Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times)
Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times)

Intinya sih...

  • Satgas PPKPT Unila telah menangani 9 kasus, mayoritas kekerasan seksual, dengan upaya pencegahan melalui edukasi dan sosialisasi.

  • Tim Satgas PPKPT dipilih secara ketat dan melakukan pendampingan terhadap korban serta pemantauan terhadap proses hukum yang tengah berjalan.

  • Kinerja Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) Universitas Lampung (Unila) dinilai belum optimal oleh aktivis mahasiswa dan pengamat pendidikan Unila.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Maraknya kasus perundungan, pelecehan, hingga kekerasan dalam berbagai bentuk di lingkungan kampus, perhatian publik kini tertuju pada efektivitas Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT).

Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 perguruan tinggi kini mempunyai sistem perlindungan yang nyata bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Regulasi ini menegaskan kampus seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan tumbuh, bukan tempat di mana kekerasan dibiarkan terjadi secara diam-diam. 

Namun kenyataannya, masih banyak pihak menilai keberadaan Satgas PPKPT di sejumlah perguruan tinggi belum berjalan sebagaimana mestinya. Berikut IDN Times rangkum tanggapan dari Ketua Satgas PPKPT, pengamat pendidikan, aktivis mahasiswa dan mahasiswa korban kekerasan terkait implementasi Satgas PPKPT di perguruan tinggi.

1. Satgas PPKPT Unila sudah tangani 9 kasus, mayoritas kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Aditya Pratama)

Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) Universitas Lampung (Unila), Rini Fhatonah, mengatakan Satgas Unila resmi dilantik pada Juli 2025. Pembentukan ini merupakan amanat dari Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, yang mengatur pencegahan dan penanganan enam jenis kekerasan di kampus yaitu, kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, intoleransi, serta kebijakan yang mengandung unsur kekerasan.

Rini menjelaskan, Satgas memiliki peran strategis membantu pimpinan perguruan tinggi menyusun pedoman pencegahan kekerasan, melakukan sosialisasi tentang kesetaraan gender, hak disabilitas, pendidikan seksual, dan kesehatan reproduksi.

“Jadi tugas kami sejak awal, ketika laporan masuk langsung membentuk investigasi. Kewenangan kami hanya sampai membuat draft rekomendasi sanksi kemudian kita serahkan pada pimpinan, nanti pimpinan yang eksekusi,” ujar Dosen Fakultas Hukum Unila itu kepada IDN Times, Jumat (24/10/2025).

Dalam menjalankan tugasnya, kata Rini, satgas memiliki wewenang memanggil pelapor, korban, saksi, maupun terlapor. Serta berhak mendapatkan pelatihan, perlindungan keamanan, hingga layanan psikologis karena beban kerja yang tidak ringan. 

“Harusnya kami memang ada pelatihan dari kementerian tapi karena ini masih baru jadi memang sedang dirancangkan juga untuk tim satgas se-Indonesia yang dikoordinir langsung oleh kementerian. Kalau untuk saat ini tim kami belum ada yang mengikuti pelatihan,” ujarnya. 

Rini menyampaikan, sejak mulai bertugas pada Juli 2025, Satgas PPKPT Unila telah menerima sembilan laporan kasus. Dari total itu, delapan di antaranya adalah kekerasan seksual. Sebagian besar laporan disampaikan secara daring atau melalui pesan pribadi WhatsApp.

Salah satu kasus yang ditangani bahkan berakar dari hubungan asmara tidak sehat sejak masa SMA. Pelaku menggunakan video pribadi korban sebagai alat intimidasi.

Menurutnya, Satgas juga gencar melakukan upaya pencegahan melalui edukasi dan sosialisasi. Pada kegiatan PPKMB 2025, ribuan mahasiswa baru Unila mendapat pemaparan mengenai keberadaan Satgas, jenis kekerasan yang bisa dilaporkan, serta cara melapor dengan aman dan rahasia.

Saat ini, Satgas sedang menyiapkan program roadshow ke delapan fakultas bekerja sama dengan dekan, wakil dekan bidang kemahasiswaan, dan organisasi mahasiswa untuk mengedukasi pentingnya empati serta keberanian melapor. “Kami ingin warga kampus sadar bahwa melapor itu bukan aib. Justru langkah penting melindungi diri dan orang lain,” tegasnya.

Meski begitu, Rini tak menampik masih banyak hambatan di lapangan. Salah satunya ketika korban tiba-tiba mencabut laporan setelah proses investigasi berjalan.

“Ada yang mungkin sudah ikhlas, tapi bisa juga karena tekanan dari pihak lain. Sesuai Permendikbud, kalau laporan dicabut maka proses harus dihentikan,” katanya.

Ia juga menepis anggapan publik satgas tidak bekerja. “Kami setiap hari rapat, sering pulang Magrib karena menyesuaikan jadwal kuliah pelaku dan korban. Kami tidak mau mengganggu perkuliahan siapa pun, tapi tetap menjaga proses berjalan sesuai aturan,” tambahnya.

2. Tim Sastgas PPKPT dipilih secara ketat 

ilustrasi kekerasan seksual (pixabay.com/RosZie)

Rini menuturkan, anggota Satgas Unila dipilih secara ketat melalui uji publik untuk memastikan tidak ada yang memiliki rekam jejak kekerasan. Sebagai upaya menjaga kerahasiaan, ada divisi penanganan dan pemulihan khusus korban sehingga tidak semua tim satgas mengetahui.

Menurutnya, tim terdiri dari berbagai latar belakang keahlian seperti hukum, psikologi, dan kedokteran forensik, serta perwakilan dari delapan fakultas agar koordinasi lebih mudah. Terkait kasus Diksar Mahepel yang menewaskan Pratama Wijaya Kusuma, Rini menjelaskan, peristiwa itu terjadi sebelum Satgas PPKPT Unila dibentuk.

“Saat itu kampus membentuk tim investigasi yang diketuai Prof Novita, hasilnya diserahkan ke pimpinan universitas. Namun karena keluarga korban melapor ke Polda Lampung, proses akhirnya dilanjutkan di kepolisian,” ujarnya.

Kini Satgas PPKPT Unila melakukan pendampingan terhadap korban dan pemantauan terhadap proses hukum yang tengah berjalan. Organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mahepel) telah diberi sanksi dibekukan seluruh kegiatan.

3. Satgas antikekerasan Unila dinilai belum efektif

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Kinerja Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) Universitas Lampung (Unila) dinilai belum berjalan optimal. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Manajemen Unila, Zidan, menilai keberadaan satgas ini masih belum terasa di lingkungan kampus.

“Sampai hari ini, PPKPT Unila baru berumur sekitar lima bulan. Tapi sejauh ini kinerjanya belum cukup terlihat karena sosialisasi yang dijanjikan ke setiap fakultas juga belum berjalan,” ujar Zidan kepada IDN Times.

Menurutnya, tim PPKPT dikabarkan akan memiliki kantor di setiap fakultas agar mudah diakses mahasiswa, namun hingga kini ruangan tersebut belum tersedia. “Sampai sekarang belum ada tanda-tanda ruangannya bakal dipakai tim satgas. Sekarang semua masih berpusat di rektorat,” katanya.

Akibatnya, mahasiswa yang mengalami kekerasan terpaksa langsung mendatangi rektorat untuk melapor. Padahal, kata Zidan, belum banyak yang tahu ke mana harus melapor karena kontak person resmi belum disebarluaskan.

“Yang tahu soal satgas itu cuma aktivis mahasiswa atau mereka yang pernah mengadvokasi kasus kekerasan di Unila,” kata Zidan.

Zidan menyebut, kekerasan di lingkungan kampus masih sering terjadi, bahkan kadang hanya tersebar dari mulut ke mulut. Ia mencontohkan kasus kekerasan yang menimpa mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) saat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Pencinta Alam (Mahepel).

4. Mahasiswa nilai kampus kurang tegas dan transparan

Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurut Zidan, proses investigasi kampus atas kasus Mahepel pun dinilai kurang transparan. Ia menyayangkan satgas PPKPT tidak melibatkan organisasi mahasiswa di tingkat fakultas, melainkan lebih banyak menggandeng mahasiswa magang dari fakultas hukum atau FISIP.

“Harusnya satgas itu melibatkan himpunan mahasiswa di fakultas. Mereka yang tahu konteks lapangan. Tapi yang dilibatkan malah ormawa tingkat universitas yang gak tahu banyak soal kejadian sebenarnya,” kritiknya.

Zidan juga menyoroti sikap kampus yang dianggap kurang tegas memberikan sanksi terhadap pelaku kekerasan. “Kami dengar pihak kampus bilang gak bisa kasih hukuman sebelum hasil penyidikan dari kepolisian keluar. Itu aneh, padahal investigasi internal sudah membuktikan adanya kekerasan,” jelasnya.

Ia menambahkan, sejumlah pelaku bahkan tetap bisa melanjutkan perkuliahan dan mengikuti seminar tugas akhir di tengah proses hukum yang masih berjalan. “Kayak ditutup-tutupin gitu. Jadi seolah kampus mentolerir kekerasan demi menjaga citra baik,” katanya.

Lebih lajut, Zidan mengaku kecewa dengan cara kampus merespons laporan kekerasan. “Kalau kita cerita ke pimpinan kampus, mereka cuma dengar sepintas. Baru kalau kasusnya viral, mereka kelihatan sibuk menindaklanjuti,” ujarnya.

Ia menilai, banyak korban enggan melapor karena takut mendapat tekanan atau diskriminasi setelah kasusnya diketahui publik. “Korban takut diancam, dibully, atau kuliahnya jadi terganggu. Itu yang bikin mereka akhirnya diam,” katanya.

Zidan berharap ke depan satgas PPKPT Unila bisa lebih terbuka, benar-benar aktif melakukan sosialisasi, dan hadir di setiap fakultas agar mahasiswa merasa aman untuk bersuara. “Kalau kampus berani tegas, justru citra Unila bakal lebih baik. Bukan malah menutupi kasus kekerasan,” tegasnya.

5. Korban kekerasan di Unila ungkap kekecewaan, kasusnya hilang begitu saja

Ilustrasi bullying (Pexels/Keira Burton)

Kasus kekerasan dalam kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Pencinta Alam (Mahepel) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila masih menyisakan luka mendalam bagi korban. Salah satu mahasiswa yang mengalami kekerasan mengaku kecewa karena merasa kampus belum tegas menindak para pelaku.

“Iya, saya tahu kalau kampus punya satgas PPKPT. Tapi menurut saya, mekanisme pelaporan itu belum mudah diakses dan belum bisa benar-benar dipercaya, khususnya di lingkungan FEB Unila,” ujar korban kepada IDN Times. 

Meski kini ia merasa lebih aman secara fisik dan psikologis, trauma atas kejadian itu masih membekas. Korban menilai kampus belum menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Menurutnya, respons pihak kampus atas laporan kekerasan justru terkesan bertele-tele dan tertutup. Ia menilai, langkah kampus lebih condong menjaga citra baik fakultas ketimbang berpihak pada korban.

“Respon kampus gak tegas, malah menutup-nutupi kasus ini demi nama baik fakultas dan pihak lain. Sampai sekarang, kasusnya seperti hilang begitu saja karena dekanat juga gak terlihat peduli,” ujarnya dengan nada kecewa.

Korban berharap, kampus bisa menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap mahasiswa yang menjadi korban kekerasan, bukan sekadar membentuk satgas tanpa kehadiran nyata di lapangan.

Namun, meski kecewa dengan respons institusi, korban merasa beruntung mendapat dukungan dari teman-teman dan komunitas mahasiswa di kampus. Menurutnya, dukungan tersebut menjadi kekuatan moral bagi korban lain yang masih takut berbicara.

 “Peran teman sebaya dan organisasi itu sangat mendukung. Mereka terus bersuara soal kasus kekerasan yang dilakukan oleh Mahepel, sampai benar-benar ada keadilan,” tuturnya.

Menurutnya, dukungan tersebut menjadi kekuatan moral bagi korban lain yang masih takut berbicara. “Kalau bukan sesama mahasiswa yang bantu speak up, mungkin kasusnya benar-benar tenggelam,” tambahnya.

Korban berharap tragedi serupa tak terulang dalam kegiatan organisasi mahasiswa, di dalam maupun di luar kampus. Ia mendesak agar Unila lebih serius mengawasi kegiatan mahasiswa dan menindak tegas pelaku kekerasan.

“Setiap kegiatan organisasi yang ada kekerasannya harus dihapuskan. Pelaku-pelaku kekerasan juga harus ditindak. Kampus harus mencegah agar tidak ada lagi kekerasan, baik fisik maupun psikologis,” tegasnya.

6. Pengamat Unila nilai Satgas PPKPT belum terlihat gregetnya

ilustrasi bullying (pexels.com/Mikhail Nilov)

Pengamat pendidikan Unila, Thoha B Sampurna Jaya, menilai kehadiran Satgas PPKPT di Unila belum benar-benar terasa di lingkungan kampus. Ia menyebut, secara empiris, kerja satgas masih belum menunjukkan “greget” yang seharusnya tampak melalui kegiatan sosialisasi dan edukasi ke civitas akademika.

“Yang perlu dilakukan Satgas PPKPT ini seharusnya adalah proses sosialisasi. Karena banyak kasus kekerasan di kampus yang sifatnya pribadi. Jadi, selain menunggu laporan, seharusnya satgas juga melakukan pemantauan langsung dan menindaklanjutinya,” ujar Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unila itu.

Menurutnya, satgas tidak hanya perlu fokus pada kegiatan di dalam kampus, tapi juga di luar kampus seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau kegiatan akademik lain yang rawan terjadi pelanggaran etik maupun kekerasan. “Kegiatan seperti itu tetap bagian dari aktivitas akademik, jadi pengawasan satgas seharusnya sampai ke sana,” tambahnya.

Thoha menilai, salah satu indikator keberhasilan satgas adalah adanya sosialisasi dan edukasi secara berkala. Ia mengingatkan, jauh sebelum terbentuknya Satgas, Unila sebenarnya telah memiliki pedoman tata pergaulan kampus yang mengatur hubungan dosen dan mahasiswa.

“Kalau ada kasus kekerasan, seharusnya bisa diawasi dan diselesaikan secara internal. Tapi kalau sampai ditangani pihak luar, artinya kerja satgas belum optimal,” katanya.

Ia juga menyoroti pola kerja Satgas yang selama ini cenderung pasif, hanya menunggu laporan masuk. Padahal, banyak kasus kekerasan bersifat pribadi dan tidak dilaporkan karena korban takut nama baiknya tercemar. “Jangan hanya menunggu laporan, tapi cari informasi langsung di lapangan,” tegas Thoha.

Thoha memperingatkan dampak serius jika kasus kekerasan di kampus tidak ditangani dengan tegas dan cepat. Ia menyebut, pembiaran hanya akan menumbuhkan budaya apatis di lingkungan kampus.

“Kalau kekerasan tidak diselesaikan, warga kampus akan merasa tidak nyaman, dan lama-lama menganggap kekerasan itu hal biasa,” ujarnya.

Ia menekankan, satgas harus hadir sebagai lembaga yang mampu menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan. “Harus ada tindakan konkret dan penyelesaian yang jelas melalui Satgas. Kalau tidak, pihak yang dirugikan pasti akan mencari bantuan dari luar kampus. Itu justru merugikan nama baik universitas,” tandasnya.

7. Satgas PPKPT ITERA sudah terima 30 laporan kekerasan

ilustrasi bullying (pexels.com/cottonbro studio)

Institut Teknologi Sumatera (ITERA) juga telah membentuk Satgas PPKPT sebagai upaya menciptakan lingkungan kampus yang aman dan berperspektif korban. Ketua Satgas PPKPT ITERA, Winati, menjelaskan, tugas utama Satgas adalah melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan dalam kegiatan tri dharma sesuai Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.

Rekrutmen anggota dilakukan secara terbuka dari unsur dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dengan mempertimbangkan kompetensi, integritas, serta komitmen terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan kampus.

Winati mengatakan, hingga saat ini sudah lebih dari 30 laporan kekerasan yang diterima Satgas. Mekanisme pelaporan dapat dilakukan melalui call center WhatsApp atau direct message Instagram Satgas PPKPT ITERA, dan dalam waktu dekat juga melalui website resmi yang segera diluncurkan.

Korban dapat dibantu saksi untuk melapor. Setelah laporan masuk, pelapor mengisi formulir yang kemudian dipelajari oleh tim penanganan. "Investigasi dilakukan dengan mengumpulkan keterangan dan bukti dari berbagai pihak, lalu hasilnya disimpulkan dan direkomendasikan kepada rektor untuk penetapan sanksi," jelas Winati.

Winati menuturkan, anggota Satgas telah mengikuti berbagai pelatihan dari kementerian maupun kampus lain yang lebih dulu memiliki Satgas PPKS/PPKPT. Mereka juga mendapat pendampingan psikologis dari ITERA yang bekerja sama dengan psikolog profesional bila dibutuhkan.

Menurutnya, tantangan utama yang dihadapi satgas adalah menjaga keseimbangan antara transparansi publik dan kerahasiaan pihak terkait selama proses penanganan berlangsung agar hak serta keselamatan semua pihak tetap terlindungi.

“Satgas berhak memanggil korban atau pihak lain yang diperlukan keterangannya tanpa melalui fakultas, prodi, atau unit. Hanya tim penanganan yang mengetahui kasus yang sedang diinvestigasi, sehingga kerahasiaan dan keamanan pelapor tetap terjaga,” tegas Winati.

Ia menambahkan, Satgas PPKPT ITERA bekerja independen dan berpihak kepada korban, sesuai Pasal 4 Ayat 1 Permendikbudristek No 55 Tahun 2025, dengan prinsip kehati-hatian dalam setiap langkah penanganannya.

Editorial Team