Akademisi Minus Berpihak Keadilan Sosial, Kebebasan Akademis Tergerus

Peluncuran dan deklarasi KIKA Cabang Lampung

Bandar Lampung, IDN Times - Mandeknya perkembangan ilmu pengetahuan dan minusnya keberpihakan akademisi terhadap keadilan sosial adalah dampak dari tergerusnya kebebasan akademik. Pandangan ini mengemuka dalam diskusi publik “Memperluas Kebebasan Akademik di Perguruan Tinggi di Lampung.”

Diskusi tersebut bagian dari acara peluncuran dan deklarasi Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Cabang Lampung di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung (Unila), Bandar Lampung, Senin (29/5/2023).

Acara digelar secara lesehan itu menghadirkan lima pembicara. Mereka adalah Koordinator KIKA Satria Unggul Wicaksana Prakasa, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert, Koordinator KIKA Cabang Lampung Dodi Faedlulloh, serta M. Ikhsan Habibi dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila. Adapun moderator diskusi publik, yakni Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri.

1. Saat ini demokrasi di Indonesia sedang tidak baik

Akademisi Minus Berpihak Keadilan Sosial, Kebebasan Akademis Tergerusilustrasi (Unsplash.com/Fred Moon)

Bivitri mengatakan, saat ini demokrasi di Indonesia sedang tidak baik. Kehadiran KIKA merupakan langkah strategis karena berperan dalam membangun enabling environments, atau lingkungan yang mendukung bagi hidupnya iklim demokrasi.

“Kualitas demokrasi Indonesia tengah merosot karena digerogoti oleh praktik korup dari dalam sistem. Itu mengemuka lewat lahirnya berbagai regulasi yang semakin meminggirkan hak-hak rakyat kebanyakan,” kata Bivitri.

Dalam situasi ini, lanjut Bivitri, ada tiga pola represi pemerintah terhadap komunitas akademik. Ketiganya, merepresi agar tidak bersuara, mengooptasi, dan sebagai reaksinya membuat komunitas akademik “tiarap”, sehingga acuh terhadap persoalan publik.

Represi atas kritik komunitas akademik dalam berbagai cara, mulai dari pelarangan diskusi, demonstrasi, penjegalan karir, ancaman pemecatan atau skors dan drop-out, hingga tuntutan pidana dengan dalih pencemaran nama baik. “Oleh karena itu, amat penting membangun kapasitas untuk memperjuangkan kebebasan akademik dan solidaritas,” ujarnya.

2. Dosen dan pelajar memiliki anugerah untuk mengelola pikiran dan mencari kebenaran saintifik

Akademisi Minus Berpihak Keadilan Sosial, Kebebasan Akademis Tergerusilustrasi dosen (pexels.com/Kampus Production)

Senada dengan Bivitri, Robertus menyatakan alih-alih membentengi, lingkungan pendidikan tinggi cenderung membatasi kebebasan akademik. Waktu dosen kian dirampas dan dikerangkeng oleh kewajiban administratif, dari tingkat individu seperti presensi pagi-sore, hingga tingkat lembaga seperti penilaian akreditasi dan kinerja berulang-ulang.

Padahal, membedakan pekerja kampus (dosen) dengan pekerja di kantor kecamatan, yakni privilese kebebasan akademik. Dosen dan pelajar memiliki anugerah untuk mengelola pikiran dan mencari kebenaran saintifik. Kebebasan akademik adalah jantungnya pendidikan tinggi yang seyogianya dijamin dan dilindungi oleh negara.

Menurut Robertus, salah kaprah lain adalah anggapan kebebasan akademik hanya berlaku dalam batas kampus. Hal ini merupakan domestifikasi kebebasan akademik sesungguhnya mengungkung kebebasan itu sendiri.

Robert menyinggung ungkapan pendiri bangsa, Moh Hatta menyatakan kaum intelegensia punya tanggung jawab moral untuk mendidik bangsanya dan membangun keinsafan buat rakyatnya sendiri. Artinya, akademisi perlu terlibat dalam kepentingan-kepentingan publik, baik dengan cara yang konsensual maupun disensual (kritik).

Baca Juga: Korporat Stockpile Bungkam Protes Warga dengan Beri Sembako dan Kerja

3. Keluhan beban administratif dan maraknya aplikasi mubazir

Akademisi Minus Berpihak Keadilan Sosial, Kebebasan Akademis Tergerusilustrasi berusaha meredakan rasa cemas (Freepik.com/snowing)

Sedangkan Dodi berpendapat, di dalam kampus, penerapan kurikulum Merdeka Belajar alih-alih membebaskan (setidaknya mengurangi) beban administratif dosen, yang terjadi malah sebaliknya. Keluhan beban administratif dan maraknya aplikasi mubazir.

Misal, diperintah mengisi dan mengunggah data kinerja yang sama pada aplikasi-aplikasi berbeda yang tidak diintegrasikan setiap semester. Bahkan, telah mengaburkan makna keluhan-dan-gurauan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini menunjukkan betapa tertekannya dosen, namun seakan hanya bisa pasrah.

“Pada satu sisi, menguatnya kendali administratif negara terhadap dosen berhasil merampok waktu semestinya bisa dialokasikan untuk membaca, menulis, berdiskusi, memproduksi pengetahuan. Tetapi, di sisi lain, dosen kian dituntut dengan cara yang tidak masuk akal untuk produktif menerbitkan artikel hasil penelitian setiap tahun,” ujar Dodi.

4. KIKA berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil

Akademisi Minus Berpihak Keadilan Sosial, Kebebasan Akademis Tergerusilustrasi kerjasama tim ( Pexels.com/fauxels )

Sementara itu, Satria mengatakan KIKA merupakan jejaring akademisi memperjuangkan kebebasan akademik di Indonesia. Secara prinsipiil, kerja-kerja KIKA berpedoman pada Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik dan dilakoni berdasarkan semangat kolegial (kesetaraan). Anggotanya tidak hanya dosen, tetapi juga peneliti, baik di universitas maupun lembaga non-universitas, serta pelajar perguruan tinggi.

KIKA pun berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil serta melibatkan dirinya tidak terbatas dalam masalah pendidikan. Namun, juga isu-isu publik berkaitan dengan hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Di samping mengkritik regulasi dan praktik serta mengadvokasi kasus-kasus represi atas dosen maupun pelajar, KIKA juga urun rembuk dalam kasus-kasus eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran HAM, seperti yang terjadi di Wadas dan Kendeng, Jawa Tengah; dan Kalimantan Timur. “Jejaring KIKA kini mencakup berbagai daerah, seperti Papua, Bali, Kalimantan Timur, Aceh, dan Lampung,” kata dia.

5. Banyak kasus merepresi kebebasan akademik

Akademisi Minus Berpihak Keadilan Sosial, Kebebasan Akademis Tergeruspexels.com/Katerina Holmes

Pendapat lainnya dikemukakan Ichsan. Ia menyampaikan, belakangan ini terbilang banyak kasus merepresi kebebasan akademik. Contohnya, dekan melarang mahasiswa mendiskusikan UU Cipta Kerja. Kemudian, mahasiswa yang kritis terkesan dipersulit menyelesaikan skripsi. Bahkan, otoritas kampus sempat membekukan BEM Unila.

Pada kesempatan tersebut, salah satu peserta diskusi, Hendry Sihaloho, turut menuangkan pendapat. Menurut jurnalis konsentris.id itu, dalam konteks Lampung, kebebasan sipil sesungguhnya membunyikan tanda darurat. Setidaknya sejak 2019 hingga sekarang, terjadi serangkaian tekanan dan pemberangusan terhadap kebebasan sipil.

Misal, pembubaran nobar film “Kucumbu Tubuh Indahku”, teror dan peretasan terhadap jurnalis Teknokra Unila ketika hendak menggelar diskusi soal Papua, serta ancaman sanksi dan drop out terhadap para mahasiswa di sejumlah kampus. Represi tersebut setelah mereka berdemo menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT) dan mendirikan sekretariat di luar kampus.

“Dari kasus-kasus itu, terbilang minim solidaritas para mahasiswa meskipun semua korban adalah mahasiswa. Demikian pula akademisi, hampir tak bersuara atas kasus-kasus kebebasan sipil dan akademik itu,” ujar Hendry.

Baca Juga: Komisi Yudisial Bentuk Penghubung KY di Lampung, Warga Ikut Berperan

Topik:

  • Martin Tobing

Berita Terkini Lainnya