Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini Terabaikan

Indonesia memiliki banyak bangunan bersejarah

Bandar Lampung, IDN Times – Negara Indonesia memiliki banyak bangunan bersejarah kala perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Bangunan itu ada yang didirikan masyarakat lokal atau dibangun oleh negara kolonial seperti Belanda dan Jepang pernah menjajah bangsa ini .

Bangunan bersejarah di berbagai daerah di Indonesia saat ini ada yang masih kokoh berdiri dan dimanfaatkan, hingga menjadi cagar budaya. Tapi banyak juga kondisinya terabaikan, beralih fungsi, hingga dimiliki pihak perseorangan

Pengamat bangunan bersejarah Lampung sekaligus Ketua Komunitas Lampung Heritage, Teguh Prasetyo, menerangkan, Bandar Lampung dan kabupaten/kota lainnya hingga berbagai daerah di Indonesia sejatinya memiliki banyak bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda dan Jepang. Tapi sayangnya, banyak yang tak terjaga dan terawat. Bahkan tak sedikit yang sudah dihancurkan. “Sayang banget. Padahal bila itu terjaga, akan sangat indah dengan bangunan-bangunan lamanya serta bisa jadi warisan bagi generasi saat ini,” ujarnya, Jumat (16/8/2020).

Terkait bangunan bersejarah itu diketahui kaum milenial atau Gen Z menurutnya lebih banyak tak diketahui. Merujuk kondisi bangunan bersejarah yang terlupakan menurutnya, butuh itikat dari pemda untuk melestarikan dan menjaga bangunan bersejarah. Salah satu yang bisa dilakukan bila bangunan itu belum jadi cagar budaya adalah, segera membuat tim yang mengupayakannya jadi cagar budaya. Tujuannya, bila bangunan itu milik pribadi atau perseorangan, sang pemilik tetap menjaga bangunannya.

“Karena ada UU yang mengatur. Pemda juga tentunya wajib membantu, karena merawat bangunan tua tentu tak mudah dan tak murah. Selain itu pemda juga bisa melibatkan pihak swasta untuk pembiayaannya dengan CSR-nya. Ini juga bisa dilakukan untuk melakukan revitalisasi bangunan itu sendiri. Sehingga akhirnya bangunan bersejarah itu bisa terjaga dan dikenal orang,” papar Teguh.

Ia juga berharap, agar pemda lebih perhatian dengan bangunan bersejarah. Adanya kepedulian, maka akan terjaga dan terawat bangunan bersejarah. “Selain itu, pemda baik itu pemprov dan pemkot sepertinya harus mulai menggali lagi data-data bangunan bersejarah dan tua di sini, agar bisa terarsip dengan baik,” ujar Teguh.

1. Warenhuis, supermarket pertama di Kota Medan direncanakan jadi cagar budaya, pemilik bangunan klaim jadi ahli waris

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanGedung tua Warenhuis (IDN Times/Prayugo Utomo)

Bangunan itu masih kokoh berdiri di Jalan Ahmad Yani, Kota Medan. Dua tugu di bagian depan masih menjulang menantang ke arah jalanan. Meskipun, di beberapa bagian sudah mulai kupak-kapik. Bahkan, di dalam bangunan sudah banyak bagian yang dirobohkan. Warga Kota Medan menyebut bangunan ini Warenhuis.

Konon, itu adalah salah satu bangunan peninggalan era kolonial dibangun 1916 silam oleh tangan dingin arsitek asal Jerman G Bos. Setelah rampung dibangun, Warenhuis diresmikan 1919. Peresmian dilakukan oleh Daniel Baron Mackay, Wali Kota Medan saat itu. Artinya, saat ini Warenhuis sudah berusia 103 tahun.

Statusnya sebagai supermarket pertama, Warenhuis menandai perkembangan perekonomian era modern di Kota Medan. Lokasinya dekat dengan jalur perdagangan juga semakin menguatkan. Warenhuis menjual berbagai macam barang mulai dari makanan, sandang hingga perlengkapan elektronik.

Beberapa waktu lalu, IDN Times berkesempatan mengeksplore lebih jauh bangunan Warenhuis. Mulai dari luar hingga detil bagian dalam. Di dalam gedung ternyata cukup banyak ruangan seperti gerai-gerai. Bangunan dibuat dua lantai. Plafonnya terbuat dari kayu yang cukup kuat. Meski sudah berusia 100 tahun lebih, kayu-kayunya masih sangat kokoh.

Namun yang menarik perhatian adalah bungker yang ada di dalam Warenhuis. Bungker itu dipergunakan untuk menyimpan stok barang. Konon, bungker itu langsung tembus ke  dermaga yang ada di Sungai Deli. Namun sayangnya bungker itu kini sudah ditutup. Sehingga sulit untuk membuktikan cerita yang beredar.

Eksistensi Warenhuis mulai meredup sejak Jepang masuk ke Kota Medan. Warenhuis diperkirakan bertahan 23 tahun. Sekitar 1942 pemiliknya kembali ke Belanda. Karena Medan mulai tidak kondusif. Bangunan itu masih eksis hingga kini. Warenhuis selalu menjadi pilihan para fotografer sebagai spot foto. Mereka memanfaatkan struktur bangunan tua menjadi sudut menarik foto pre wedding bertema vintage atau modelling meski kondisi gedung memprihatinkan.

Terkini, pemberitaan soal Warenhuis menghangat. Bangunan itu dibersihkan Pemkot Medan karena masuk dalam aset heritage dan direncanakan menjadi cagar budaya. Namun di sisi lain, ada juga yang mengklaim sebagai ahli waris dan memiliki bukti kepemilikan bangunan.

Erond L Damanik dari Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Sosial Universitas Negeri Medan (PUSSIS-Unimed) beberapa waktu lalu berharap, bangunan itu dipertahankan bentuknya karena sebagai salah satu ikon di Kota Medan. “Perlu ada kajian untuk itu. Justru harusnya, kalau masih bisa direvitalisasi yah kenapa tidak. Itu dulu menjadi pusat perdagangan Kota Medan. Dengan statusnya sebagai supermarket pertama Kota Medan. Punya jejak historis yang tinggi. Karena menandai era ekonomi modern di Kota Medan. Kalau itu diruntuhkan, berarti menghapuskan nilai sejarahnya,” katanya.

2. Pasar Cinde, dulu lokasi pertempuran lawan Belanda, kini bangunan lama diruntuhkan dibangun hunian apartemen dan pasar modern

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanIlustrasi bangunan pasar Cinde lama (IDN Times/Istimewa)

Kawasan Cinde terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Palembang menjadi satu di antara banyak tempat bersejarah. Jika masa kini dikenal sebagai Pasar Cinde dan bakal berubah menjadi pusat perbelanjaan, dahulu kawasan tersebut merupakan bagian dari struktur kota pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Di lokasi ini, terdapat makam Sultan Palembang pertama, Susuhunan Cinde Welan atau Cinde Balang alias Sultan Abd ar-Rahman berkuasa sejak 1662-1702.

"Kawasan Cinde sebelum jadi pasar, awalnya adalah komplek pemakaman Sultan Palembang dan zuriatnya. Hingga saat ini makam itu berada di sana, terletak di belakang Pasar Cinde adalah makam Sultan Abdurahman dan di depannya makam Raden Nangling," ungkap Sejarawan Sumsel, Kemas Ari Panji kepada IDN Times, Jumat (14/8/2020).

Saat masa kesultanan, peziarah harus melalui aliran Sungai Tengkuruk untuk menuju kawasan Cinde. Daerah itu dikhususkan untuk makam Sultan Palembang dan keturunannya. Setelah Belanda masuk, kawasan Cinde mulai dilirik sebagai wilayah strategis.

Kawasan Sungai Tengkuruk mulai ditimbun oleh Belanda pada tahun 1929-1930 untuk dijadikan jalan raya. Saat itu pembangunan jalan dimulai dengan menutup anak Sungai Musi, mulai dari kawasan Masjid Agung Palembang hingga Simpang Charitas sepanjang 1,3 kilometer.

Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Cinde sempat menjadi lokasi bertempur pejuang di Palembang melawan Belanda. Sepanjang Jalan Sudirman Palembang, terjadi pertempuran Lima Hari Lima Malam yang menjadi ikonik sejarah perang kemerdekaan di Kota Pempek. "Kawasan Cinde itu menjadi tempat berperang antara rakyat Palembang dengan Belanda. Jalan dari Masjid Agung Palembang sampai Simpang Charitas tempat lalu lalang tentara Belanda. Mereka kerap dihadang dan ditembak oleh oleh orang-orang kita," ujar dia.

Perang Lima Hari Lima Malam pecah karena Belanda melanggar garis demarkasi yang ditentukan di kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang. Pertempuran terjadi pada 1-5 Januari 1947. Tokoh-tokoh penting dalam perang terlibat seperti Panglima Divisi Garuda II Bambang Utoyo dan Dr. A.K. Gani.

Menurut Panji, Pasar Cinde memiliki kelebihan karena arsitektur yang mirip dengan pasar Johar di Semarang, yang dirancangan arsitek Herman Thomas Karsten. Bangunan Pasar Cinde dibuat meniru gaya arsitektur Herman Thomas dengan tiang-tiang Cendawan yang menjadi khas. Pasar ini dibangun pada masa Wali Kota  Palembang, Ali Amin, sekitar tahun 1957-1958 oleh arsitek Abikusno Tjokrosuyoso.

Pasar Cinde termasuk bangunan tua di Palembang sehingga masuk ke dalam kawasan Cagar Budaya di Palembang. Peneliti dari Balai Arkeologi Sumatra Selatan (Sumsel), Retno Purwanti menjelaskan, bangunan Pasar Cinde sudah ditetapkan sebagai warisan Cagar Budaya di Kota Palembang melalui Keputusan Wako Palembang nomor 179.a/KPTS/DISBUD/2017.

Namun seiring perkembangan, Pasar Cinde justru direvitalisasi di era Gubernur Sumsel, Alex Noerdin. Pro dan kontra proses revitalisasi pun terjadi, banyak pihak yang menyayangkan peruntuhan pasar tersebut. "Itu bukan revitalisasi, tapi penghancuran bangunan cagar budaya. Jadi tidak ada artinya menyisakan tiang Cendawan yang ada dan dibangun baru," jelas Retno.

Pasar Cinde kini mulai kembali dikerjakan dengan menggandeng investor PT Magna Beatum untuk membangun Aldiron Plaza Cinde. Rencananya, pembangunan pasar akan dikonsepkan dengan hunian apartemen dan pasar modern. Menurut Kepala Cabang PT Magna Beatum, Raimar Yousnaidi, pembangunan Aldiron Plaza Cinde sejauh ini sudah mencapai 32 persen pada progres fisik. Dirinya menyebutkan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungaan (AMDAL) sudah tak menemui kendala lagi.

Baca Juga: Radin Inten II, Tak Kenal Ayah Kandung, Gugur Dikhianati Kerabat

3. Bungker peninggalan Jepang kini jadi tempat pembuangan sampah

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanWarga sedang melintasi Jalan Amir Hamzah, Gotong Royong, Bandar Lampung, Minggu (16/8/2020). Tepat di depan kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung, ada satu bungker peninggalan Jepang. Bungker itu saat ini sudah dicor beton dan ada tumpukan sampah. (IDN Times/Martin L Tobing).

Selain bangunan bersejarah peninggalan Belanda, ada juga warisan dari Jepang saat menjajah Indonesia. Di Provinsi Lampung misalnya, ada bungker di Kabupaten Tanggamus dan Kota Bandar Lampung. Tercatat, ada tiga bungker peninggalan Jepang di Pekon Kagungan, Kecamatan Kota Agung Timur, Kabupaten Tanggamus. Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan karena tidak ada perawatan.

Bungker dibiarkan saja hingga semak belukar menutupi bahkan menguburnya. Kondisi itu sangat disayangkan karena ketiganya bisa jadi cagar budaya sisa peninggalan masa revolusi 1945. Zunaidi, warga Pekon Kagungan menerangkan, warga di sekitar area bungker membiarkan saja kondisi memprihatikan bungker tersebut.

“Ada bungker kondisinya gelap dan lembab karena gak ada ventilasi. Ada juga beberapa ekor kelelawar bergantung di langit-langit bungker. Ada juga bungker lainnya dinding pembatas antara ruang utama dengan lorong bungker sudah dijebol. Biasanya ular juga ada. Bungker terakhir malah kondisinya rusak parah, separuh bangunan hilang karena letaknya di tengah permukiman warga,” paparnya.

Ia menduga, tiga bungker yang ada di  Kecamatan Kota Agung Timur dulu berfungsi sebagai tempat pertahanan. Itu merujuk terdapat lubang untuk menembak dan berlindung.

Sementara di Kota Bandar Lampung, tercatat ada lima bungker dan gua Jepang. Letaknya pun berdekatan dan masih bisa dilihat saat ini di Kelurahan Gotong Royong, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung. Lokasi kelima bungker Jepang di antaranya di area SMAN 2 Bandar Lampung, di depan SMPN 25 Bandar Lampung, serta di depan dan belakang kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bandar Lampung.

Sedangkan gua Jepang ada di samping bungker di depan kantor Disdikbud Bandar Lampung. Saat diamati dari kejauhan, mulut gua sudah tidak dapat dikenali. Itu lantaran permukaannya telah rata dengan tanah dan di atasnya difungsikan warung oleh warga setempat.

Saryati, masyarakat setempat menjelaskan, tidak mengetahui secara pasti kapan dibangunnya bungker dan gua peninggalan Jepang tersebut. Kondisi bungker menurutnya saat ini masih tampak kokoh karena terbuat dari beton. Konon, bungker digunakan para tentara Jepang untuk berlindung dari serangan musuh.

Ia menceritakan masa anak-anaknya kerap menjadikan bungker sebagai tempat bermain bersama teman-temannya. Bahkan, mereka sempat masuk dan melihat kondisi di dalam bungker. Menurutnya, ruangan bungker sangat kecil dan pengap tapi struktur bangunan kokoh.

“Kondisi bungker saat ini gak ada apa-apa. Kalau kondisi gua juga sampai 80-an jadi tempat bermain anak-anak. Saya dan teman-teman pernah masuk ke dalamnya, sesak napas karena kondisi di dalam gua  pengap dan minim oksigen," jelas Saryati.

Ia menambahkan, menurut  cerita para orang tua zaman dahulu menyampaikan, gua tersebut konon memiliki dua cabang. Satu tembus ke arah Sumur Putri di Teluk Betung dan cabang satunya ke Taman Kera di Telukbetung Utara. Kabar itu belum bisa dibuktikan kebenarannya karena belum ada penelitian dan pengamatan langsung.

Berdasarkan pantauan IDN Times di lokasi, kondisi bungker peninggalan Jepang cukup memprihatinkan. Ada bungker kini dimanfaatkan sebagai septictank, tempat pembuangan sampah, dan ada juga dicor semen hingga tidak dapat dimasuki kembali.

Sariyati mengatakan, periode satu atau dua dekade lalu bungker dan gua setempat pernah didata oleh pemerintah daerah. Tapi hingga sampai saat ini nihil realisasi bahkan untuk dijadikan cagar budaya pun belum ada. Padahal menurutnya, ada nilai sejarah untuk dilestarikan dari lima bungker dan gua yang dapat diceritakan hingga ke anak-cucu di masa mendatang.

4. Milenial terus gaungkan Rumah Daswati jadi Cagar Budaya Provinsi Lampung

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanPemuda tergabung Forum Penyelamat Daswati menggelar malam refleksi kemerdekaan di Rumah Daswasti, Minggu (16/8/2020). Rumah Daswati adalah bangunan bersejarah terbentuknya Provinsi Lampung. (IDN Times/Martin L Tobing)

Daswati, menyebut kata itu, orang awam mungkin mengira nama seseorang. Padahal, itu adalah angkronim Daerah Swatantra Tingkat (Daswati) l dan ll. Daswati kala itu digunakan untuk penyebutan provinsi, kota, atau kabupaten era awal-awal pascakemerdekaan.

Hingga kini, mayoritas masyarakat Lampung khususnya berdomisili di Kota Bandar Lampung tidak mengetahui rumah tua berlokasi di Jalan Tulang Bawang Nomor 15, Enggal, merupakan salah satu rumah bersejarah terbentuknya Provinsi Lampung. Kondisinya saat ini, jauh dari kata bangunan rumah yang nyaman. Rumah itu sudah lama tak dihuni, tak terawat dan bergonta-ganti kepemilikan pihak perseorangan.

Merujuk nilai historis bangunan tersebut tapi kini beralih ke pihak perseorangan, membuat komunitas peduli sejarah yakni Lampung Heritage menggagas kampanye #savedaswati sejak 2014 lalu. Tujuannya, agar bangunan itu menjadi cagar budaya dan dimiliki resmi oleh pemerintah daerah.

“Dari 2014 saat dimulai Lampung Heritage dan hingga saat ini ada gabungan berbagai komunitas dalam naungan Forum Penyelawat Daswati, perjuangan belum berakhir Perjuangkan Daswati ini agar menjadi cagar budaya kerja marathon. Kami berharap bangunan ini resmi dimiliki pemda,” ujar Koordinator Forum Penyelamat Daswati, Armand AZ kepada IDN Times, Minggu (16/8/2020).

Pihaknya mencatat, dari sejak 2014 hingga saat ini, Pemprov Lampung belum ada upaya apapun mengalihkan kepemilikan aset rumah Daswati dari pihak perseorangan. "Terkesan cuek dan diabaikan, ingin dibeli Pemprov tapi sampai sekarang tidak dibeli. Apa benar mereka sudah hubungi si pemilik? Si pemilik rumah ini aja sekarang kita tidak tahu, tinggal dimana, dan sebagainya,” paparnya.

Yuridis Mahendra dari Pusat Studi Kajian Ilmiah Budaya Lampung, menambahkan, anggota berbagai komunitas tergabung dalam Forum Penyelamat Daswati kian miris saat dua minggu lalu, pekerja bangunan merobohkan seng penutup bangunan rumah Daswati lalu mendirikan tembok. Merujuk hal itu, mengunggah forum ini mengumpulkan tanda tangan melalui spanduk besar ditempel di tembok tersebut.

“Tujuannya mengumpulkan tanda tangan sebanyak-banyaknya dari masyarakat lalu kami akan membuat petisi diajukan ke Pemda. Bertepatan dengan momentum Hari Kemerdekaan, hari ini (16 Agustus 2020), kami menggelar malam refleksi kemerdekaan sekaligus mengingatkan kembali menolak amnesia sejarah bahwa Rumah Daswati ini sangat penting bagi masyarakat Lampung dan sudah sepatutnya dijadikan cagar budaya, bukan milik perseorangan,” tegasnya

5. Lokasi pengibaran pertama kali bendera Merah Putih di Banten kini jadi mal

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanMal Serang, Banten (IDN Times/Istimewa)

Tahukah anda kapan dan dimana sang saka merah putih itu berkibar di Provinsi Banten? Lokasi pengibaran bendera Merah Putih pertama di provinsi ini digelar di Serang 22 Agustus 1945 di bekas bangunan rumah dinas Sultan Banten Rafiudin. Bangunan kala itu sudah dialihfungsikan sebagai hotel VOS Serang sejak masa kolonial Belanda. Tempat itu juga pernah digunakan sebagai Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0602 Serang pada masa kemerdekaan.

Sayang, bangunan bersejarah itu digusur dan dialihfungsikan menjadi mal pada 2004 oleh Pemerintah Kabupaten Serang. Markas Kodim kemudian dipindahkan ke jalan Veteran nomor 7, Cipare, Serang, Kota Serang. Pengalihfungsian cagar budaya itu juga sempat mendapat penolakan dari banyak kalangan, namun tetap dilaksanakan oleh Pemkab Serang.

"Bangunan itu memang sudah banyak dialihfungsi sampai sekarang menjadi Ramayana. Itu memang kesalahan pemda yang gak paham peristiwa masa lalu," kata peneliti sejarah dari Bantenologi Yadi Ahyadi kepada IDN Times, Selasa (11/8/2020).

Bangunan bersejarah lainnya di Provinsi Banten adalah Rumah Lengkong berada di wilayah Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel). Wilayah tersebut dulunya adalah medan pertempuran para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan melawan Jepang. Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, bangunan bersejarah ini luput dari perhatian publik.

Lokasinya menjadi satu dengan Monumen Palagan Lengkong yang berada persis di pintu masuk Damai Indah Golf. Bahkan Taman Daan Mogot dalam wilayah monumen tersebut menjadi area terdepan perumahan Bukit Golf Terrace BSD City.

Sejarawan Tangerang, TB Sos Renda mengatakan, di Lengkong kini hanya tersisa dua bangunan peninggalan markas Jepang. Rumah tersebut terawat dan masih asli. Di sisi kanan rumah, terdapat monumen lengkap nama-nama pejuang yang gugur dan sebuah bait lagu untuk mengenang peristiwa Lengkong.

“Untuk Rumah Lengkong sebagai saksi bisu pertempuran Daan Mogot melawan Jepang, kondisinya saat ini terawat tapi tidak ada isinya sedikit pun, hanya sisa bercak darah manusia yang susah dihilangkan, kondisinya bisa dibilang kesepian,” katanya.

Mirisnya, di tengah keasrian lokasinya, saksi sejarah itu terlihat kesepian di tengah ramainya kota modern Bumi Serpong Damai (BSD). Belum adanya peraturan daerah (perda) untuk menjaga atau memanfaatkan peninggalan-peninggalan sejarah di Tangerang Selatan, menurut TB Sos Renda, membuat tempat bersejarah seperti Rumah Lengkong terancam keberadaannya oleh pembangunan pesat di daerah itu.

"Sebelumnya ada rencana menjadikannya museum, sampai saat ini belum terealisasi karena perdanya belum jadi-jadi. Tapi kalau masyarakat ingin melihat bangunan tersebut, mereka bisa datang langsung tapi hanya bisa melihat dari luar, karena memang didalamnya kosong hanya ada sisa bekas darah yang tidak bisa dihapus di lantai," kata dia.

Sri Lintang Rossi Aryani, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangsel, yang membidangi persoalan ini mengatakan, untuk pelestarian cagar budaya tidak melulu dilandaskan peraturan daerah. "Kita memang belum ada perda yang secara rinci membahas soal cagar budaya seperti situs sejarah. Sempat ada usulan dengan judul Perda Kebudayaan, tapi sampai saat ini belum ada pembahasan karena hanya usulan," ujar Sri.

Baca Juga: Biografi Fatmawati, Ibunda Megawati Tak Mau Dimadu Sukarno 

6. Rumah kembar goresan karya Presiden Sukarno di Bandung, sempat disegel karena pemilik renovasi tanpa izin

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanIDN Times/Yogi Pasha

Besar sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia dan dijuluki sebagai founding father, sosok Ir. Sukarno tidak lepas dari latar belakang pendidikannya sebagai Arsitek. Beberapa goresan gambar bangunan yang dibuatnya sebelum kemerdekaan, kini masih ada yang bertahan dan diremajakan.

Salah satu yang kini masih bertahan peninggalan arsitek Sukarno yakni Rumah Kembar berada di Jalan Gatot Subroto Nomor 54 dan 56. Bangunan tersebut berdiri di antara perempatan Menuju wilayah Palsari, Bandung. Kedua bangunan kembar tersebut tidak bisa dibilang utuh 100 persen.

Satu bangunan yang berada di dekat bekas kantor Jiwasraya nomor 54, sudah terlihat hancur dan tertutup oleh pagar seng. Maklum saja, bangunan tersebut sempat berpolemik lantaran pemilik melakukan perombakan tanpa izin Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Akhirnya, pada 2018, Pemerintah Kota Bandung menyegel dan menutup sementara bangunan tersebut.

Berdasarkan pantauan IDN Times, Kamis (13/8/2020), Rumah Kembar yang masih kokoh di nomor 56, kini sudah di cat berwarna biru tua. Adapun gerbang depan rumah tersebut terlihat masih dikunci. Beberapa pohon rindang di dalamnya hiasi halaman rumah. Sekilas, bangunan tersebut memang terlihat belum ada perombakan.

Sedangkan bangunan ke dua nomor 54, kini dalam kondisi renovasi dan tidak terlihat kondisi di dalamnya, tampak dari luar, pagar seng menutupi proses renovasi rumah tersebut. Anggota TACB Kota Bandung, Harastuti mengatakan, bangunan kembar peninggalan Sukarno tersebut sempat disegel lantaran pemilik hendak merenovasi tanpa izin dengan pemerintah. Padahal, bangunan tersebut menurutnya sudah masuk cagar budaya.

Dalam proses renovasi awal, Harastuti mengaku, sempat mendatangi langsung pemilik salah satu bangunan kembar tersebut. Berdasarkan penuturannya, pemilik mengaku mengetahui bahwa bangunan tersebut merupakan karya arsitek Sukarno, namun dia tidak mengetahui jika bangunan tersebut masuk cagar budaya.

"Bangunan dibangun oleh Soekarno dan itu kembar, sudut satu dan yang lain sama. Jadi seperti pintu gerbang masuk ke kawasan Palsari. Itu persis dan itu sempat berganti fungsi beberapa kali," ujar Harastuti saat dihubungi, Kamis (13/8/2020).

Ia menuturkan, bangun nomor 54 sempat berpolemik lantaran pemilik bangunan hendak mengubah untuk rumah tinggal, perombakan sudah dilakukan pada genteng, kontruksi atap dan lain-lain. Selain itu, momolo atau hiasan atap yang menjadi ciri khas arsitek Sukarno juga telah dilepas. "Kita minta bangunan disesuaikan kembali denga sesuai standar, kita berikan arsitek yang punya SK dan golongan madia, jadi enggak boleh baru lulus dan cagar budaya berharga dan bernilai," ungkapnya.

Sepengetahuan dia, fungsi bangunan kembar tersebut awalnya ada yang dijadikan asrama dan bangunan satunya lagi sebagai tempat tinggal, "Dulu kembar dan smapingnya masih ada dan ini otentik bisa ditiru. Asrama itu, pernah jadi untuk latihan atau apa, tapi terakhir rumah tinggal," katanya.

"Masyarakat pahami bahwa ini penting bukan hanya untuk pribadi tapi untuk pendidikan sejarah orang penting dan kita kan juga suka cari tempat orang penting, terlebih ini karya presiden kita yang pertama," tuturnya.

Terpisah, Sekretaris Dinas Budaya danPariwisata (Sekdis Disbudpar) Kota Bandung, Tantan Surya Santana mengatakan, polemik pembangunan dari rumah peninggalan Sukarno tersebut memang sempat terjadi. Disbudpar sudah mencabut segel tersebut pada 8 Maret 2020. "Kemarin IMB sudah dikeluarkan pada bulan Maret. Pengusaha belum lakukan kegiatan, rencana pengusaha kemarin kontraktor sudah ada dan sudah dikunjungi. Kemarin ke sana sedang beres-beres bongkaran bahan lama sudah dibersihkan dan itu juga ana dipantau oleh TACB," ujar Tantan.

Dalam masa renovasi, pemilik harus membangun, bangunan sama dengan yang lama. Adapun dari segi desain, ia juga meminta harus sama dengan struktur lama dan tidak boleh ada perubahan. "Kalau bangunan baru boleh tapi di belakang, tidak nempel misal bangunan tetap fungsi bisa berubah, misal kafe rumah tinggal kegiatan usaha silahkan," ungkapnya.

Disinggung peruntukan bangunan tersebut akan dibuat seperti apa oleh pemilik, Tantan mengaku belum mengetahui, namun jika untuk dibangunkan kafe ataupun yang lainnya. Ia mengatakan tidak akan menjadi masalah. "Kalau tempat usaha boleh yang penting harus seperti itu, karya arsitek Bung Karno. Kalau pagar tidak masuk nanti bandros bisa ke sana. Saat ini anggaran renovasi capai dua miliar," katanya.

Ia berharap, pemilik bangunan cagar budaya bisa merenovasi sesuai perda cagar budaya. "Bukan tidak boleh direnovasi, tapi yang penting pelihara dan rekomendasi TACB dan storis tetap terjaga dan mengenang masa lalu. Kan ini ada rasa kebanggan. Alih fungsi boleh tapi harus dipelihara dengan sesuai keaslian," kata dia.

7. Istana Balekambang kini jadi Kantor OJK Regional 3, lobi gedung ambruk jadi buah bibir

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanGedung Kantor OJK Regional 3 Jateng roboh. Dok. OJK Regional 3 Jateng

Di Jawa Tengah, ada satu bangunan bersejarah dikenal sebagai rumah Raja Gula Oei Tiong Ham atau kerap disebut Istana Balekambang dibangun sejak awal abad 19. Bangunan cagar budaya tersebut kini menjadi Kantor OJK Regional 3 Jawa Tengah dan DIY tersebut sejak 2005. Bangunan itu akhir Juli lalu tepatnya, Selasa (28/7/2020) menjadi buah bibir lantaran lobi gedung atau serambi depan roboh. Sontak hal itu mendapat perhatian dari kalangan pengamat. Satu di antaranya, pengamat bangunan cagar budaya, Tjahjono Rahardjo.

Ia mengatakan, heran mengapa bangunan bersejarah bisa roboh. Menurut Dosen Magister Ilmu Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang ini, sepengetahuannya bangunan yang berlokasi di Jalan Kyai Saleh itu tidak rawan roboh. ‘’Misalnya pun ada kerusakan sedikit tentu wajar saja bisa diperbaiki, tapi kalau sampai ambruk ini mengherankan dan aneh,’’ tuturnya.

Tjahjono menambahkan, karena bangunan tersebut sudah milik negara dan tetapkan sebagai cagar budaya, maka setiap renovasi yang dilakukan ada aturannya. Salah satunya tidak merusak keasliannya. ‘’Akan tetapi, memang setiap kasus bangunan kan berbeda-beda dan harus dikaji sendiri-sendiri. Maka, yang perlu ditanyakan apakah sudah dikonsultasikan dan dipresentasikan ke tim ahli cagar budaya atau belum,’’ katanya.

Selanjutnya, imbuh dia, jika sudah mendapat rekomendasi perlu ada kajian. Sebab, kalau sudah membahayakan dan tidak bisa diperbaiki lagi, maka harus segera dibongkar. ‘’Hal itu kemungkinan terburuk, tapi karena kelihatannya yang ambruk hanya bagian depan saya rasa masih bisa diperbaiki. Sebab, banyak bangunan tua di Kota Lama yang ambruk dan hancur, masih bisa dikembalikan ke bentuk aslinya,’’ tandasnya.

Kepala Kantor OJK Regional 3 Jawa Tengah, Aman Santosa mengatakan, gedung tersebut sedang dalam proses renovasi dan memang sudah dikosongkan. ‘’Robohnya bangunan ini memang karena faktor usia dan kami sudah merencanakan untuk renovasi karena bangunan ini memang bangunan tua dan sudah kita gunakan sejak 2015. Dalam hal ini kami sudah berkonsultasi dengan Dinas Tata Ruang dan tim ahli cagar budaya,’’ katanya.

Baca Juga: Biografi Ibunda Sukarno Ida Ayu Nyoman Rai, Pindah Agama demi Cinta

8. Gua Jepang Kaliurang dibangun pribumi zaman romusha

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini Terabaikankemenpar.go.id

Gua Jepang banyak ditemukan di berbagai provinsi di Indonesia. Salah satunya di Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta. Lokasinya yang berada tepat di sekitar destinasi wisata lereng Gunung Merapi, membuat Gua Jepang Kaliurang banyak didatangi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Kepala Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Pujiati menjelaskan,  sama seperti gua Jepang pada umumnya, Gua Jepang Kaliurang dibangun sebagai bagian strategi militer Jepang pada saat Perang Dunia Kedua. Pembangunannya berkisar 1942-1945.

Gua Jepang Kaliurang dibangun pribumi yang berasal dari lokal Kaliurang maupun dari luar. Untuk bahan material bangunan, setiap minggunya dikirim warga bermukim di desa berada di sekitar Kaliurang secara bergantian.

"Waktu zaman Jepang itu kan ada romusha, salah satunya ya bangunan itu dari tenaga romusha itu. Jadi pada tahun 1942-an setiap desa disuruh kirim bahan-bahan material per minggu. Itu nanti bergantian, misalnya minggu ini A, minggu berikutnya B sampai selesai, terus balik lagi yang pertama," ungkapnya, Selasa (11/8/2020).

Pujiati memaparkan, Gua Jepang Kaliurang memiliki sekitar 24 terowongan, 19 di antaranya terowongan besar yang bisa dimasuki manusia. Dari 19 terowongan tersebut 9 di antaranya bisa saling terhubung. Sedangkan 5 sisanya berukuran kecil dan tidak dapat dimasuki manusia.

Untuk menjaga agar gua Jepang ini tetap lestari, TNGM melakukan perawatan dan pembersihan area maupun akses gua secara rutin. Menurut Pujiati, TNGM memiliki bagian khusus yang melakukan penataan di area Taman Nasional.

"Kita punya penataan kawasan termasuk perawatan kawasan. Mungkin sehabis angin ribut, atau angin kencang, hujan besar kita tata lagi jalur ke sana. Jalur ke sana kan biasanya licin, kalau habis musim hujan, atau habis ditutup ini kan pasti rumputnya banyak. Kita bersihkan lagi agar jalur bersih dan jelas," papar Pujiati.

9. Penjara Kalisosok Surabaya “sekolah” para pendiri bangsa

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanPintu utama Penjara Kalisosok Surabaya. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Tembok tebal berwarna putih mengelilingi lahan seluas 3,5 hektare di Jalan Kasuari, Krembangan, Kota Surabaya. Sebagian besar temboknya sudah kusam, catnya mengelupas dan dihiasi akar pohon beringin yang menjuntai di sana-sini. Tiap-tiap sudut tembok terpampang gardu berkarat seakan menjadi mata yang siaga mengawasi.

Siapa sangka, di balik tembok yang berdiri kokoh itu pernah menjadi "sekolah" para pendiri bangsa Republik Indonesia. Sukarno, Wage Rudolf (WR) Supratman, Kiai Haji (KH) Mas Mansur dan Doel Arnowo tercatat pernah ditahan di sini. Bangunan terbengkalai itu bekas Penjara Kalisosok.

Pintu utama penjara rupanya terletak di sisi timur bangunan. Fasadnya hampir sama dengan tembok-tembok lain di sekitar kawasan. Kusam dan tak terawat. Sekilas tidak ada spesial di pintu utama. Dari kejauhan terlihat coretan "No.7" berwarna biru menandakan bangunan itu berdiri di urutan ketujuh dari bangunan lainnya.

Tapi jika dilihat lebih dekat, ternyata ada plakat berwarna kuning emas bertuliskan "Bangunan Cagar Budaya". Tetenger itu dikeluarkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sejak 2009 lalu. Tak jauh dari situ, tepat di samping kirinya ternyata ada pintu terbuka.. Ternyata bagian lain bekas penjara dimanfaatkan untuk jasa ekspedisi tol laut.

Tak jauh dari pintu utama ada rumor di balik tembok pesakitan masa lampau itu dipakai untuk kos-kosan sebagian orang. Ternyata rumor itu fakta. Tak banyak yang tahu tentang bilik rahasia itu. Tak banyak juga yang menyangka kalau bekas sel penjara dijadikan rumah sementara. "Kalau kos-kosan ya itu," ujar pedagang kaki lima sekitar bekas Penjara Kalisosok, Sumani (40) sambil menunjuk konter pulsa.

Pak To, nama aslinya Yanto mengakui,  ada kos-kosan di balik pintu berwarna biru. Tak banyak yang ngekos saat ini, yang jelas kosnya itu khusus untuk perempuan saja. "Ini khusus perempuan, fasilitasnya seadanya," katanya. Harga tiap kepala sekitar Rp150 ribu. Penghuninya mayoritas pekerja Jembatan Merah Plasa (JMP).

Yanto tak mau membeberkan lebih rinci jumlah penghuni dan berapa bilik yang disediakannya. Dia bersikukuh kalau bisnis kos di bekas penjara tak menyalahi aturan. Karena pihaknya sudah membayar ke pemilik bangunan. "Ini kan swasta, gak bisa itu pemerintah ikut-ikut, mau masuk aja gak bisa" dia menegaskan.

Di sisi lain, Sumani mengenang betul kehidupan di balik penjara Kalisosok. Jelas saja, dia sudah bejualan makanan dan minuman sejak usia anak-anak. Debutnya dimulai ketika kedua orangtuanya di Bangkalan, Madura meninggal dunia. Dia pun ikut tetangganya yang sudah dianggap ibunya sendiri. "Dulu diajak Umi ke Surabaya buat ikut jualan di sini," katanya.

Beberapa kali Sumani mengantarkan nasi sate dan es teh ke sipir Penjara Kalisosok. Ketika itu juga, dia mengetahui kehidupan di balik tembok kokoh setinggi 12 meter itu. "Banyak sekali tahanannya," ucapnya. Hingga menikah dan mempunyai anak, Sumani masih mengantarkan pesanan para sipir. "Tapi tahun 1999 itu tutup," kata dia.

Sumani cukup kaget dengan tutupnya Penjara Kalisosok. Kemudian para penghuninya sebagian dipindahkan ke Rumah Tahanan Klas 1 Surabaya di Medaeng Sidoarjo dan Lapas Klas 1 Surabaya di Porong Sidoarjo. "Semuanya pindah. Sampai sekarang sepi. Dalamnya (Penjara Kalisosok) sekarang alas (hutan)," dia mengungkapkan.

Kenangan kehidupan Penjara Kalisosok juga dimiliki pengacara, M. Sholeh. Pria yang baru-baru ini mendaftarkan diri menjadi bakal calon wali kota Surabaya jalur independen itu pernah dua tahun menjadi penghuni di sini. Dia menjadi tahanan politik lantaran lantang menyuarakan demokrasi di penghujung kekuasaan orde baru (orba) 1997 bersama rekan satu organisasinya di Partai Rakyat Demokratik (PRD), Coen Husain Pontoh. "Saya punya kenangan di situ, dipenjara lebih dari satu tahun," kata dia.

Ketika di dalam penjara, Sholeh mengaku ditempatkan di Blok E. Blok itu merupakan pengasingan. Satu kamar diisi satu orang dengan luas 2x4 meter. Meski sendirian, di bloknya itu Sholeh bersama narapidana kasus pembunuhan dan penjahat kakap. Yakni Sugik dan Aris. Mereka semua adalah terpidana mati. "Semuanya di dalam penjara baik," ucapnya.

Hal yang paling diingatnya yaitu saat mandi. Terdapat sumur ajaib di dalam penjara. Sumur itu diyakini oleh semua penghuni bisa menyembuhkan penyakit. "Sugesti kalau habis bertengkar memar dan dipukuli petugas, mandi di situ cepat sembuh. Kita mandinya di situ. Airnya bagus, tidak asin," ungkap Sholeh.

Uniknya lagi, lanjut Sholeh, tembok penjara tidak bisa dipaku. Dia menaksir temboknya setebal 15-20 centimeter dengan kualitas bangunan Belanda. "Tidak pakai batu bata. Kayak dicor semua (full semen). Saking kuatnya tidak bisa dipaku. Kalau naruh gastok baju, waktu itu saya pakai lem," beber dia.

Penutupan Penjara Kalisosok tidak disayangkan oleh Sholeh. Hanya saja dia menyesalkan bangunan sarat sejarah itu tidak dirawat pemerintah. Harusnya, bangunan itu bisa dijadikan museum. Sehingga para pelajar dan wisatawan bisa belajar mengenai sejarah Kota Pahlawan secara utuh.

"Sekarang malah milik swasta. Itu semestinya tidak boleh. Kalau saya jadi wali kota saya beli. Untuk menjadikan kota sejarah, ada baiknya Kalisosok jadikan museum sejarah," tegas Sholeh.

Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia atau Surabaya Heritage Society, Freddy Istanto membeberkan sejarah yang terukir di bekas Penjara Kalisosok. Bangunan yang kini mangkrak itu didirikan sejak zaman Gubernur Jenderal Willem Herman Dandels. Pembangunannya dimulai pada 1808 dengan biaya 8.000 gulden.

Sayang seribu sayang, Penjara Kalisosok justru tidak dikelola oleh pemerintah. Sebenarnya, Freddy dan komunitas pencinta cagar budaya pernah memperjuangkan agar dirawat dan dijadikan museum kecil-kecilan di sebidang hektare saja. "Tapi ada yang ngomel, ngapain itu tempat pemuda kita dipenjara kok dilestarikan," katanya terheran-heran.

Meski Penjara Kalisosok disebutnya sudah dipindahtangankan ke swasta, menurut Freddy, Pemkot Surabaya masih punya tanggung jawab melindungi bangunan cagar budaya. "Karena menelantarkan bangunan cagar budaya termasuk melanggar hukum. Ada sebuah sikap (pemahaman) kalau merusak kena pasal hukum. Kalau sengaja membiarkan agar rusak (tidak kena)," katanya. Harusnya pemerintah mampu mengatasi polemik ini. Sehingga bangunan yang memiliki sejarah panjang ini tidak mangkrak.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya membenarkan bahwa bangunan itu merupakan cagar budaya. "Tapi itu masih milik pribadi," ujarnya melalui pesan singkat.

10. Asrama Inggrisan, Banyuwangi beberapa plafonnya roboh

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanAsrama Inggrisan di samping Taman Blambangan, Kabupaten Banyuwangi. (IDN Times/Mohamad Ulil Albab)

Asrama Inggrisan di samping Taman Blambangan, Kabupaten Banyuwangi, menjadi saksi bisu untuk generasi penerus. Bangunan peninggalan Inggris ini, pertama kali dibangun dengan gaya arsitektur suku Bugis pada tahun 1766 dan hingga saat ini masih berdiri kokoh.  Meski kondisinya sebagian besar tidak terawat, kotor dan beberapa plafonnya roboh, tempat ini masih sering menjadi tempat edukasi para wisatawan maupun pelajar.

Saat ini, Asrama Inggrisan ditempati anggota TNI Angkatan Darat. Dari 25 ruangan, hanya 10 yang ditempati dan masih terawat. Sejarawan lokal Banyuwangi, Suhailik (56) mengatakan, Asrama Inggrisan pertama kali dibangun pada tahun 1766 sebagai kantor dagang kecil di lahan seluas satu hektare. "Sempat dipugar beberapa kali, terakhir catatan saya saat pendudukan diambil alih Kolonial Belanda pada 1766," kata Suhailik.

Dia melanjutkan, arsitektur Asrama Inggrisan memang dicampur dengan kearifan lokal, sebab di dekat kawasan pesisir Pantai boom banyak masyarakat Bugis dan Mandar.   "Arsitekturnya mengadopsi arsitektur lokal, di kawasan pesisir Kota Banyuwangi dulu banyak orang Bugis dengan arsitektur rumah panggung seperti itu," katanya. 

Selain itu, Asrama Inggrisan juga menyimpan warisan benda berupa lorong bawah tanah berisi kabel telegraf. Dari lorong tersebut, kata Suhailik, jaringan kabel telegraf dibangun untuk menghubungkan Jawa dengan Australia periode 1811-1816 era Stamford Raffles.

Lorong bawah tanah jaringan telegraf, saat ini ditutup dengan plat bertuliskan "Burn Brothers Rotunda Works 3 Blackfriars Road London S.E" yang merupakan nama pemegang proyek jaringan telegraf asal Inggris. "Jaringan komunikasi tersebut juga menghubungkan Hindia dengan Asia, dan Australia, kemungkinan bawah tanah melalui bawah laut juga," ujar Suhailik.

11. Pemedal Agung saksi bisu perang puputan

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanIDN Times/Wayan Antara

Menjulang kokoh dan indah, mungkin itu yang terlihat ketika pertama kali melihat bangunan Pemedal Agung di area objek Kerta Gosa, Kabupaten Klungkung. Bangunan berupa gapura dan gerbang kerajaan itu, merupakan satu-satunya sisa kejayaan Kerajaan Klungkung dan menjadi saksi bisu dari Perang Puputan titik darah penghabisan Klungkung tahun 1908 silam.

Ketika perang itu terjadi, hampir seluruh keluarga kerajaan, hingga putra mahkota yang masih anak-anak berkorban demi mempertahankan kedaulatan Klungkung dari penjajahan Belanda. Meski tempat ini dirawat oleh masyarakat, tetapi jarang banget kisahnya diangkat ke permukaan. Bahkan bisa jadi, generasi muda tidak ada yang tahu tentang kisah kelam di balik Pemedal Agung ini.

Konon, saat kolonial mau menghancurkan Pemedal Agung dan berdiri di sekitar bangunan itu, para penjajah merasa berada di lautan. Sehingga kolonial tidak berani menghancurkan bangunan itu. Hingga saat ini, hanya Pemedal Agung dan bangunan Kerta Gosa saja yang masih tersisa, dan tidak dihancurkan oleh Belanda pasca Perang Puputan 1908. Karena nilai historis itu pula, tidak ada pihak yang sampai sekarang tidak berani merenovasi, atau bahkan membuka kuri (Pintu) di Pemedal Agung.

"Bangunan Pemedal Agung itu, dari dulu hingga saat ini masih original. Belum ada yang direnovasi," ungkap Penglingsir Puri Agung Klungkung, Ida Dalem Semara Putra.

Meskipun belum pernah direnovasi, hingga saat ini Pemedal Agung masih sangat terawat. Mengingat bangunan ini disakralkan oleh masyarakat, dan menjadi tempat persembahyangan. Bahkan belum ada yang berani membuka pintu Pemedal Agung sampai sekarang. "Biasanya ada masyarakat yang bersembahyang di Pemedal Agung. Selain untuk memohon keselamatan, ini juga sebagai penghormatan masyarakat ke pendahulunya yang berjuang mempertahankan Klungkung," kata Ida Dalem Semaraputra.

12. Samarinda telah kehilangan semua bangunan bersejarah

Bangunan Bersejarah Peninggalan Kolonial, Riwayatmu Kini TerabaikanGedung Nasional yang menjadi pusat perjuangan jalur politik di Samarinda. (Buku Samarinda Tempo Doeloe)

'Kota Tepian' Samarinda menyimpan segudang cerita perjuangan hingga bergabungnya Kalimantan Timur (Kaltim) ke  NKRI. Menurut ahli sejarah Samarinda, Muhammad Sarip, pada Februari 1947 para pejuang masih terus bergerilya melakukan perlawan kepada Belanda yang masih bermukim di kota ini.

Ia menambahkan, ada empat tugu palagan menjadi monumen bersejarah para pejuang mengusir para penjajah. Didirikannya empat tugu palagan ini sebagai pengingat pentingnya pertempuran pejuang mengusir dominasi penjajah.

Di dalam buku karya Sarip berjudul Samarinda Tempo Doloe (2017), tugu palagan ada di empat lokasi berbeda. Rinciannya, di Jalan Sultan Sulaiman, dekat Kantor Kecamatan Sambutan, kemudian di Jalan Damanhuri II, Jalan R.E. Martadinata dekat Taman Lampion dan Jalan Pangeran Suryanata, di seberang Masjid Asy Syuhada yang diresmikan Pemkot Samarinda pada 10 November 1991. “Sebagian besar keberadaan juga tak terawat, bahkan posisinya berada di tanah yang dikuasai perusahaan swasta,” bebernya.

Selain empat tugu palagan, Sarip juga bercerita tentang Gedung Nasional di Jalan Panglima Batur, Kelurahan Pelabuhan, Kecamatan Samarinda Kota yang dibangun pada 1947. Di gedung ini, kata Sarip, dulu menjadi pusat perlawanan pejuang dari segi politik. Di gedung tersebut, menjadi markas Ikatan Nasional Indonesia (INI), Front Nasional dan lebih dari 20 organisasi sosial politik pro nasional Kaltim.

Namun sayang, kondisinya saat ini begitu memprihatinkan dan tak terurus. Bangunannya pun telah empat kali direnovasi dan tak bisa diajukan ke dalam bangunan cagar budaya. Satu-satunya yang tersisa yakni tugu Gedung Nasional yang didirikan pada 1948.

Tak hanya Gedung Nasional, dahulu Samarinda juga memiliki kantor Federasi Kaltim yang juga mencatat banyak sejarah di Kota Tepian. Pada 1900-an di pinggiran Sungai Mahakam, tepatnya di Jalan Gajah Mada yang sekarang berdiri Bank BRI, terdapat sebuah bangunan bermaterial kayu bernama Hotel Mahakam yang juga mencatat sejarah perjuangan di Samarinda. Pada 1935 penginapan Hotel Mahakam menghadirkan tokoh nasional Mohammad Husni Thamrin bersama puluhan tokoh nasional lainnya menggelar rapat organisasi politik kemerdekaan.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, bangunan tua bekas Hotel Mahakam ini kemudian beralih fungsi menjadi kantor Pemerintah Federasi dan Dewan Kaltim pada 1947. "Banyak sejarah termasuk upacara serah terima pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada pemerintahan Republik Indonesia (RI)," terang Sarip.

Kemudian, pada 1955 kantor Pemerintah Federasi Kaltim yang telah meleburkan diri ke dalam sistem pemerintahan RI ini kembali beralih fungsi menjadi kantor DPRD Tingkat I Kaltim. Dan selanjutnya pada zaman Orde Baru sekitar 1965-1966 bangunan ini kembali beralih menjadi kantor BRI cabang Samarinda hingga saat ini. "Terlalu jauh perubahannya karena diruntuhkan habis. Jadi yang tersisa hanya lokasinya saja," urai Sarip.

Menurut Sarip saat ini Samarinda telah kehilangan semua bangunan bersejarah tersebut. Yang tersisa hanya beberapa tugu dan bangunan monumental yang telah beralih fungsi meski masih berada di lokasi yang sama. "Di Samarinda sudah tidak ada bangunan bersejarah. Gedung Nasional mencatat sejarah perjuangan paling penting namun bangunannya sudah empat kali direnovasi dan semakin terabaikan zaman," ujarnya.

Tim penulis: Prayugo Utomo, Rangga Erfizal, Martin L Tobing, Khaerul Anwar, Muhammad Iqbal, Azzis Zulkhairil, Anggun Puspitoningrum, Siti Umaiyah, Mohamad Ulil Albab,
Ardiansyah Fajar, Wayan Antara, M Zulkifli Nurdin.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

https://www.youtube.com/embed/szsxkHb8EUo

Baca Juga: 14 Potret Masa Muda 7 Presiden Indonesia, Bikin Pangling

Topik:

  • Martin Tobing
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya