Aksi unjuk rasa mahasiswa bersama masyarakat petani dari Kabupaten Lampung Timur di depan Kanwil Kementerian ATR/BPN Lampung, Kamis (30/11/2023). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).
Ketua BEM FEBI UIN Antasari Banjarmasin Husein Fakhrezi menyatakan keprihatinannya terhadap masalah sosial yang belum terselesaikan. Menurutnya, sebagai pemuda, mereka perlu bersikap kritis dan aktif menyuarakan kebenaran.
Gerakan mahasiswa terbagi dalam berbagai elemen dengan latar belakang beragam, seperti organisasi kampus, komunitas independen, atau gerakan sosial. Perbedaan ideologi dan visi sering kali membuat gerakan ini terlihat terpecah. Meski demikian, ketika menghadapi isu besar yang merugikan masyarakat, berbagai elemen ini mampu bersatu.
Contohnya, gerakan #ReformasiDikorupsi dan aksi menolak Omnibus Law berhasil menyatukan mahasiswa dari latar belakang berbeda, menunjukkan mereka dapat solid saat ada tujuan jelas yang menyentuh kepentingan masyarakat luas.
Di sisi lain, Husein tak menampik, masih ada mahasiswa yang apatis terhadap isu politik dan sosial. Alasan mereka beragam, mulai dari fokus pada studi hingga ketakutan akan risiko hukum.
Merujuk kondisi itu, para aktivis biasanya mencoba mendekati rekan-rekan mereka yang apatis dengan cara yang persuasif. Selain itu, mengadakan kegiatan edukatif seperti seminar dan webinar dapat membangkitkan kesadaran. Memanfaatkan media sosial sebagai ruang diskusi juga efektif untuk menjangkau mereka yang enggan terlibat langsung.
Ia menambahkan, idealisme mahasiswa saat ini lebih terbuka dan kritis, menggunakan data dan fakta sebagai landasan dalam menyuarakan ketidakadilan. Gaya ini terlihat dalam cara mereka membangun narasi berbasis rasionalitas dan pemahaman mendalam terhadap isu. Mereka tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi atau alternatif kebijakan.
Isu yang diangkat pun luas, mencakup berbagai dimensi sosial seperti korupsi, hak asasi manusia, ketidakadilan ekonomi, hingga krisis lingkungan. “Gaya mereka berorientasi pada pemahaman menyeluruh, berupaya memahami permasalahan dari berbagai sudut pandang agar solusi yang diusulkan lebih relevan,” tambahnya.
Dalam beberapa kasus, Renaldo Diaz Simbolon selaku founder Gerakan Untuk Rakyat (GUNTUR) di Medan Sumatra Utara menilai, selalu ada upaya pecah belah pada gerakan mahasiswa. Menurutnya, hal ini biasanya memang sengaja dibuat atau dikonsep oleh penguasa untuk membuat adanya benturan. Sehingga, tidak fokus dari gerakan dan menimbulkan konflik hingga menjadi tantangan bersama dalam bergerak.
Dia menambahkan, dalam menyuarakan ketidakadilan dengan turun ke jalan adalah salah satu opsi yang masih sangat relevan untuk dilakukan. "Kalaupun perkembangan zaman memberikan tawaran metode pergerakan yang lain, bukan berarti metode turun ke jalan ditinggalkan. Karena unjuk rasa turun ke jalan masih menjadi salah satu metode yang masif dan efisien, untuk melawan penguasa yang masih cenderung tutup mata dan tutup telinga dengan persoalan di negeri ini," tukasnya.
Metode lain seperti diskusi dan nobar serta panggung rakyat juga dapat mendukung terciptanya kesadaran bersama dan sikap kritis pada masyarakat yang juga turut berperan menggalang kekuatan rakyat melawat penindasan," ujarnya.
Hal yang sama juga dikatakan Rimba Zait Shalsyabill Nasution sebagai Staff Analisis Data dan Kampanye di Yayasan Srikandi Lestari. Dia menjelaskan, tren gerakan mahasiswa Gen Z saat ini hanya mengikuti isu yang berkembang atau FOMO jadi terkesan stagnan. Sehingga, sulit untuk bisa menggebrak atau mendobrak satu kebijakan yang sewenang-wenang tersebut.
Meskipun dirinya juga termasuk usia Gen Z, dan mengikuti tren gerakan ini dimulai sejak 2019, dia menilai tren gerakan mahasiswa kini juga berdampak pada zaman sekarang yang semakin canggih dan berkembang pesat dalam pemanfaatan teknologi. Disatu sisi dia juga sempat terpikir untuk dapat menyatukan ataupun menyelaraskan gerakan dari berbagai macam organisasi atau berbagai macam elemen masyarakat, berdasarkan misi dan visi yang sesuai dengan isu sehingga tidak ada kesalahpahaman.
Terkait Gen Z tampak cuek dalam dunia politik, dia menilai sebagian mahasiswa memahami dan sebagian tidak memahami politik. Namun, yang memahami politik ada rasa kecewa karena ketidakadilan. Sedangkan untuk gaya idealisme yang biasa digaungkan oleh Rimba dalam pergerakannya untuk menyuarakan ketidakadilan merujuk berbagai isu nasional adalah kesetaraan.
Ditanya relevansi menyuarakan ketidakadilan melalui turun ke jalan, Rimba mengatakan sangat perlu dan sangat penting. Sebab, baginya, jalanan itu adalah perjuangan yang sesungguhnya.
"Jalur perjuangan sesungguhnya adalah jalanan. Aku menganggapnya seperti itu, karena dijalanan itu adalah panggung terbesar untuk bisa berekspresi, panggung terbesar untuk bisa menyuarakan keresahan-keresahan yang terjadi. Benar-benar dimuka umum," katanya.
Setali tiga uang, Ida Ayu Kusuma Widiari, Pemimpin Umum Pers Mahasiswa (Persma) Akademika 2023/2024, menjelaskan aksi turun ke jalan saat ini masih relevan dilakukan. “Menurut saya aksi turun ke jalan masih relevan apabila tujuannya adalah untuk membangun kesadaran tapi hanya bagi sebagian kelompok,” jelasnya, pada Kamis (24/10/2024).
Menurut Lily, tidak banyak mahasiswa di wilayah Bali Utara yang aktif menyuarakan isu-isu krusial baik skala lokal maupun nasional. “Kita tidak bisa memaksakan, tapi saya kecewa dengan ketidakpekaan mahasiswa yang cuek terhadap hal terjadi di sekitar kita,” ucapnya.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Widiari menuturkan penting bagi mahasiswa dalam merawat spirit memperjuangkan tegaknya keadilan. “Karena saya meyakini, kemewahan yang dimiliki sebagai mahasiswa adalah idealismenya. Jadi dengan keilmuan yang kita pelajari, perjuangkan idealisme itu untuk menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan,” tegasnya.