Bandar Lampung, IDN Times - "Jadi korban langsung. Aku sendiri pas peristiwa itu sempat menjadi tahanan di Korem Padang bersama ibu. Ayah saya dipenjara di Korem Gatam Lampung," ujar Edi Arsadad dengan suara bergetar saat kembali memutar memori ingatannya 34 tahun silam tepatnya 1989.
Kala itu, Edi Arsadad masih berusia 11 tahun menyaksikan langsung gerombolan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menduduki Desa Sidorejo, salah satu lokasi terkait rangkaian peristiwa terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (saat itu masih masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Belum lekang dalam ingatan, bentrok antar warga dengan pasukan ABRI saat kejadian tersebut tidak terelakkan, sesekali Edi Arsadad mendengar letusan peluru mendesing di telinga. Akibatnya, beberapa rumah warga dibakar dan mengalami rusak parah, tak terkecuali kediamannya bersama kedua orang tua.
Keberingasan aparat waktu itu tak berhenti di situ, sejumlah warga diduga berkaitan dengan jemaah Komando Mujahidin Fisabilillah di Lampung Tengah pimpinan Warsidi yang menentang pemerintahan Soeharto dalam menganut asas tunggal Pancasila ditangkapi. Sedikitnya, tiga orang tewas di Desa Sidorejo.
Kondisi di Desa Sidorejo ternyata tak sebanding dengan terjadi sehari sebelumnya di Dusun Talangsari III, sebanyak 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu dusun setempat untuk memberikan perlawanan terhadap Warsidi Cs, hingga berujung ratusan penduduk sipil tewas.
"Di Talangsari, ada Kapten Soetiman meninggal dan jemaah meninggal lebih kurang 200 sekian," ucap Edi Arsadad, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL).
Serangkaian insiden berdarah tersebut, kini, lebih dikenal sebagai Peristiwa Talangsari 1989 telah diakui oleh negara sebagai salah satu kejadian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, selain 11 kasus lainnya.