Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Akademisi: Perbaikan Konstitusional

- Putusan MK memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pilkada untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan.
- Putusan tersebut dianggap sebagai koreksi konstitusional terhadap praktik Pemilu serentak sebelumnya yang menyisakan banyak persoalan teknis dan sumber daya.
- KPU perlu merumuskan jadwal baru Pemilu yang sesuai dengan koridor putusan MK, tanpa mengorbankan hak konstitusional warga.
Bandar Lampung, IDN Times – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dinilai sebagai langkah konstitusional penting dalam memperbaiki efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan.
Akademisi Hukum Tata Negara dari Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandy Ritonga mengatakan, putusan MK menyatakan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden harus dilaksanakan lebih dulu. Baru kemudian disusul dengan Pilkada dan pemilihan DPRD paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan hasil pemilu nasional.
“Putusan ini mempertegas, Pemilu nasional dan Pilkada tidak lagi bisa diselenggarakan serentak dalam satu hari seperti Pemilu 2019 maupun Pilkada Serentak 2024. MK secara gamblang memberikan jeda waktu, agar pemerintahan hasil Pemilu nasional dapat berjalan lebih stabil sebelum daerah kembali menggelar Pilkada," ujarnya dimintai keterangan, Senin (30/6/2025).
1. Bentuk koreksi konstitusional

Rifandy menilai, putusan hakim majelis konstitusi tersebut sebagai bentuk koreksi konstitusional terhadap praktik Pemilu serentak sebelumnya yang menyisakan banyak persoalan teknis dan sumber daya.
“Kita belajar dari Pemilu 2019. Dalam satu hari, petugas KPPS harus menangani lima jenis surat suara. Banyak yang kelelahan, bahkan ada yang meninggal. Tentu ini tidak ideal bagi demokrasi kita,” ungkapnya.
Selain memperbaiki beban teknis, ia juga menyebut putusan ini memberi kepastian hukum dan tahapan bagi semua pihak dalam sistem kepemiluan nasional. “Dengan rentang waktu dua hingga dua setengah tahun, maka partai politik, kandidat, dan masyarakat punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri dengan matang. Pemerintahan hasil Pemilu nasional pun bisa fokus bekerja sebelum kembali memasuki pusaran politik daerah,” lanjut dia.
2. Ingatkan tantangan di jajaran KPU

Merujuk dari putusan pemilihan dianggap positif tersebut, Rifandy turut mengingatkan, sejumlah tantangan besar kini berada di pundak penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pasalnya, jajaran KPU perlu segera merumuskan jadwal baru Pemilu yang sesuai dengan koridor putusan MK tersebut, baik perubahan pada Peraturan KPU (PKPU) maupun revisi Undang-Undang teknis Pemilu.
"Perbaikan ini menjadi hal yang tak terelakkan, supaya tidak berbenturan dengan norma-norma baru yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi," ucapnya.
3. Pelaksanaan putusan jangan mengorbankan hak konstitusional warga
Rifandy menambahkan, publik patut mengapresiasi putusan MK tersebut, dikarenakan sebagai salah satu langkah kemajuan dalam pembenahan kualitas demokrasi elektoral Indonesia. Namun perlu diingat, pengawasan publik harus diperkuat agar pelaksanaan putusan tidak sampai mengorbankan hak-hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih.
"Putusan MK ini patut kita apresiasi. Transisi pemerintahan pun mesti tetap berjalan tertib sesuai amanat UUD 1945," imbuhnya.