Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On Digital

Apa benar siaran radio tidak satu frekuensi dengan Gen Z?

“Lewat radio aku sampaikan, kerinduan yang lama terpendam”.

Itu adalah penggalan lirik lagu Radio band Sheila on 7. Membahas radio, di seluruh penjuru daerah pasti ada stasiun radio. Bahkan, ada stasiun radio hits di mata pendengar setianya.

Kekinian, apa kabar radio hits di daerah? Masihkah ada interaksi antara penyiar dan pendengar? Itu lantaran perubahan zaman ikut memengaruhi eksistensinya saat ini.

"Mungkin zaman sudah berubah, jadi sekarang kurang mendengar radio. Lebih ke platform media sosial jika sekadar ingin mendengarkan lagu," ungkap Roni (33) warga Palembang kepada IDN Times, Jumat (20/8/2021).

Roni menjelaskan, radio di awal 2000-an digunakan untuk media komunikasi anak muda zaman itu. Mereka sering bertukar informasi hingga berkenalan dengan lawan jenis melalui radio.

"Pada awal 2000-an, handphone kan jarang. Kalau pun ada untuk telepon mahal, jadi saya memang kirim salam ke teman dan pacar lewat radio, agar praktis," ujar dia.

Menurutnya, anak-anak muda kala itu menjadikan radio sebagai syarat gaul. Mereka yang mendengarkan radio, sudah bisa menasbihkan dirinya menjadi anak muda melek informasi. Dari sana, mereka dapat mendiskusikan informasi aktual tentang kehidupan kekinian.

"Terutama kan soal pengetahuan musik-musik baru, pasti radio lebih terdepan dalam memberikan pengetahuan tentang band yang lagi hits, lagu paling baru," ujar dia.

1. Tetap memiliki ruang tersendiri bagi pendengarnya

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On Digitalradiofidelity.com

Salahudin Rizal (35), warga Palembang adalah salah satu pendengar setia radio. Ia mengatakan, saat masa remaja sering menggunakan radio untuk berkenalan dengan lawan jenis. Pada zaman itu, ada nama program Blind Date (kencan buta) di sebuah radio. Dirinya menjadi pendengar setia untuk mencatat nomor telepon seseorang yang dipublikasi.

"Saya catat nomornya, dulu masih nomor telepon rumah. Jadi saya sering menelepon dari Wartel (Warung Telepon)," ujar dia.

Dari saling telepon, akhirnya Rizal sepakat untuk bertemu. Keterbatasan akses komunikasi membuat dirinya merasa hubungan di era 1990-an punya banyak kenangan yang patut dikenang. "Dari sana saya kenalan bahkan sempat kopi darat dari radio," ungkap dia.

Rizal mengenang dari dekade era 90 ke 2000-an, ada tiga radio yang paling banyak disukai anak muda Palembang, seperti Momea FM, Elita FM, dan Suara Pesona Indah (SPI).

Penikmat radio lainnya, La Ode Wowo mengatakan, menghabiskan berjam-jam untuk mendengar setiap siaran di Radio Gamasi di Makassar. Salah satu favoritnya adalah program siaran interaktif tentang obat-obatan, Laugi atau Lagu Bugis hingga Pacarita. Selain itu, dia juga mengaku senang karena Gamasi hampir setiap saat mengumandangkan dangdut.

"Saya suka kalau orang lagi siaran langsung terus menelpon begitu, baru lucu-lucu, ketawa-ketawa. Itu kan salah satu obat mujarab juga untuk kasih kuat imun. Apalagi kalau sudah diputar dangdut, jadi seperti kita di kampung diingat," ujar pria 63 tahun ini.

Dia bahkan menyatakan, saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota Makassar dari kampung halamannya, Kabupaten Muna, Raha, Sulawesi Tenggara, mengetahui banyak tentang daerah ini karena Gamasi.

"Kan di awal-awal dulu itu tahun 80-an, banyak dibahas budaya-budaya bagaimana di Makassar ini toh. Jadi saya banyak juga belajar dari situ. Sampai mengerti bahasa Makassar, tidak langsung Gamasi yang bantu, kalau boleh dibilang begitu," ucapnya.

Tina (43) salah seorang pendengar Sonora Medan FM, menyadari industri radio akan tetap memiliki ruang tersendiri bagi pendengarnya. Ia setia menjadi pendengar radio sejak zaman Sekolah Menengah Atas.

"Sebagai pendengar, aku suka request lagu "Hey Jude The Beatles". Dengar radio itu suka kalau sedang di mobil aja. Kalau pas macet kan bosan ya, ya udah putar radio aja. Karena kalau di rumah udah pakai handphone aja akses sosial media dan biasanya dengar Podcast aja," ujar Tina.

Bagi Zeid Bin Sef, seorang warga Gunung Sindur, Bogor hanya mendengarkan radio yang menarik bagi generasi seusianya, seperti siaran berita dari dalam maupun luar negeri melalui berita alih bahasa seperti yang ia dengarkan di beberapa radio berita.

"Kadang masih ada tuh, BBC London di radio berita, ada DW Jerman, ada NHK Jepang. Sekarang paling nikmat dengar radio, ya, cuma berita, sih," kata dia.

2. Sempat ‘mati suri’ kini kembali mengudara, ada ganti nama radio

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On Digitalwww.herzing.ca

Sederet stasiun radio hits di Kota Bandar Lampung saat kamu masih berseragam putih-biru atau putih abu-abu selalu setia menemani hari-hari para pendengar setia. Sebut saja seperti OZ Radio Lampung, Radio Suara Bhakti (Rasubha), Radio Andalas, Radio Yudisthira, dan sebagainya.

Kendati demikian, ketenaran radio-radio hits lokal tersebut seakan mulai tergerus. Itu seiring waktu dan perkembangan dunia digital, khususnya media sosial (medos).

Kisah menarik datang dari salah satu stasiun radio kenamaan di Kota Bandar Lampung yaitu, D! Radio Lampung dibentuk pada 2013 dan masih konsisten hingga saat ini.

Jauh sebelum D! Radio Lampung mengudara, stasiun radio ini tadinya mengusung brand franchise OZ Radio. Namun lantaran adanya permasalahan tata kelola internal manajemen, akhirnya, mereka pun sepakat memisahkan diri dari nama OZ Radio dan membentuk D! Radio Lampung.

"Aku masuk OZ (Lampung) di 2006, sampai di 31 Agustus 2013 kita tidak pakai lagi nama OZ. Sistem manajemen franchise, sehingga pemiliknya ada dua. Satu brand OZ dan satu lagi pemilik aset di Lampung," kata Novita Eka Wahyuni, salah satu karyawan D! Radio Lampung, Jumat (20/8/2021).

Ia menambahkan, masih di tahun sama atau tepatnya di 10 November, D! Radio Lampung pun akhirnya resmi mengudara, dengan mengusung konsep dan suasana baru. "Jadi masa peralihan dari OZ ke D! itu kurang lebih hanya tiga bulan dan pasti ini gak mudah," kata Novi sapaan akrabnya.

Alih nama dari OZ Radio Lampung ke D! Radio Lampung diakui Novi tak berjalan mudah. Itu dikarenakan embel-embel nama besar OZ selalu membayangi D! Radio. Bahkan, hal tersebut berlangsung cukup lama setidaknya dua tahun pasca usungan nama baru di frekuensi 94,4 FM tersebut.

"Awalnya kita tidak memikirkan bisa besar kembali, yang penting bisa stasiun ini bisa jalan dulu. Beratnya baik dari perolehan iklan secara marketing dan kembali mengenalkan nama baru kepada khalayak ramai," imbuhnya.

Kendati demikian, perlahan namun pasti masyarakat umum khusus pendengar OZ Radio, mulai menerima dan akrab dengan hadirnya D! Radio Lampung. "Langkah awal yang kita benahi dari segi musik, kita berupaya menyajikan musik yang akrab di telinga. Terutama untuk masyarakat Lampung," tukas Novi.

Radio hits lainnya sempat berkibar di Bandar Lampung adalah Radio Andalas berlokasi di Jalan Sultan Agung, Way Halim Bandar Lampung. Radio ini sempat 'mati suri' dan kini kembali siaran menemani para pendengar.

Warsiah, Station Manajer Andalas Radio mengatakan, Radio Andalas Lampung pernah 'mati suri'. Itu karena, meski berstatus sebagai radio hits pada zamannya dan radio FM pertama di Provinsi Lampung pendapatan kian menurun.

"Tapi owner kita berpikir ulang untuk meninggalkan aset besar yang ada. Maka kami berupaya mencari orang-orang loyal untuk sama-sama kembali membangun Andalas," lanjut Asih sapaan akrabnya.

Ia mengatakan, dari sisi bisnis industri radio saat ini miris. "Iklan sudah tidak bisa lagi diandalkan. Radio saat ini hanya sebatas media pendengar lagu, tapi ketika iklan atau penyampaian pemberitaan maka chanel langsung dipindah," jelasnya.

Baca Juga: Kala Radio Lawas Medan Beradaptasi dengan Zaman untuk Bertahan

3. Konten pelayanan publik jalan menuju solusi

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On DigitalLukas Bieri dari Pixabay" target="_blank">Pixabay

Perkembangan media yang begitu pesat membuat para pelaku industri radio harus memutar otak. Mereka mencari berbagai cara agar para pendengar tak beralih. Salah satunya seperti dilakukan oleh radio Suara Surabaya. Radio berita terbesar di Jawa Timur ini meramu berbagai strategi mulai dari konvergensi media hingga menyediakan rubrik khusus untuk pendengar muda.

Langkah pertama mereka lakukan adalah melakukan konvergensi media. Konvergensi dilakukan antara lain membuat akun Facebook, Twitter, Instagram, serta aplikasi Suara Surabaya Mobile.

“Kalau secara teknologi, Suara Surabaya terus mengembangkan sesuai dengan kemajuan. Misalnya sekarang pendengar bisa mengakses lewat gadget. Kami juga membuat aplikasi SS Mobile supaya bisa didengar dan dilihat. Karena sekarang Suara Surabaya bukan cuma radio yang bisa didengar, tapi juga dapat dinikmati secara visual," ujar penyiar sekaligus Supervisor New Media Suara Surabaya, Restu Indah, saat dihubungi, Jumat, (20/8/2021).

Langkah lain adalah menyuguhkan konten dan lagu sesuai dengan kaum millennial. Dari sisi konten, Suara Surabaya membahas apa sedang happening di kalangan millenials.  “Misal tips n trick tentang inspirasi bisnis gaya anak muda itu seperti apa. Lalu sebisa mungkin kami memilih narasumber tidak hanya dari pengusaha yang sudah sukses, atau berusia dewasa tapi juga kepada teman-teman yang masih muda,” ucap Restu.

Sedangkan dari sisi lagu, radio sudah mengudara sejak 22 tahun ini akan memanjakan telinga pendengar dengan lagu yang masuk ke dalam kategori Billboard 100 atau tangga lagu yang memiliki banyak listener. “Setiap periodenya kami selalu memiliki analisa mengenai komposisi dari lagu yang diputar. Apakah itu sudah sesuai dengan selera teman-teman milenial atau belum,” sambungnya.

Suara Surabaya, kata Restu, juga tetap fokus pada konten utama mereka, yaitu pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, serta lalu lintas. “Ketika banyak orang yang lapor di Suara Surabaya, kami berpikir untuk bagaimana cara membantu orang tersebut agar mendapatkan solusi. Tidak semua kami selesaikan dengan solusi, tapi paling tidak menemukan jalan menuju solusi,” terang Restu.

Restu mengatakan, Suara Surabaya memiliki prinsip mengembangkan bisnis kemediaan yaitu memperkuat unsur kemanfaatan. Menghadirkan konten yang bermanfaat, Suara Surabaya yakin akan memiliki banyak pendengar.

“Ketika kami memberikan nilai kemanfaatan yang tinggi, kami akan dicari oleh generasi manapun. Bukan hanya dari sisi millenial, namun semua orang yang membutuhkan,” jelas Restu.

4. Tak habis pikir kehadiran Podcast maupun Spotify

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On DigitalGoogle Images

Geronimo FM jadi radio hits di telinga anak muda Yogyakarta sedari 1990-an. Bermula dari Radio Gembel Rapi alias Gemar Belajar Rajin Berpikir hanya mengudara pada gelombang 56 meter. Geronimo terletak di Jalan Gayam nomor 24, menjadi FM pertama di Yogyakarta tahun 1989. Semula frekuensi radio anak muda berada di frekuensi 105,8 MHz, saat ini gelombang radio beralih 106,1 MHz.

Mempertahankan tetap menghibur kanca muda, radio berlogo kepala suku Indian ini menghadapi tantangan yang sama seperti radio lainnya, yaitu proses digitalisasi media.

“Kami gak bisa menghindari era digital. Marah-marah, menolak, gak mungkin. Yang kami lakukan kolaborasi karena ini kan era kolaborasi,” kata Program Director Geronimo FM, Leila Karina saat dihubungi IDN Times, Jumat (20/8/2021).

Ella memaparkan Geronimo yang mempunyai tagline Love Jogja and You tak lagi menjadikan anak usia 15 tahun pendengar setianya. Usia antara 16 26 tahun saat ini menjadi sasaran mereka.   “Anak-anak 15 tahun ini sudah gak dengar radio. Dia pikir radio itu apa kali ya?,” kata Ella.

Dari banyak media sosial yang tumbuh, Ella mengaku tak habis pikir dengan kehadiran Podcast maupun Spotify. “Karena radio itu kan sebenarnya mix antara semacam Podcast dan Spotify itu ya,” kata Ella.

Dia mencontohkan,saat pendengar radio ingin mendengarkan celoteh penyiar, atau talk show dan interview, ada program yang disediakan. Ada juga pendengar yang hanya ingin mendengarkan lagu saja, radio mampu menyediakan program khusus memutar lagu, seperti program Less Talk More Music. Belakangan lahir platform seperti Podcast dan Spotify, seolah menyediakan semua kebutuhan serupa.

“Kadang kami mikir, iki piye yo, keinginan pendengar itu seperti apa?” tanya Ella sambil tertawa.

Sementara tren pendengar pun terus berganti dan bergulir, Geronimo FM berusaha memenuhi keinginan yang tengah jadi tren. “Padahal sebenarnya radio itu all in. Tapi dulu (keinginan) sudah dipenuhi, terus ada platform baru menghilangkan yang lama, dan ada lagi terus,” papar Ella.

Geronimo FM memilih kolaborasi ketimbang menghindari digitalisasi media. Ella memberikan contoh program bincang-bincang dengan artis idola. Di masa lalu, dilakukan melalui sambungan telepon dan menghadirkan narasumber secara fisik untuk on air di studio. Kini dilakukan kolaborasi dengan Instagram untuk ngobrol live dengan si artis. Meskipun cara lama masih juga digunakan.

Di sisi lain, menurut Ella tetap ada manfaat yang bisa didapatkan dari digitalisasi media. Saat pendengar yang ingin mengikuti acara kesayangan di Geronimo FM, kini bisa mendengarkan di mana saja dan kapan saja. Mengingat Geronimo FM telah menjalin kerja sama dengan sejumlah platform untuk streaming.

“Radio cukup tersingkir di nomor kesekian. Jadi kalau kami menolak (digitalisasi media), gak mungkin, harusnya kami bisa memanfaatkan itu,” ucap Ella yakin.

5. Millenials dan generasi Z anggap siaran radio tidak satu frekuensi dengan selera mereka

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On DigitalIlustrasi Radio (IDN Times/Rangga Erfizal)

Radio semakin jarang didengarkan, Penyiar Radio Idola FM, Nadia Ardiwinata pun mengakui, kondisi radio saat ini sangat beragam. Kalau boleh membedakan ada dua kategori, yakni ada radio yang disorientasi dengan perubahan gaya hidup sekarang dan ada terpukul dengan dampak pandemik COVID-19.

‘’Radio yang disorientasi ini karena mereka terkena dampak disrupsi digital. Kalau di Kota Semarang, banyak radio yang dulu pernah hits kini masih terperangkap dengan menyiarkan program-program klasik atau masa lalu. Misalnya, tembang kenangan dan kirim-kiriman salam. Kemudian, juga tidak menyadari semua sudah berubah digital. Sehingga, tidak peka bahwa zaman dan generasi pendengar sudah mengalami perubahan,’’ ungkapnya kepada IDN Times, Jumat (20/8/2021).

Kondisi itu menurut perempuan yang sudah 34 tahun menjadi penyiar radio itu, kini radio dianggap ‘makhluk aneh’ bagi pendengar millenials dan generasi Z. Mereka menganggap siaran radio tidak satu frekuensi dengan selera mereka. Sehingga, mereka memilih ke aplikasi digital seperti Podcast atau streaming, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan entertainment mereka.

Kendati demikian, itu tidak berlaku bagi Radio Idola Semarang. Dalam menghadapi gelombang disrupsi digital, radio berada di frekuensi 92.6 FM itu sudah menyiapkan kapal untuk berlayar di era digital sejak 10 tahun lalu.

Perusahaan media itu mengubah konsep merambah ke media online. Kemudian, memposisikan diri mengubah siaran yang disuguhkan dari sekadar menyajikan lagu-lagu dangdut kini lebih fokus dengan format news and talk.

Nadia yang juga Marketing Director Radio Idola menjelaskan, pihaknya tidak boleh gagap terhadap perkembangan digital sekarang. Maka, dalam 10 tahun terakhir pihaknya berusaha menjawab kebutuhan pendengar dan klien yang beriklan di Radio Idola.

‘’Semua platform sudah kami pakai mulai beralih ke media online dengan punya website portal berita, radio streaming, Podcast, sampai saluran YouTube. Jadi, sekarang gak hanya pakai frekuensi 92.6 FM. Pengiklan pun juga mulai sadar ketika bekerja sama dengan kami tidak hanya mau dengar suara aja, tapi juga mau ada videonya,’’ jelas perempuan berusia 54 tahun itu.

Ia menambahkan, peluang itu semakin digarap tiga sampai lima tahun terakhir melalui radio streaming, Podcast, dan YouTube. Sedangkan, sebagai radio lokal di Semarang bisa dibilang Radio Idola pioneer yang mempunyai portal berita www.radioidola.com sejak 9 tahun lalu.

‘’Kami menyadari di era disrupsi media dan zaman millennial ini yang paling mahal adalah perhatian. Maka, untuk mendapat atensi itu perlu inovasi dengan telaten di setiap siaran kami masukkan ke YouTube, kami bagikan juga ke klien,’’ tuturnya.

Dengan demikian, sekarang di studio tidak hanya ada mesin mixer dan mikrofon tapi juga ada kamera. ‘’Jadi, perubahan bagi penyiar radio kalau dulu siaran pakai baju jelek dan gak dandan nggak masalah, kini karena ada kamera video harus tampil lebih baik," jelasnya.

"Dulu kan pendengar juga mudah tertipu tuh suaranya bagus pasti wajahnya cakep nih. Sekarang bisa kelihatan suara gimana wajah gimana. Sekarang orang juga tidak bisa berimajinasi. Sebab, karakteristik radio tidak kelihatan lagi,’’ imbuh Nadia.

Baca Juga: Radio di Balikpapan akan Bertahan  dengan Manfaatkan Digital

6. Dulu analog kini digital

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On DigitalKamu bisa mendengarkan podcast, radio, musik, dan berita di TuneIn Radio. (getconnectedmedia.com)

CEO Momea 104,2 FM Palembang, Asrul Indrawan mengatakan, sejak awal Februari 2020, atau satu bulan sebelum pandemik COVID-19 terjadi, pihaknya resmi mengumumkan Momea FM vakum. Saat itu, mereka  memutuskan vakum karena izin siaran radio habis. Barulah pada 26 April 2021, mereka kembali mengudara untuk menyapa pendengar setianya.

"Radio ini cukup besar dengan pendengar anak muda. Banyak tantangan industri radio terutama di tengah pandemik. Kita harus menyesuaikan dengan kemajuan zaman dengan memaksimalkan medsos seperti Instagram dan YouTube hingga Podcast. Rata-rata follower media sosial kita adalah penggemar," ujar dia.

Menurut Asrul, tantangan industri media saat ini berada dalam gempuran medsos. Namun hal itu tidak menyurutkan mereka tetap bertahan. Radio pun bertransformasi ke era digital, sehingga pihaknya menampung animo penggemar yang berbeda dari 20 tahun silam.

"Dulu analog sekarang digital, kita harus berubah. Bagaimana kita memahami era ini, tetap anak muda adalah pasar pendengar. Kita harus mengimbangi dengan medsos. Kalau tidak, kita akan hilang dan kalah. Dengan adanya medsos kita akan didengar," jelas dia.

Pada masa-masa awal vakum, banyak pendengar yang bertanya mengenai kondisi Radio Momea. Tak sedikit pendengar setia mereka mendatangi studio di Jalan Sumpah Pemuda, Palembang, untuk menanyakan statusnya. Vakum lebih dari setahun memengaruhi trafik penggemar di awal aktif kembali.

Namun tak lama, trafik yang tadinya turun langsung melesat dan menjadi radio dengan trafik tertinggi di Palembang saat ini. Momea yang kini aktif disambut masyarakat terutama penggemar setianya.

"Kita coba kembangkan Podcast dan YouTube, dan saat ini sudah membentuk tim. Ini membuat kita terhubung dengan pendengar setia. Saat ini kita tertinggi secara trafik, bersaing dengan Trax FM," jelas dia.

Asrul juga menjelaskan, usia Momea 104,2 FM ke-28 tahun kini berbenah. Jika sebelumnya manajemen radio dikelola keluarga, maka saat ini lebih profesional. Dirinya mendapat kepercayaan untuk mengelola radio agar bisa bekerja lebih optimal.

"Kita bahkan bisa didengar melalui handphone lewat aplikasi Radio Box. Jadi radio kita bisa didengar oleh pengguna IOS maupun Android dari handphone. Tidak hanya berkendara, saat bekerja pun saat ini lebih praktis," ujar dia.

Momea FM tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai radio kawula muda Palembang. Jika sebelum pandemik pihaknya rutin melakukan off air, maka saat ini pihaknya tetap menjaga hubungan dengan melakukan talk show mengundang pembicara.

Mereka yang dihadirkan rata-rata orang berpengaruh terhadap hobi anak muda seperti tokoh olahraga, otomotif, dan sosial. Perombakan Sumber Daya Manusia (SDM) pun dilakukan untuk menghadirkan penyiar-penyiar baru bertalenta.

"Ke depan saya pikir radio tetap akan eksis. Sebab para pekerja dan pelajar, akan keluar rumah dan masih mencari lagu. Pilihannya tetap radio. Eksistensi radio masih bertahan jika berkolaborasi dengan medsos," kata dia.

7. Platform digital memudahkan promosi?

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On Digitalbusinessworld.in

Industri radio masih bisa bertahan di sejumlah daerah, salah satunya di Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim). Sebut aja Radio Onix, SmartFM, KPFM, IDC, Gemaya dan lainnya, masih dapat dinikmati hingga kini.

CEO Onix Radio Balikpapan, Krishna Galih Mahendra Putra mengatakan, Onix Radio berdiri sejak 2011 berupaya mengakomodasi pendengar di semua usia. Juga terus melakukan penyesuaian terhadap perkembangan zaman.

Pria ini yakin keberadaan media digital jadi motivasi untuk berinovasi.  "Sekarang gak lagi cuma siaran aja, tapi ada juga yang kami kembangkan. Siaran tapi menggunakan visual juga. Makanya di era seperti sekarang, kami susah gak, gampang juga gak," kata Krishna.

Adanya tayangan secara visual bisa mengarahkan publik untuk mendengarkan siaran radio tersebut. Dan saat ini program Onix  terus mengembangkan secara visual.  "Kita setiap siaran pun mengajak audience untuk menyaksikan kita di YouTube ataupun Instagram," jelasnya.

Krishna membeberkan, dua segmen Onix yang memiliki cukup banyak pendengar adalah program Onix Pagi-Pagi dan Radio Sore. Dua segmen yang jadi teman berangkat dan pulang kerja.

Onix memiliki cukup banyak segmen usia, 17 hingga 45 tahun. Menurutnya, cara menarik perhatian anak muda adalah melalui sosial media. Sementara untuk menarik perhatian pendengar usia lanjut, ada segmen yang menampilkan lagu-lagu klasik.  "Bahkan pendengar biasa sampai usia 50 tahun," katanya.

Menurutnya, jika ada anggapan bahwa radio itu "mati segan hidup tak mau", ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Karena saat ini radio masih cukup banyak pendengarnya.

"Saya tanya ke mereka, di mobil dengarkan apa? Sebenarnya masih cukup banyak pendengar, terutama yang secara rutin menggunakan mobil," katanya.

Menurutnya, kendati banyak yang mempertanyakan eksistensi radio, secara tidak sadar banyak juga orang menjadi pendengar setia radio.

Maraknya media digital, diakuinya sempat mengancam keberlanjutan industri radio. Namun pada prosesnya menjadi sebuah keuntungan karena platform digital memudahkan promosi-promosi.

"Pada akhirnya malah terbantu juga dengan platform digital. Setelah diskusi malah itu kami jadikan salah satu tambahan," jelasnya.

Kehadiran radio pun menurut Krishna, sebenarnya ingin menjadi salah satu cara untuk menjembatani masyarakat dengan pemerintah atau banyak pemangku kepentingan. Selain mereka juga bisa mendapatkan hiburan dan edukasi.

8. Pendapatan turun selama pandemik, pangkas gaji karyawan

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On DigitalIlustrasi gaji (IDN Times/Dok)

Sebagai radio yang sudah memasuki usia ke-51, Dahlia FM sama dengan radio lainnya memang mengalami penurunan pendapat selama pandemik COVID-19. Pemangkasan gaji pun dilakukan manajemen agar radio ini tetap hidup dan hadir di tengah kegiatan masyarakat.

Meski kondisinya saat ini tidak menentu dalam bisnis radio, PR and Marketing Coorporate Dahlia Fm, Didan Pellani menilai, lembaga penyiaran ini akan tetap hidup. Sebab jumlah pendengar radio sebenarnya terus bertambah baik di kalangan atas atau menengah ke bawah.

Khusus untuk radio Dahlia FM, lanjut Didan, masih optimistis terlebih frekuensi ini menjadi pilihan nomor satu untuk masyarakat di pedesaan, tidak hanya perkotaan. Di desa banyak warga yang kurang memiliki keinginan untuk bermain medsos. Justru mereka lebih nyaman mendengarkan radio.

"Karena Dahlia ini fokus di musik dangdut, ini sekarang naik lagi. Dulu orang dengarkan lagu barat, sekarang malah merambat ke dangdut lagi. Tiktotan saja ke dangdut," paparnya.

Dia yakin dengan beragam terobosan yang dilakukan maka lembaga penyiaran audio bisa tetap eksis meski banyak platform lain yang menawarkan kecanggihan dalam mendapatkan informasi.

Baca Juga: Romantisme Era Radio; Menjadi Gaul, Cari Jodoh, dan Disrupsi Digital

9. Bisa eksis karena konsisten mempertahankan konten lokal

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On Digitalmaccanews.com

"105,9 FM, Gaya Makassar Ada di Sini..."

Begitulah kira-kira kalimat pembuka Radio Gamasi menyapa para penikmat atau pendengar setianya. Berdiri sejak 1980-an silam, radio yang dianggap sebagai 'legenda udara' di Makassar ini masih dicintai masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar.

IDN Times mendapat kesempatan untuk berbincang langsung dengan salah satu penyiar senior sekaligus awak utama dari radio legenda ini. Dia adalah Citra Nawir. Dia menceritakan bagaimana radio tempatnya bekerja bertahan di tengah gempuran teknologi.

"Kita mungkin masih bisa eksis sampai sekarang karena kita konsisten mempertahankan konten lokal," kata wanita akrab disapa Indo Sitti ini di sela tugasnya siaran, Jumat (20/8/2021).

Konten lokal, yang berlatar belakang budaya khas Sulsel menurut Citra sangat mudah teridentifikasi. Salah satu yang menjadi ciri khas Gamasi adalah mempertahankan dialek dalam pola interaksi dan komunikasi masyarakat sehari-hari. Pendengar atau yang biasa disebut sebagai Sambalu Gamasi, bisa mudah mencerna setiap perbicangan disemua program acara lewat bahasa 'pasar'.

"Dari awal memang kita condong dengan budaya kita. Istilahnya kalau mau tahu banyak tentang Sulsel, atau Makassar, bisa lewat Gamasi. Pandangan itu yang kita bangun dari awal dan alhamdulillah bisa bertahan sampai sekarang. Sambalu (pendengar, penikmat) juga masih setia sampai sekarang," jelasnya.

Di sisi lain, Citra tak menampik, di tengah arus informasi yang berkembang begitu pesatnya, radio perlahan mulai tidak begitu diminati. Namun, dengan semangat dan konsistensi mempertahankan tekad awal, Gamasi membuktikan asumsi itu keliru.

"Dan alhamdulillah, iklan-iklan masih ada saja terus. Artinya kita masih dipercaya masyarakat begitu, kira-kira," ucapnya.

Citra mengungkapkan, sangking diminatinya, Gamasi dapat dengan mudah mengidentifikasi para pendengarnya. Setiap program acara katanya, beda juga pendengarnya. Dari sekian banyak program unggulan Gamasi, salah satu yang paling dinantikan pendengar adalah Baruga Makassar.

"Kalau pagi juga suguhan acaranya kita ada membahas obat-obatan tradisional," ujarnya.

Kemudian lanjut Citra, Gamasi juga tetap konsisten menyajikan siaran musik dan hiburan bagi para pendengar setianya, terutama kaum dewasa muda. Selain program hiburan, Gamasi juga menyiarkan berita dan program informatif lainnya. Salah satu hiburan bagi masyarakat yang sering digaungkan di Gamasi adalah musik dangdut.

Gamasi berupaya meretas stigma dangdut, adalah selera musik kelas kampung. "Zaman sekarang ini dimana ada radio-radio yang putar dangdut kecuali Gamasi yah. Kalau dulu orang bilangkan kampungan. Tapi sekarang dangdut tidak lihat begitu lagi. Dangdut sudah menyentuh semua lapisan bahwa generasi muda millennials," imbuhnya.

Lebih lanjut kata Citra, kerja keras, semangat dan konsistensi itulah yang membuat radio yang kini berusia 47 tahun ini bisa eksis dan dinantikan masyarakat setiap harinya.

10. Segmen kelas menengah turun 50 persen

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On DigitalPexels.com/Kuncheek

Penanggung Jawab Radio MNC Trijaya Medan FM, Iskandar, menanggapi menyampaikan, berdasarkan riset Nielsen dari segi audiens radio, angkanya masih bagus pada tahun 2021. Namun, dari sisi profit, dampak dari COVID-19 itu sangat besar.

"Banyak sektor terdampak, bukan hanya stasiun radio dan beberapa industri radio itu tutup siaran. Nah, dari sisi audiens, ada penurunan tapi tidak begitu besar," ujarnya.

Hal itu, kata Iskandar, dilihat dari jumlah pendengar kelas menengah yang lebih banyak waktunya di sosial media. Tapi kalau segmen bawah masih besar. Makanya rating untuk radio di beberapa daerah itu segmen menengah bawah masih besar.

Iskandar bilang, tantangan industri radio saat ini adalah bagaimana radio harus bisa beradaptasi di era digital. Menurutnya, radio tidak hanya di frekuensi analog tapi harus bermain di digital, streaming, situs, dan sosial media.

"Kalau saat ini, tantangan untuk radio itu bagaimana dia mix dengan digital. Jadi tidak hanya sebatas audio, tapi juga visual dan infografis. Itu yang harus disesuaikan dengan situasi saat ini," ujarnya kepada IDN Times, Jumat (20/8/2021).

Iskandar menjelaskan, secara garis besar penurunan pendengar masih tidak terlalu besar untuk radio. Terutama untuk kelas bawah. Tapi untuk segmen kelas menengah terjadi penurunan 50 persen.

"Strateginya pemanfaatan sosial media. Pemirsa harus membuka ruangnya, jadi membuka ruang partisipasi pemirsa dengan membuka ruang interaktif. Maupun komentar-komentar interaktif yang membuat para pendengar itu terlibat. Misalnya melibatkan pendengar melaporkan peristiwa on the spot."

Iskandar mengatakan, meningkatnya pengguna sosial media, berpengaruh kepada sejumlah pendengar di radio. Waktu untuk mengakses media itu tidak lagi didominasi media mainstream. "Kalau dahulu, kebanyakan waktu untuk mengakses media lebih banyak di surat kabar, radio dan televisi, namun sekarang di sosial media. Inikan menyangkut perilaku mengakses media, kita mengalami perubahan drastis," tuturnya.

Melihat kondisi radio saat ini, Iskandar berharap kepada pemerintah, regulasi tentang penyiaran harus benar-benar dijalankan. "Tidak hanya sebatas regulasi perizinan tapi bagaimana mendukung kembali industri radio, karena sektor ini juga banyak menyerap tenaga pekerjaan. Karena sektor ini juga berdampak juga di tengah pandemik COVID-19," tukasnya.

Rini Aprianti, Divisi program Sonora Medan FM, juga menanggapi hal serupa dengan Iskandar. Adanya sosial media dapat memengaruhi para pendengar radio.

"Dulu radio boleh anggap remeh dengan sosial media. Namun, melihat kondisi pengguna digital yang semakin meningkat, kita melakukan kolaborasi seperti streaming lewat YouTube, programnya kita naikkan juga ke sosial media," ujarnya kepada IDN Times, Sabtu (21/8/2021).

Selain itu, semakin banyak bermunculan citizen jurnalis yang bertebar di sosial media menjadi tantangan tersendiri bagi industri radio.  "Sekarang bisa dengar radio lewat handphone, kemudian banyak juga citizen jurnalis. Namun, itu jadi tantangan karena kita cek lagi kebenaran fakta di lapangan," tambahnya.

Ia menyampaikan, kondisi radio lokal saat ini kebanyakan sudah mengkhawatirkan, banyak iklan berkurang. Banyak yang diialihkan karena adanya pandemik COVID-19.

"Agak susah cari iklan karena perusahaan banyak cari CSR untuk pandemik COVID-19. Tapi ini menjadi tantangan juga karena harus kolaborasi dengan CSR perusahaan. Kemudian, kita di radio ini biasa kerja dengan agency. Nah di awal pandemik COVID-19, agency banyak yang tutup. Radio lokal dan radio jaringan kondisinya sama," cerita Rini.

Ia berharap agar pemerintah menjalankan regulasi, untuk lebih memperhatikan streaming dan podcast.

"Kalau kita kan biaya operasional dan pajak, tapi kayak Podcast itu diawasi pemerintah gak? Ini juga mempersulit kita punya pendengar. Kita kan punya pendengar dan iklan, kalau radio punya pendengar maka kita punya iklannya banyak. Gimana kita mau cari iklan kalau pendengarnya berkurang atau bahkan gak ada," kata Rini.

11. Menjadi penyiar tak semudah dibayangkan

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On Digitalpenyiar Radio asal Bandung, Ealsya Sejuk Prosapuri (Dok.IDN Times/Ealsya)

Ealsya Sejuk Prosapuri (36) sudah 10 tahun menjadi penyiar OZ Radio Bali. Selain berbekal suaranya yang merdu, Ealsya sejak kecil suka mendengarkan radio. Ia memiliki penyiar favorit kala itu, yaitu Akay dari 99ers radio 100FM Bandung. Lalu ada Andhara Early, Inge Bahren, Cia Ariasa dari OZ Radio Bandung. Ia ingin menjadi seperti idolanya. Keinginan tersebut terus dipupuk bersama dukungan kedua orangtuanya.

Pada tahun 2003, orangtuanya mengizinkan dia belajar broadcasting lebih dulu di Kota Bandung selepas pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian baru melanjutkan kuliah di Universitas Udayana (Unud) Jurusan D3 pariwisata Budaya. Ealsya lulus pada tahun 2007.

“Yang mendasari saya ingin bersiaran adalah karena memang saya sejak kecil suka dengerin radio dan anaknya lumayan obsesian. Jadi kala itu saya sudah punya penyiar favorit dan dalam hati pernah bilang suatu saat saya yang akan duduk di situ, bersiaran. Orangtua saya mendengarkan, dan ternyata semesta mendukung,” kata Ealsya.

Ealsya pertama kali menjadi penyiar radio pada tahun 2004-2005 di Cassanova 102FM Bali. Sembari kuliah, ia melakukan siaran. Namun itu tak bertahan lama. Pada tahun 2005, ia sempat berhenti karena memilih fokus untuk keluarga kecilnya. Lalu mencoba peruntungan sebagai pekerja kantoran, dan menggeluti bisnis online berupa catering di akun Instagram @dapur_mamaca.

Lama vakum sebagai penyiar radio, tahun 2011 kembali siaran di OZ Radio Bali 101,2FM sampai sekarang. Ia mengaku mengalami semacam true calling untuk kembali siaran.

“Karena senior saya sempat bilang, jika sudah suka dunia radio akan dapat kutukan, susah untuk berhenti, dan betul. Saya bersiaran kembali dari tahun 2011 sampai sekarang."

Menjadi penyiar radio ternyata tak semudah yang dibayangkan. Banyak tantangannya. Misalnya tes wawasan, pengetahuan musik, bahasa Inggris, hobi yang menunjang, dan lainnya. Belum lagi banyaknya persaingan juga semakin memperberat proses seleksi.

“Ketika diterima pun, saya kala itu harus training siaran sekitar tiga bulan untuk belajar soal teknik bersiaran yang benar, dan bersiaran dengan nama palsu sesuai angkatan. Sampai akhirnya kita dinyatakan diterima sebagai penyiar resmi,” cerita ibu dua anak ini.

Ealsya mengakui, perilaku dan kebiasaan mulai berubah seiring berjalannya waktu. Dari yang tadinya suka mendengarkan radio konvensional, dan kini beralih ke platform musik digital. Ia dituntut untuk lebih kreatif kala siaran berlangsung. Membuat insert dan gimmick yang menarik agar OZzers (Sapaan pendengar Oz Radio Bali) tetap betah mendengarkan, serta tidak bosan.

“Orang mendengarkan radio sekarang ini ya, kalau tidak di mobil, ya di-link streaming radio kami. Biarpun beberapa orang masih mendengarkan radio dengan konvensional, penyiar radio terutama saya pribadi harus lebih kreatif. Bersiaran lalu interaksi dengan pendengar seperti kuis dan lain-lain di medsos radio seperti IG (Instagram), Twitter, WA (WhatsApp), YouTube, dan TikTok,” jelasnya.

Salah seorang penyiar radio Onix yang masih aktif Rega mengatakan, pilihan profesinya memang unik. Penyiar radio adalah menjadi sebuah passion dan hobi.

Menjadi broadcaster, dirinya tak pernah puas dan terus berusaha belajar. Kendati diakuinya ada saja tantangan, namun yang mesti dilakukan adalah terus mengasah kreativitas dalam keadaan apa pun.

"Dan yang pastinya untuk menjalin chemistry antara penyiar dengan pendengar, beberapa hal yang bisa disiapkan seperti referensi yang baik. Yang terpenting adalah memberi atmosfer positif dan fresh untuk pendengar," ujarnya.

Optimisme serupa juga disampaikan penyiar Radio Suara Samarinda FM Tiya Ningsi menghadapi kemajuan teknologi informasi. Inovasi harus terus dilakukan agar media radio bisa tetap menjadi pilihan.

Tiya mencontohkan profesinya sebagai penyiar radio. Sebagai orang terdepan berinteraksi dengan pendengar, menurutnya, penyiar radio harus mampu menjaga pendengar agar tetap stay tune di chanelnya. Kuncinya, terus berinovasi serta tidak takut mencoba hal-hal baru.

Termasuk untuk selalu melek isu, tren terkini hingga tidak kikuk akan perbendaharaan bahasa gaul anak muda zaman sekarang.  Strategi ini akhirnya menjadikan penyiar radio bersuara lembut ini diterima pendengar di Samarinda.

“Meski zaman ini sudah semakin canggih, saya yakin kok, radio masih sangat digandrungi. Dan pendengarnya juga setia sekali,” tuturnya.

12. Pengelola station radio kini perlu mengedepankan sisi kreativitas

Kabar Radio di Daerah, Sempat Hits, 'Mati Suri' Kini Move On Digitalokezonenews.com

Sarana penyiaran radio pernah jaya di masanya. Tetapi seiring kemajuan zaman, media informasi dan hiburan jadul ini harus mampu berkompetisi di era millennials. Meskipun begitu, eksistensi industri radio masih memperoleh tempat di Kalimantan Timur (Kaltim).

Setidaknya itu yang diyakini Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kaltim Yovanda. Ia mengatakan, media radio masih jadi pilihan bagi masyarakat. Terbukti, saat ini masih ada 45 perusahaan radio komersial dan komunitas yang tetap eksis di Kaltim.

“Semua radio ini masih eksis, mereka masing-masing punya pendengar setia. Dan 45 perusahaan radio itu, terdaftar di KPID,” ungkap Yovanda.

KPID Kaltim menyatakan, industri radio berada dalam puncak kejayaan tahun 2003 hingga 2005 silam. Di saat itu, menurut Yova radio menjadi sarana informasi paling memperoleh tempat baik di kalangan remaja maupun para generasi tua.

“Dulu di Kaltim, ramai sekali. Anak muda ponselnya tersemat fitur radio. Saya juga begitu. Tapi semakin ke sini, terganti sama suguhan media digital. Bahkan channel radio kegemaran saya juga sudah tidak ada. Mungkin merubah gaya juga,” sebutnya.

Hingga berjalannya waktu tepatnya tahun 2007, Yova mengakui mulai terjadi perubahan drastis sektor digital informasi di Benua Etam. Radio menjadi salah satu sarana informasi yang terdampak langsung pengembangan zaman tersebut.

“Kondisi radio memang saat ini memang memiliki tantangan besar. Sebab, orang sudah jarang mendengar radio. Apalagi dengan adanya Podcast, medsos, YouTube, dan televisi," paparnya.

Meskipun termasuk penikmat radio, Yova menyaksikan beberapa stasiun radio terpaksa gulung tikar karena kehilangan pendengar. KPID Kaltim mencatat masih tersisa sebanyak 9 stasiun radio komunitas mampu bertahan, sisanya adalah radio komersial.

“Radio komunitas ini tentu masih hits di telinga pendengarnya yang rata-rata anggota komunitasnya. Ada juga pendengar yang kebetulan menyukai penyiarnya," sebutnya.

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPDI) Jawa Barat (Jabar) Achmad Abdul Basith menuturkan, jumlah pendengar radio di Jabar, khususnya di Kota Bandung masih tinggi. Menurutnya, dari data yang dihimpun KPID Jabar jumlah warga yang mendengarkan radio tinggi di angka 80 persen. Namun, data ini belum menjabarkan berapa lama setiap orang tersebut mendengarkan radio setiap harinya.

Meski demikian, presentase ini menjadi prestasi yang baik untuk lembaga siaran audio tersebut. Terlebih di saat menjamurnya media sosial, radio masih memiliki tempat di hati masyarakat.

"Radio ini tahan banting karena sejak awal kemunculannya ada beberapa masa di mana datang televisi, internet, media online, hingga media sosial, radio tetap bisa eksis," ujar Basith ketika berbincang dengan IDN Times, Jumat (20/8/2021).

KPID Jabar mencatat jumlah kanal radio di Kota Bandung mencapai 54. Terdiri dari 48 radio swasta, 2 radio komunitas dan 4 radio publik. Jumlah radio yang eksis di Bandung selama ini tidak pernah berkurang. Hanya saja frekuensi radio tersebut kerap berpindah tangan tergantung kondisi manajemen radio.

"Kita lebih dari 50 radio ada di cekungan Bandung. Secara jumlah frekuensinya tidak ada berkurang," ungkap Basith.

Jumlah frekuensi ini, lanjutnya, termasuk paling padat di satu kabupaten/kota. Itu tidak terlepas dari sejarah radio di Bandung yang ada di Malabar (Kabupaten Bandung)," ungkap Basith. Saking eksisnya radio di Kota Bandung, Pemkot Bandung bahkan sampai membuat taman radio yang berada di pertigaan Jalan Ir H Djuanda (Dago) dan Jalan Ranggagading.

Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Lampung, Sunarminto menyebut, kehadiran radio di masa sekarang lebih dikesampingkan. Itu lantaran masyarakat umumnya lebih menikmati berselancar di media sosial (medsos).

Dipicu ditinggal pendengar imbuhnya, kondisi ini ikut berdampak terhadap sumber pemasukan dari sisi iklan. Pasalnya, para pengiklan lebih memilih memasarkan produknya via medsos dibandingkan radio.

"Sebelumnya ada televisi, tapi sekarang sudah ada Instagram, Facebook, dan lain-lain. Akhirnya, kita mencari jalan agar radio bisa tetap survive di tengah gempuran dunia digitalisasi," ujarnya.

Guna menutup biaya operasional agar 'dapur' tetap ngebul, stasiun-stasiun radio mencoba peruntungan lain yaitu, menawarkan sekaligus menjual obat-obatan produk herbal. "Ini cukup efektif, sudah berjalan jauh sebelum pandemik dan bukan cuma di Lampung, tapi juga di radio luar daerah lain," sambung dia.

Menurut Sunarminto, para pengelola station radio kini perlu mengedepankan sisi kreativitas. Hal tersebut bisa bersumber dari segi apapun. Contohnya, menawarkan produk herbal di siaran radio.

"Kita dipaksa mencari cara untuk tetap radio bisa berjalan, yang penting bisa mendatangkan income halal. Media radio bukan untuk menunggu gawang saja, karena ini tidak akan membuat hidup," ucapnya.

Ke depan, ia pun berkeyakinan dunia radio akan terus ada dan mengudara dalam kurun waktu cukup lama. "Radio bakal tetap berjalan dan harus jalan," kata Sunarminto.

Alih-alih merugi dengan hadirnya pandemik COVID-19, Sunarminto menyampaikan, justru pandemik menghadirkan hikmah tersendiri untuk geliat dunia radio di Tanah Air, khususnya Provinsi Lampung. Itu dikarenakan tren positif ditunjukan dari sisi pendengar.

"Kalau dari hasil survei Nielsen, pendengar radio justru semakin meningkat, karena orang lebih banyak di rumah, sehingga membutuhkan banyak hiburan," imbuh dia.

Tim Penulis: Tama Wiguna, Jovanka Okta, Pito Agustin Rudiana, Anggun Puspitoningrum, Rangga Erfizal, Fatmawati, Sri Wibisono, Debbie Sutrisno, Ayu Afria Ulita Ermalia, Sahrul Ramadan, Masdalena Napitupulu, Muhammad Iqbal. 

Baca Juga: Dulu Akrab di Telinga Pendengar, Apa Kabar Radio Hits Bandar Lampung? 

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya