Literasi di Lampung Jauh dari Harapan, Anak Buta Huruf Salah Siapa?

Intinya sih...
Masyarakat lebih doyan konsumsi konten hiburan dibanding pengetahuan
Buta huruf peran penting orang tua, bukan hanya pemerintah
Pertanyakan upaya pemerintah mengembangkan literasi
Bandar Lampung, IDN Times - Perkembangan literasi di Provinsi Lampung dinilai masih jauh dari harapan. Meski secara kuantitas meningkat karena kemudahan akses digital, tapi kualitas dinilai kian menurun. Ironisnya, masih ditemukan anak-anak belum bisa membaca di zaman serba digital seperti saat ini.
Ketua Komunitas Lampung Literature, Devin Nodestyo mengatakan, literasi masyarakat Lampung kini mengalami kemunduran secara kualitas. Itu akibat banyaknya konsumsi konten hiburan terbilang kurang mendidik di platform digital.
"Secara kuantitas memang meningkat karena adanya platform digital seperti TikTok, YouTube, Instagram yang hampir seluruh masyarakat bisa mengaksesnya. Tetapi secara kualitas tentu jauh dari yang diharapkan," ujarnya dikonfirmasi, Kamis (4/7/2025).
1. Masyarakat lebih doyan konsumsi konten hiburan dibanding pengetahuan
Devin melanjutkan, keberadaan infomasi saat ini memang sangat mudah didapat melalui internet. Namun masyarakat justru lebih banyak mengakses konten yang bersifat hiburan semata dibandingkan berbau ilmu pengetahuan.
Dicontohkan, para pengguna gawai lebih dominan menonton orang mandi lumpur atau joget mencari sensasi daripada mengakses pertunjukan seni. Kondisi serupa diindikasikan adanya kesalahan penerimaan infomasi di tengah-tengah masyarakat.
"Ini merupakan fenomena yang kompleks dan serius, kita harus lebih bijak menyikapinya. Latar belakang keluarga, ekonomi, lingkungan atau budaya FOMO menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan literasi saat ini," bebernya.
2. Atasi buta huruf peran penting orang tua, bukan hanya pemerintah
Devin juga menanggapi fenomena masih ditemukannya anak-anak buta huruf di Provinsi Lampung. Menurutnya, kondisi ini tidak serta-merta menjadi tanggung jawab penuh pemerintah, melainkan peran dan fungsi orang tua juga patut dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan.
"Ini bentuk orang tua yang tidak memperdulikan masa depan anaknya. Jika ekonomi jadi alasan, sekarang banyak bantuan atau beasiswa bagi anak yang tidak mampu misalnya. Anak tidak bisa disalahkan, karena kita tahu anak-anak belum dapat berpikir jauh, ia hanya mengikuti kehendak senangnya saja," katanya.
Oleh karena itu, kegiatan belajar membaca sejak dini di zaman sekarang masih sama pentingnya di zaman dahulu. Orang tua disebut harus bisa memberi pengertian bahwa membaca itu menyenangkan dan amat penting.
"Dalam hal ini, semua pihak punya peran dan kewajiban masing-masing sesuai dengan kapasitasnya, adanya smartphone atau gadget itu hanya media untuk memberikan kemudahan dalam mengakses sesuatu, tapi terpenting adalah peran orang tua, mulainya pendidikan diawali dari rumah," lanjut dia.
3. Pertanyakan upaya pemerintah mengembangkan literasi
Terlepas dari peran orang tua tersebut, Devin tidak menampik pemerintah tetap memiliki tanggung jawab besar dalam penyediaan akses dan program literasi. Oleh karenanya, ia turut mengkritisi peran pemerintah dalam membina ekosistem literasi di Lampung.
"Pemerintah kita dari zaman dahulu kala memang begitulah, 'tidak tahu' karena tidak pernah benar-benar turun dan melihat serta mendengar langsung dari masyarakat,” serunya.
Lanjut dia, pemerintah sejauh ini dinilai tampak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa dalam mengembangkan dunia literasi, yang seharusnya bisa memfasilitasi dan menciptakan ruang-ruang untuk literasi.
“Semua harus bergerak ke arah dan tujuan yang selaras, jangan saling mengandalkan. Terutama anak-anak muda di Lampung harus segera sadar, ini kondisi literasi semakin kritis,” sambung Devin.
4. Minta pemerintah terbuka dan rangkul kelompok literasi independen
Sebagai komunitas literasi, Lampung Literature sendiri saat ini lebih berfokus pada peningkatan kapasitas literasi dan menulis melalui berbagai program seperti kelas menulis puisi dan prosa, penerbitan buku, sayembara, panggung literasi, hingga ruang diskusi.
“Kami belum merespons isu siswa buta huruf karena fokus kami tidak ke arah sana. Tapi sebagai komunitas literasi, kami sangat prihatin. Sebenarnya itu sudah menjadi kegelisahan kami sejak lama, hanya saja belum ada kesempatan untuk melakukan sesuatu,” katanya.
Maka dari itu, ia turut mengharapkan agar pemerintah, khususnya Dinas Perpustakaan dapat lebih terbuka dan merangkul kelompok-kelompok independen telah bekerja secara konsisten di bidang literasi.
“Alangkah lucunya jika kita kelompok Literasi berteriak di jalan dan sudut-sudut kota dengan seruan 'Ayo Galakkan Literasi' tetapi pemerintah hanya diam tak merespons. Jangan membalikkan kenyataan, sesungguhnya bukan pemerintah yang membantu kita atau kelompok literasi, tetapi kelompok literasilah yang membantu pemerintah," imbuh Devin.