Peristiwa Register 45 Mesuji, Kisah Kelam Konflik Agraria di Lampung

Bandar Lampung, IDN Times - Konflik agraria hingga detik ini terus bergulir di berbagai daerah. Upaya intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi juga masih mewarnai beragam perselisihan tanah.
Insiden terjadi di Desa Wadas sempat ramai diperbincangkan beberapa waktu terakhir, seakan menggambarkan betapa kompleksnya perselisihan agraria tak kunjung menemui titik terang antara pihak-pihak berselisih.
Kondisi dan situasi tersebut terjadi di Provinsi Lampung. Itu merupakan warisan perselisihan sejak tahun 80'an atau 90'an.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, keributan ihwal agraria terekam di provinsi setempat di antaranya seperti konflik Register 45 Mesuji, kisruh penyerobotan hingga penyalahgunaan izin usaha perkebunan PT Bangun Nusa Indah Lampung (PT BNIL) dengan warga, penolakan warga atas program pendalaman alur laut pelayaran PT Sienar Tri Tunggal Perkasa (PT. STTPA) di Tulang Bawang, dan lain-lain.
Dari beberapa konflik tersebut, konflik Register 45 Mesuji dapat dikatakan paling mengundang perhatian satu dekade terakhir. Pasalnya, perselisihan antara PT Silva Inhutani Lampung (PT SIL), selaku pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) dengan warga, itu sempat melibatkan aparat penegak hukum berujung aksi intimidasi hingga penembakan terhadap warga sipil.
Bagaimana alur konflik Register 45 Mesuji? Lalu seperti apa akhir muara konflik tersebut saat ini? Berikut IDN Times rangkum.
1. Konflik agraria Register 45 Mesuji terjadi sejak 1991
Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, konflik Register 45 Mesuji bermula saat saat Menteri Kehutanan (Menhut) RI mengeluarkan SK Nomor. 688/Kpts-II/1991. Departemen Kehutanan memberikan area HPHTI Sementara kepada PT SIL di Register 45 Sungai Buaya Lampung seluas 32.600 hektare (ha). Diketahui, PT SIL merupakan perusahaan patungan antara PT Silva Lampung Abadi dan PT Inhutani V pada 7 Oktober 1991.
SK tersebut kemudian dikuatkan Gubernur Lampung Poedjono Pranyoto dengan mengirimkan surat kepada Menhut No.503/2738/04/93. Isi surat Gubernur Lampung; memberikan rekomendasi kepada Menhut untuk Perluasan area 10.500 Ha lagi sebagai HPHTI PT SIL di Register 45 Sungai Buaya. Padahal, di atas lahan tersebut setidaknya ada 3 kampung yang sudah berdiri seperti, Talang Batu, Talang Gunung, dan Tebing Tinggi.
"Ketiga kampung itu sudah ratusan tahun, saat ini berpenduduk sekitar 3.000 jiwa. Kampung-kampung lain banyak terbentuk sejak sekitar akhir tahun 80-an, seperti kampung Morodewe, Morodadi, Morobaru, Moroseneng, terbentuk sekitar 1988-1989 di sekitar Kecamatan Way Serdang," terangnya.
Sontak pengelolaan lahan mendapatkan penolakan keras dari masyarakat ketiga kampung tersebut. Memasuki Mei 1999 mereka akhirnya menuntut reclaimming lahan kepada Gubernur Lampung.
Hal ini dikarenakan desa mereka menjadi masuk dalam kawasan Register 45 Sungai Buaya. Itu seiring penerbitan SK No. 93/Kpts-II/1997 tentang pemberian HPHTI atas Areal Hutan seluas 43.100 Ha kepada PT SIL. Apalagi, di daerah setempat kala itu sudah banyak fasilitas umum seperti 3 sekolah dasar (SD), 1 SMP, 3 masjid, 6 Musala, 2 gereja, dan 3 pura.