Mewah-Mewahan di Perpisahan Sekolah, Perlu Gak Sih?

- Perpisahan sekolah perlu disederhanakan, tanpa tekanan biaya tinggi
- Fenomena wisuda dari TK hingga SMA dinilai perlu dievaluasi, sebaiknya dilakukan secara sederhana di sekolah saja
- Ombudsman menilai perpisahan tidak wajib, pentingnya kesepakatan antara sekolah dan orang tua murid agar tidak membebani
Bandar Lampung, IDN Times - Perpisahan sekolah sudah jadi agenda tahunan dinanti banyak siswa di Indonesia. Mulai dari TK, SD, SMP, sampai SMA, acara ini jadi penanda resmi masa belajar mereka sudah selesai.
Tapi, di balik gegap gempita pesta kelulusan, ada banyak cerita lain, jarang terdengar. Biasanya, perpisahan digagas oleh pihak sekolah bareng komite orang tua dan tentunya siswa sendiri.
Ada yang bikin acara sederhana di aula sekolah, tapi gak sedikit juga yang memilih venue khusus, lengkap dengan dekorasi mewah dan hiburan. Bahkan kini perpisahan dibungkus dengan konsep ala wisuda bak perguruan tinggi.
Orang tua pun kerap diminta untuk ikut urun biaya—baik lewat iuran, sumbangan, atau bahkan bantu teknis acara. Namun, tidak semua pihak merasa nyaman. Beberapa orang tua menganggap pesta perpisahan sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan anak-anak mereka.
Tapi di sisi lain, ada juga yang merasa ini cuma menambah beban, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak selalu stabil. Kali ini IDN Times sudah merangkum beragam pandangan dari akademisi pendidikan, ombudsman, hingga orang tua murid. Yuk, simak selengkapnya di bawah ini.
1. Wisuda sekolah cuma istilah kekinian, intinya tetap perpisahan

Fenomena wisuda yang kini dilakukan sejak jenjang TK hingga SMA dinilai perlu dievaluasi. M Thoha Batin Sampurna Jaya, Pengamat Pendidikan sekaligus Akademisi FKIP Universitas Lampung, menyebut konsep ini sebenarnya bukan hal baru, hanya dibungkus dengan istilah yang lebih modern dan kekinian.
“Dari dulu sudah ada konsep perpisahan. Sekarang saja dimodernisasi dan dikasih nama keren, wisuda. Padahal, inti dari acara itu ya karena sudah menyelesaikan studi di jenjang tertentu,” jelasnya saat diwawancarai, Jumat (9/5/2025).
Menurut Thoha, jika acara perpisahan tetap ingin digelar, sebaiknya dilakukan secara sederhana. Tidak perlu di hotel atau gedung megah. Cukup di sekolah saja karena terpenting kebersamaannya, bukan kemewahannya.
Ia menyoroti istilah “wisuda” kini sering digunakan untuk membungkus acara dengan biaya tinggi yang justru membebani orang tua. “Bayangkan jika ada orang tua yang anaknya lulus SD, SMP, dan SMA di waktu yang berdekatan. Belum lagi kalau ada yang kuliah juga. Mau habis biaya brapa?,” kata Thoha.
Padahal menurutnya, cukup dengan kegiatan silaturahmi, foto bersama, dan berbagi kenangan, momen perpisahan bisa tetap bermakna tanpa menjadi beban finansial. Thoha juga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan surat edaran yang mengatur agar perpisahan sekolah dilakukan secara sederhana.
Namun, ia menegaskan pelarangan total justru tidak tepat. “Ini momen terakhir siswa bertemu teman-teman. Sayang kalau dihilangkan. Yang perlu diatur itu konsep dan pelaksanaannya, bukan dilarang total,” ujarnya
Ia juga mengingatkan para orang tua untuk tidak takut menyampaikan keberatan jika merasa acara terlalu memberatkan. “Jangan takut sanksi sosial atau diskriminasi. Sekarang sudah zaman digital, kalau ada sekolah yang memaksa, tinggal viralkan saja. Itu bentuk kontrol publik juga,” tutupnya.
2. Perpisahan sekolah boleh, tapi jangan jadi beban

Meski perpisahan sekolah sudah jadi tradisi tahunan, Ombudsman RI Perwakilan Lampung menilai kegiatan ini sebenarnya tidak wajib dan tidak ada regulasi yang mengharuskannya.
“Pada prinsipnya, gak ada kewajiban untuk bikin acara perpisahan. Jadi jangan sampai malah jadi beban tambahan, apalagi di tengah kondisi ekonomi sekarang,” ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan Lampung, Nur Rakhman Yusuf kepada IDN Times, Jumat (9/5/2025).
Selama ada kesepakatan antara sekolah dan orang tua, menurut Nur, penyelenggaraan perpisahan sah-sah saja, apalagi jika digelar secara sederhana dan tidak memakan banyak biaya.
“Yang penting gak ada paksaan. Karena ini bukan kewajiban, jadi kalaupun ada yang gak mau ikut, gak boleh sampai merasa tertekan,” ujarnya.
3. Pemerintah perlu buat aturan tegas

Nur juga menyoroti kebiasaan yang seolah-olah menjadikan perpisahan sebagai keharusan. Padahal, yang lebih penting adalah kesiapan anak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
“Kalau memang perlu, pemerintah bisa buat aturan tegas. Jangan ambigu. Langsung saja, boleh atau tidak. Karena selama ini sifatnya masih bebas,” tegasnya.
Menurut Nur, hingga saat ini, Ombudsman belum menerima laporan soal pelanggaran terkait acara perpisahan. Namun, mereka tetap mengingatkan pentingnya transparansi dan kesepakatan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
4. Lebih setuju acara perpisahan di sekolah

Salah satu wali murid TK, Neneng Hasanah, mengaku tidak keberatan mengeluarkan iuran sebesar Rp30 ribu untuk perpisahan anaknya yang masih duduk di bangku TK 0 kecil.
“Acaranya gak terlalu mewah, cuma iuran Rp30 ribu, jadi gak merasa terbebani sama sekali. Dari uang segitu, anakku bisa tampil di pentas sambil melatih mental dia,” ujarnya warga Lampung Timur ini kepada IDN Times.
Menurut Neneng, acara perpisahan tersebut sudah berdasarkan kesepakatan antara wali murid dan guru. Pihak sekolah sempat memberikan beberapa opsi, mulai dari perpisahan di dalam kelas dengan iuran Rp20 ribu, di luar ruangan menggunakan tenda dengan iuran Rp30 ribu termasuk snack hingga jalan-jalan ke tempat wisata yang tentunya memakan biaya lebih mahal.
“Waktu rapat kita sepakati perpisahan di sekolah aja. Kalau jalan-jalan biayanya lebih mahal, jadi wali murid pada gak mau. Lagipula guru juga menyarankan perpisahan di sekolah karena lebih berkesan dan terasa haru,” jelasnya.
Ibu rumah tangga itu menyebut perpisahan sederhana ini sudah cukup membuat anak-anak bahagia. Tidak sampai Rp50 ribu, anak-anak bisa punya pengalaman pentas mengasah keterampilan mereka sekaligus bantu mereka lebih percaya diri.
"Tapi beda lagi kalau TK 0 besar biaya lebih mahal, karena dapet piagam tanda kelulusan sama foto pakai baju adat itu sekitar Rp300 ribu lebih biayanya," imbuhnya.