ilustrasi kamera digital (pexels.com/Pixabay)
Meski dunia animasi terus berkembang di berbagai daerah, minat mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Teknologi Sumatera (Itera) terhadap bidang animasi ternyata masih tergolong minim. Wisnu menyatakan, membuat animasi memang membutuhkan keahlian khusus yang tidak semua orang berani coba.
"Memang ada rasa tidak percaya diri dan ketakutan tersendiri saat mengambil peminatan animasi," ujarnya.
Menurut Wisnu, tantangan itu diperparah dengan belum terbentuknya ekosistem animasi di Lampung. Kondisi ini membuat banyak talenta muda ragu untuk benar-benar menekuni bidang ini. Padahal, secara geografis, Lampung punya keuntungan tersendiri.
"Lampung itu sangat dekat dengan Jakarta. Jadi potensi pergeseran marketnya ke sini itu ada," kata Wisnu optimistis.
Baginya, salah satu langkah krusial untuk mempercepat pertumbuhan dunia animasi di Lampung adalah membangun studio animasi. Bukan hanya sebagai tempat produksi, tetapi juga sebagai wadah belajar dan berjejaring.
"Kalau ada studio, mahasiswa atau anak SMK yang mau magang sudah ada tempatnya. Dan ketika ada proyek film animasi, pengerjaannya tidak lagi personal, tapi bisa dikerjakan tim. Dari situ ekosistem akan mulai berjalan," jelasnya.
Tak hanya berbicara soal industri, Wisnu juga menyoroti peran besar film animasi dalam memperkenalkan budaya. Melalui film animasi, bisa lahir kekayaan intelektual seperti karakter-karakter lokal dan musik.
"Biasanya dari karakter dan soundtrack itu bisa melahirkan intelektual properti. Itu bisa jadi merchandise dan berdampak pada ekonomi kreatif," terangnya.
Apalagi, lanjutnya film animasi memiliki keunggulan mampu menjangkau audiens lintas usia. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa bisa menikmati cerita yang disajikan lewat medium ini.