Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi royalti (unsplash.com/Alexander Grey)
ilustrasi royalti (unsplash.com/Alexander Grey)

Intinya sih...

  • Musisi Lampung merasakan keresahan yang sama dengan musisi nasional terkait transparansi pembagian royalti oleh LMKN.

  • Peran LMKN di Lampung belum terasa, dan musisi daerah berharap ada mekanisme baru yang lebih jelas dan transparan dalam pembagian royalti.

  • Komunitas musik di Lampung mendukung keputusan DPR terkait pemutaran lagu di tempat usaha, sementara pelaku usaha kafe merespons santai isu pembayaran royalti.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times – Polemik royalti musik tak hanya dirasakan musisi nasional, melainkan juga para musisi daerah di Provinsi Lampung hangat dibicarakan para pelaku musik hingga UMKM.

Ketua Umum Himpunan Musik Lampung (HML), Angga Martaf mengatakan kebingungan menyikapi aturan berlaku saat ini. Terlebih musisi besar sekelas Ari Lasso saja masih mempertanyakan transparansi pembagian royalti.

“Sebagai musisi di daerah, kami bingung juga. Kalau musisi nasional sekaliber Ari Lasso saja mempertanyakan besaran nominal, bagaimana dengan kami yang di daerah?," ujarnya dimintai keterangan, Jumat (29/8/2025).

1. Sama resahnya dengan musisi nasional

Ketua Umum Himpunan Musik Lampung (HML), Angga Martaf. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Sebagai musisi daerah sekaligus pegiat komunitas musik di Lampung, Angga menyampaikan, keresahan musisi Lampung sejatinya sama dengan musisi nasional. Terutama menyangkut transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

“Sampai hari ini para pemegang hak cipta belum merasakan keadilan dalam pembagian royalti. Itu juga yang kami lihat dan rasakan di Lampung,” ujarnya.

Ia mencontohkan pernah dialaminya pribadi, ia bahkan mengaku pernah menerima royalti, namun dengan nominal jumlah relatif kecil. “Saya terakhir dapat royalti sekitar Rp800 ribu selama setahun di 2023. Jadi masih ratusan ribu,” lanjut dia.

2. Tagih peran LMKN hingga ke daerah

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun saat ditemui di Gedung MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Angga menyebut, peran LMKN di Lampung hingga kini belum terasa. Sebab, banyak musisi daerah bahkan belum memahami bahkan mengenal secara langsung dengan lembaga ditugaskan negara menarik dan mendistribusikan royalti tersebut.

“Peran LMKN di Lampung itu belum terasa. Kami di daerah belum kenal atau paham betul juga dengan lembaga ini,” kata personel Mazhab Frankfurt tersebut.

Oleh karena itu, ia berharap ke depan ada mekanisme baru yang lebih konkret, jelas, dan disosialisasikan dengan baik kepada kedua belah pihak, baik penerima maupun pembayar royalti. “Harus ada mekanisme yang jelas dan transparan, supaya tidak ada lagi menimbulkan kebingungan,” lanjut Angga.

3. Hargai respons dan sikap DPR

Komisi III DPR minta Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum RI sosialisasikan secara luas terkait mekanisme perolehan royalti melalui LMK-LMKN (IDN Times/Amir Faisol)

Melihat perkembangan terakhir terhadap permasalahan tersebut, Angga menegaskan, komunitas dinaunginya tetap menghargai dan mendukung keputusan rapat DPR bakal memberi kepastian bagi pengguna musik.

Menurutnya, keputusan tersebut menjadi titik terang bagi pelaku usaha yang sebelumnya bingung dengan aturan pemutaran lagu semisal kafe atau restoran.

“Kami mendukung dan puas dengan keputusan DPR, karena itu sudah menemukan titik jelas buat para pengguna lagu. Sekarang sudah ada kepastian bahwa lagu-lagu dipersilakan diputar di kafe, yang sebelumnya masih membingungkan,” ucap pentolan grup band bergenre dark pop tersebut.

4. Pelaku usaha kafe di Lampung tanggapi santai

Ilustrasi kafe buku (pexels.com/samerdabour)

Dari sisi pelaku usaha, Owner Bonanza Kafe & Resto, Puja Kusuma Suud mengatakan, hingga saat ini kebijakan pembayaran royalti musik belum berdampak nyata di Lampung. Menurutnya, isu persoalan ini hanya sebatas informasi dari pemberitaan nasional.

“Kalau di Lampung, sampai hari ini kami bersama rekan-rekan pelaku bisnis resto belum ada pembahasan ke arah sana. Sejauh ini saya pribadi baru mengamati lewat pemberitaan, jujur saja belum mengerti soal pengurusan masalah royalti ini,” ucapnya.

Puja meyakini, mayoritas pelaku usaha di Lampung sudah melek hukum dan mendirikan usahanya dengan status badan hukum. “Kami menganggap santai, karena memang belum berdampak. Tapi kalaupun nanti sampai diterapkan di Lampung, jelas sebagai pelaku usaha kami akan taat aturan itu,” sambung Puja.

5. Promotor konser sepakati revisi UU Hak Cipta

Akurpro Indonesia menggelar konferensi pers persiapan konser musik KLa Project bertajuk Romansa Kla di Bandar Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Selaku promotor konser musik, Direktur Akurpro, Awe Ringgala menyampaikan, polemik royalti musik tidak terlalu berpengaruh terhadap kegiatan konser atau pertunjukan yang digagas oleh Akurpro. Pasalnya, artis mereka undang umumnya membawakan karya ciptaan sendiri.

“Kalau dari kacamata EO, tidak terlalu berpengaruh. Artis, penyanyi, atau band yang kami panggil mereka bawakan di konser memang ciptaannya sendiri,” jelasnya.

Meski begitu, ia sepakat dengan keresahan para musisi nasional maupun daerah mendorong revisi UU Hak Cipta, agar aturan royalti musik lebih adil, transparan, dan adaptif terhadap perkembangan industri kreatif. “Kami sejalan dengan musisi, perlu revisi UU Hak Cipta, agar lebih jelas dan berpihak pada pencipta,” imbuh dia.

Editorial Team