lab Alenta dan dokter tersebut baru mengenalkan diri sebagai dokter kanker anak. Di sana Eka mengaku sangat takut apalagi ketika dokter tersebut mengatakan diagnosa Alenta adalah Leukimia.

“Saya langsung ngeblank di sana mbak. Kesusahan saya jawab dokternya waktu itu. Terus dokternya juga bilang Leukimia Alenta ini tipe ganas. Karena benjolannya udah banyak muncul di bagian kepala padahal baru kemaren munculnya. Saya langsung diminta operasi untuk cek positif enggaknya leukimia,” katanya.

Baca Juga: Ayah Bocah Tewas Ditabrak Fortuner Anggota DPRD Lampung: Sudah Damai

3. Alenta dioperasi pertama kali diusia 1,5 tahun

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di LampungAlenta, anak penderita Leukimia di Lampung bersama ibunya. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Mendengar kata operasi sempat membuat Eka bimbang. Ia takut anak bayinya harus dioperasi pada usia sekecil itu. Apalagi sang suami sedang di Jakarta ditambah BPJS belum selesai diurus. Namun dengan pertimbangan banyak hal ia memutuskan mengoperasi Alenta pada 14 April 2023 lalu.

“Dokternya juga jelasin kalau biaya operasinya 5 juta, tapi belum sama obat dan rawat inap. Setelah operasi pengambilan darah di sumsum tulang belakang itu ternyata cuma sebentar. 15 menitan. Bekasnya juga cuma kecil di kaki karena anaknya masih kecil, kalau di atas 10 tahun dioperasinya baru di punggung,” jelasnya.

Ia pun mendapat penjelasan terkait Leukimia dari sang dokter. Leukimia ada tiga jenis yakni ALL, ACL, dan AML. Setelah operasi diketahui Alenta menderita Leukimia AML (paling berat dibandingkan leukimia ALL dan ACL) sudah stadium 5 dari tingkat stadium 1 sampai 7.

“Saya sedih banget waktu denger ini. Dokternya juga ngomong untuk kesembuhan Alenta itu hanya Yang Di Atas saja yang bisa menentukan. Terus kita diminta untuk kemoterapi. Awalnya saya liat kemoterapi di TV atau YouTube itu kayaknya serem, tapi ternyata enggak seseram itu,” ujarnya.

4. Tidak bisa pulang dan harus menginap di dekat RS

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di LampungRumah Singgah Anak Hebat. (IDN Times/Rohmah Mustaurida)

Dalam satu kali kemoterapi sebenarnya ada jeda selama 3 minggu untuk kemoterapi berikutnya. Namun meski ada jarak lumayan lama, Eka tak berani untuk pulang ke Lampung Tengah dan memutuskan tinggal di dekat rumah sakit sampai kemoterapi selesai, itu dikarenakan Alenta tak bisa berpergian jauh.

“Jadi pertama kali kemoterapi itu saya pernah berpikir untuk pulang aja karena ada jeda 3 minggu. Lumayan istirahat di rumah kan lebih enak. Akhirnya saya pulang ke Lampung tengah perjalanan sekitar 2,5 jam. Tapi baru satu malam itu Alenta langsung pendarahan,” katanya.

Eka menjelaskan, pendarahan pada Alenta terlihat dari gusi atau mulut berdarah, kemudian di bawah matanya juga membiru begitu dibawa ke UGD Abdul Moeloek. Ternyata memang Alenta tak boleh lelah. Sejak saat itu Eka takut untuk pulang dan memutuskan untuk tinggal di rumah singgah saja.

“Makanya saya merasa terbantu banget dengan ketemu mas Hendi dan rumah singgah ini. Di sini gratis, malah keperluan Alenta udah disediain juga kayak pampers, susu, tisu dan keperluan lainnya. Kebutuhan makan kayak beras dan lauk sayur gitu juga disediain jadi tinggal ngolah aja kita disini,” jelasnya.

5. Cerita kemoterapi Alenta dan kondisinya saat ini

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di Lampungilustrasi obat kemoterapi (unsplash.com/National Cancer Institute)

Eka menjelaskan, setiap kemoterapi mempunyai protokolnya tersendiri. Dalam kasus Alenta, satu kali protokol terdiri dari 4 siklus atau 8 minggu kemoterapi, karena penggunaan obatnya dibagi dua dalam satu siklus. Dalam satu siklus kemoterapi Alenta membutuhkan 10 botol obat.

“Satu obat itu harganya 2 juta. Sedangkan Alenta butuh 14 obat satu kali kemo (dua kali siklus). Untungnya waktu kemo ini udah pakai BPJS. Kemarin ini udah 4 kali kemoterapi, terus rumah sakit minta Alenta dioperasi lagi buat dicek sel kankernya lagi,” ujarnya.

“Awal cek itu kan sel kanker Alenta 86 persen. Pas sesudah kemo ini cek di Imanuel sudah 0 persen tapi dirujuk hasil operasinya ke RS Darmais Jakarta juga dan ternyata hasilnya masih ada 5 persen sel kankernya. Jadi diputuskan untuk mengulang lagi kemoterapinya,” tambahnya.

Ia juga mengatakan, benjolan Alenta juga sudah cukup berkurang usai kemoterapi kedua. Namun sempat muncul kembali. Apalagi jika anak tersebut terlalu lelah makanya di bawah matanya akan membiru.

Eka juga menyebutkan, kemoterapi ini akan terus dilakukan sampai Alenta sembuh total. Meski begitu nantinya juga ia diminta untuk melakukan kontrol rutin untuk terus melakukan pengecekan sel kanker.

“Kemoterapi ini kan diberi obat lewat infus gitu, jadi seperti opname biasa. Satu obat itu aplikasinya 6-8 jam. Tapi kadang pasang infusnya suka gagal dalam sekali coba jadi pernah waktu itu sampai 7 kali tusukan. Efek selesai kemo itu banyak, ya mual, gak nafsu makan, rambut rontok. Makanya saya gak lepas kasih obat penambah nafsu makan,” jelasnya.

Baca Juga: 1 Terdakwa Korupsi Tukin Kejari Bandar Lampung Lunasi Kerugian Negara!

6. Meski fasilitas perawatan kanker cukup lengkap, namun pelayanan kesehatannya masih sangat kurang

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di LampungSuasana IGD RS Abdoel Moeloek (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Sedangkan untuk fasilitas perawatan kanker khususnya Leukimia di Lampung, Eka menyampaikan menurutnya RS di Lampung sudah cukup baik dari segi pengadaan obat dan alat.

Meski begitu, ia tetap memilih melakukan operasi pengecekan darah di RS Imanuel dibanding RSUD Abdul Moeloek karena di rumah sakit swasta tersebut hasilnya lebih akurat.

“Kalau kemoterapinya kita pilih Abdul Moeloek karena bisa BPJS. Kalau Imanuel kemoterapi ini gak bisa BPJS. Hanya penyakit tertentu aja yang bisa BPJS di sana. Tapi kalau operasi saya selalu di Imanuel. Di Abdul Moeloek juga bisa sih, tapi hasilnya itu kurang jelas,” katanya.

Terkait pelayanan, Eka mengaku masih menyayangkan pelayanan kesehatan di RSUD Provinsi Lampung itu. Pasalnya penanganan tenaga kesehatan di RS tersebut kurang cepat.

Misalnya saat pasien drop dan membutuhkan transfusi darah, maka tidak bisa langsung diberikan. Pihak RS akan meminta orang tua ke bank darah terlebih dahulu dan prosesnya cukup lama.

Tak hanya itu, terkait pengadaan oksigen tiap ruangan juga tidak ada. Di mana seharusnya minimal dalam satu ruangan ada satu saja oksigen darurat. Maka ketika ada pasien darurat sesak napas, para nakes akan langsung berlarian untuk mencari oksigen ke ruangan lain.

“Jadi istilahnya lambat gitu penanganannya. Beda dengan Imanuel, kalau di sana walau pakai BPJS, kita tinggal duduk manis aja justru susternya yang datang. Sama saat mau kemoterapi juga di Abdul Moeloek, orang tua harus nyediain infus sendiri padahal kan itu tugas nakes. Padahal di sana banyak PKL dan dokter muda juga,” ungkapnya.

Ia juga menyesalkan beberapa dokter muda di Abdul Moeloek dinilainya masih sangat awam menangani pasien. Dokter muda tersebut tidak tahu dosis obat, tidak bisa memasang infus atau menangani infus macet.

“Saya tanya soal dosis obat dia gak tau, harus nanya ke seniornya dulu. Gak bisa masang infus, saat infus macet juga dia gak bisa padahal Alenta kan masih kecil dan sudah kesakitan waktu itu,” tambahnya.

7. RS di Lampung sudah bisa melayani hampir semua jenis kanker

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di LampungMenteri PKM Muhadjir Effendy Kunker ke RSUD Abdoel Moeloek (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, dr Lusi Darmayanti mengatakan untuk fasilitas perawatan kanker terlengkap di Lampung berada di RSUD Abdul Moeloek. Di sana sudah menyediakan obat-obatan hingga fasilitas kemoterapi dan radioterapi.

“Kalau untuk jenis kanker apa saja yang ditangani sebenarnya sudah semua ya, karena Abdul Moeloek kan rujukan tertinggi di Lampung. Obat pun sudah cukup lengkap. Mungkin keterbatasannya hanya pada seberapa tinggi tingkat penanganan (parah) penyakitnya. Kalau memang tidak bisa ditangani di kita akan kita rujuk ke RS tingkat A,” kata Lusi.

Tak hanya itu, untuk dokter bedah pun Lampung sudah memiliki ahli bedah diberbagai jenis penyakit. Namun kembali lagi pada tingkat risiko penyakit, jika memang sudah tidak bisa dilakukan oleh RSUD Abdul Moeloek maka pasien akan dibantu untuk dirujuk ke Jakarta.

8. Pelayanan kesehatan di Lampung memang masih terus dalam proses pembinaan

Cerita Alenta, Bayi Berusia 2 Tahun Penderita Leukimia di LampungIlustrasi layanan kesehatan. (IDN Times/Arief Rahmat)

Terkait pelayanan di daerah terpencil, Lusi menjelaskan sebenarnya tiap rumah sakit kabupaten/kota sudah bisa melayani kemoterapi penyakit kanker dengan obat disediakan dari RSUD Abdul Moeloek.

Ia juga mengakui untuk pelayanan juga saat ini masih banyak yang harus diperbaiki. Dinkes juga masih melakukan pembinaan kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya untuk memenuhi akreditasi dan menjaga mutu palayanan.

“Idealnya di setiap ruangan memang ada oksigen minimal satu buah, tapi mungkin menjadi keterbatasan Abdul Moeloek karena rumah sakit itu memang menjadi satu-satunya rujukan di Lampung dan menerima rujukan dari 15 kabupaten/kota. Jadi sarana dan prasarananya mungkin memang beberapa masih kurang,” imbuhnya.

Namun ia juga mengatakan, saat ini secara keseluruhan fasilitas kesehatan di Lampung sudah cukup baik. Masyarakat juga sudah bisa mengganti faskes BPJS nya dengan mudah sehingga masyarakat juga bisa memilih faskes mana yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri.

Baca Juga: Menakar Arah Dukungan Relawan Jokowi di Lampung, Prabowo atau Ganjar?

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya