Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi Stunting

Kasus stunting Bandar Lampung 2021 mencapai 19,4 persen

Bandar Lampung, IDN Times - Stunting merupakan salah satu permasalahan paling awet di Indonesia. Sudah 77 tahun sejak Indonesia merdeka, di hampir semua wilayah selalu ada saja kasus stunting. Tak terkecuali di kota-kota besar notabene menjadi pusat perekonomian rakya.

Wakil Gubernur Lampung, Chusnunia Chalim mengatakan pada Mei 2022 lalu, Provinsi Lampung telah berhasil menduduki peringkat 5 se-Provinsi di Tanah Air dengan angka stunting terendah yaitu dari 27,28 persen di tahun 2016 menjadi 18,5 persen di tahun 2021.

Namun hal itu tak menampikan fakta sebanyak 1,68 juta anak menderita stunting di Lampung. Apalagi permasalahan stunting memang seperti tak pernah ada habisnya.

Sebagai ibu kota Provinsi Lampung, kasus stunting di Bandar Lampung juga masih terbilang cukup tinggi, yaitu 19,4 persen atau sekitar 229.881 anak tercatat menderita stunting pada 2021. Angka tersebut dilaporkan oleh Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Bandar Lampung.

Untuk menurunkannya, beberapa kecamatan di Bandar Lampung menjadi lokus khusus stunting tahun ini yakni di Kecamatan Telukbetung Timur, Tanjungkarang Barat, Panjang, Kedaton, Enggal, Sukabumi dan Kemiling. Meski demikian, beberapa daerah wilayah pesisir Bandar Lampung juga merupakan wilayah dengan angka stunting cukup tinggi. Salah satunya adalah di pemukiman Gudang Lelang, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Bumiwaras.

1. Keluarga pesisir Bandar Lampung sangat rentan stunting, meski bukan dari keluarga sangat miskin

Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi StuntingPerkampungan Gudang Lelang. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Mardiana, warga pesisir di Pemukiman Gudang Lelang Bandar Lampung merupakan salah satu orang tua memiliki risiko stunting merujuk pernyataan dari kader posyandu setempat .

Mardiana menjelaskan, menyadari pertumbuhan anaknya cenderung lambat. Terlihat dari tinggi badan dan berat badannya yang kurang dari anak seusianya. Padahal ketika lahir berat badannya normal bahkan relatif besar yakni mencapai 3,7 kilogram.

Saat ini usia sang anak bungsu memasuki usia ke 2 tahun 10 bulan, namun di umur nyaris 3 tahun tersebut, berat anaknya tertahan di angka 12 kilogram dan belum menunjukan pertumbuhan secara progresif.

“Kalau ke posyandu mah sering. Tapi enggak di kasih apa-apa sih dari posyandu. Biasa aja cek berat tinggi badan gitu. Dapat snack MPASI gitu kayaknya enggak sih,” katanya.

2. Anak pernah sakit dan tidak suka makan sayur dan buah

Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi StuntingIlustrasi anak-anak di Perkampungan Gudang Lelang. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Mardiana menduga, pertumbuhan anaknya tidak berjalan sebagaimana mestinya dikarenakan pernah sakit parah saat berusia 1,8 tahun. “Dia pas umur 1 tahunan itu sering sakit-sakitan. Pas umur 1,8 tahun kalau gak salah itu pernah sakit panas sampe kejang,” ujarnya.

Selain itu, ia menilai anaknya juga sangat pemilih untuk makanan. Bahkan hingga kini anaknya belum memiliki makanan pakem untuk kebutuhan gizinya karena tidak menyukai sayur dan buah.

“Makannya mah susah banget, jarang sayur sama buah. Nasi juga sebenarnya jarang sih. Dia mah nyusu (formula) dan paling suka jajanan warung kayak wafer Nabati gitu,” imbuhnya.

Baca Juga: Nestapa Warga Pulau di Bandar Lampung, Banjir Rob Langganan Tiap Tahun

3. Meski ikut dalam aksi konvergensi, Lampung bukan merupakan provinsi prioritas stunting

Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi StuntingPerkampungan padat penduduk di Kelurahan Kangkung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Menanggapi angka kasus stunting masih cukup besar tersebut, Kepala Dinas BKKBN Kota Bandar Lampung, Santi Sundari mengatakan, Provinsi Lampung khususnya Kota Bandar Lampung saat ini sedang menggalakan aksi konvergensi untuk percepatan penurunan kasus stunting.

“Salah satu yang sudah kita lakukan yakni rembug stunting pada awal Agustus 2022 lalu. Kita ada 7 lokus stunting di Bandar Lampung. Sebagian besar adalah daerah pesisir. Target tahun ini kita ada penurunan hingga 16 persen, dari 19,4 persen di tahun lalu (2021),” katanya.

Ia mengatakan, sebenarnya Provinsi Lampung memiliki tren penurunan kasus stunting cukup baik sejak 2016, sehingga masuk 5 besar kasus terendah stunting. Namun hal itu tak membuat pihaknya berleha-leha, karena saat ini mereka terus mendampingi keluarga risiko stunting di Bandar Lampung.

“Jadi memang Lampung ini sudah bukan prioritas lagi karena terus menurun angka kasusnya. Tapi pembinaan seperti sosialisasi masih kita lakukan dari puskes setempat. Secara nasional kasus stunting kan 24,4 persen (2021), targetnya sampai 2024 itu bisa turun 14,4 persen. Jadi kita juga mesti ikut menurunkan angka stunting itu,” katanya.

4. Stunting tak identik masyarakat golongan ekonomi rendah

Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi StuntingIlustrasi anak di Perkampungan Gudang Lelang. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Santi menekankan, agar masyarakat tidak terjebak dalam strereotipe stunting hanya dialami masyarakat dengan ekonomi rendah.

“Gak boleh sama sekali kita menyerang masyarakat menengah ke bawah untuk kasus stunting. Justru ada salah satu kasus keluarga berisiko stunting berasal dari ayah ibu bekerja. Padahal tingkat ekonominya baik karena PNS dan tingkat pendidikannya juga bagus yaitu sarjana,” katanya.

Sehingga Santi memandang, stunting adalah permasalahan dari pengetahuan atau tingkat kesiapan orang tua dari mulai masa kehamilan hingga masa remaja sang anak.

5. Kewajiban pelatihan calon pengantin untuk pencegahan stunting

Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi StuntingPerkampungan Gudang Lelang. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Santi mengatakan beberapa kasus stunting berasal dari kehamilan yang tidak diinginkan. Misalnya kehamilan tidak terencana sehingga orang tua belum siap memiliki anak.

“Makanya sebaiknya itu kalau mau hamil harus disiapkan. Di Indonesia sekarang kan ada pelatihan untuk caten (calon pengantin). Dulu kan hanya suntik tetanus saja sudah bisa (menikah), sekarang harus dapat sertifikat pelatihan calon pengantin itu. Gunanya untuk mempersiapkan suami istri untuk mencegah terjadinya anak stunting,” paparnya.

Ia menambahkan, pelatihan tersebut bersifat wajib. Kedua calon harus hadir dan jika tidak hadir sertifikat caten tidak akan keluar. “Kalau gak bisa hadir kita kasih jadwal di pertemuan berikutnya. Terus begitu sampai dia bisa datang,” imbuhnya.

6. Faktor lingkungan juga mempengaruhi masalah stunting

Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi StuntingPesisir Bandar Lampung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih Provinsi Lampung, Febrilia Ekawati mengatakan stunting tidak hanya bisa dilihat dari tinggi anak saja. Tapi yang menjadi dasar tolak ukurnya adalah perkembangan kognitif sang anak.

“Stunting jangan diasumsikan hanya pendek, tapi juga harus dilihat dari tumbuh kembang atau kognitif si anak. Sekarang banyak juga yang pendek tapi pintar,” katanya.

Ia juga mengatakan, selain malnutrisi akibat beberapa faktor seperti pola asuh salah atau kemiskinan, faktor lingkungan juga mempengaruhi banyaknya kasus stunting di suatu wilayah.

“Apalagi PR Bandar Lampung ini cukup berat ya, soal persampahan masih buruk, sanitasi masih buruk, BAB sembarangan juga masih ada, akses air bersih juga belum semua terpenuhi. Makanya kasus stunting di Bandar Lampung ini banyak menyerang masyarakat wilayah pesisir karena di wilayah itu sanitasinya masih sangat kurang,” ujarnya.

Ia mengatakan, lingkungan yang tidak sehat tersebut menyebabkan angka kejadian diare, tiroid, Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), dan tifus pada ibu hamil atau menyusui semakin tinggi. Hal itu banyak memberikan potensi anak sang ibu menderita stunting.

7. Pemenuhan gizi dan kebersihan lingkungan saling terkait

Bukan Hanya Malnutrisi, Lingkungan Ternyata Pengaruhi StuntingWarga pesisir Bandar Lampung. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Melihat masih banyaknya kasus stunting khususnya di Bandar Lampung, Febrilia menyampaikan, seharusnya pemerintah memberi penyadaran kepada masyarakat bagaimana upaya pencegahan stunting tidak hanya soal pemenuhan gizi. Tapi juga diikuti edukasi kebersihan lingkungan. Seperti menjelaskan dampak buruknya air kotor dan bagaimana dampaknya pada saat prakonsepsi.

“Tentang kecukupan gizi itu kan gak harus makan daging, yang penting protein hewani dan nabati, vitamin dan nutrisi lainnya semua tercukupi. Apalagi saat ibunya hamil. Gizi harus diberikan mulai dari 0 bulan sampai anak berusia 2 tahun, karena saat itulah masa keemasan anak membentuk otak. Jadi nutrisinya memang harus benar-benar tercukupi,” jelasnya.

Ia juga berharap pemerintah bisa memicu masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Mulai dari pengelolaan sampah, kebiasaan BAB sembarangan dan dampaknya bagi lingkungan dan kebutuhan air bersih.

“Yang paling penting itu sebenarnya kondisi sosial ekonomi. Itu bisa sangat berkaitan. Walaupun orang tuanya punya pendapatan tinggi atau orang kaya lah istilahnya, kalau dari sisi pengetahuan pencegahan stunting mulai dari 1.000 hari pertama kehidupan itu gak ada, ya sama saja. Apalagi kalau miskin, sudah miskin tidak punya pengetahuan. Ini lebih tinggi lagi risiko anaknya kena stunting,” jelas Febrilia.

Baca Juga: Suara Hati Tangan Kidal Lampung, Menghadapi Tabu tapi Tetap Bersyukur

Topik:

  • Rohmah Mustaurida
  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya