Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pertunjukkan Teater oleh Komunitas Berkat Yakin (KoBer)
Pertunjukkan Teater oleh Komunitas Berkat Yakin (KoBer) (Dok.IDN Times Istimewa)

Intinya sih...

  • Pertunjukan dibagi dalam enam fragmen utama, menggambarkan kehilangan ingatan ekologis, hancurnya hutan dan ladang, serta perlawanan masyarakat adat terhadap perampasan tanah.

  • Esai performance menghubungkan data krisis pangan, monokultur, dan kehilangan tanah secara agitatif dengan intensitas energi sebagai pengalaman intelektual dan motorik bagi penonton.

  • Sebanyak 10 grup tampil dengan gaya berbeda di Festival Teater Sumatra III untuk memperkuat jejaring seniman teater Sumatra dan menyoroti keprihatinan atas krisis pangan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Komunitas Berkat Yakin (KoBer) asal Lampung sukses mementaskan karya teater bertajuk “Hilang Huma(n): Sebuah Esai Performatif” pada Festival Teater Sumatra (FTS) III 2025 digelar di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, 24–25 September 2025.

Mengusung tema besar festival “Pangan: Tanah, Air, dan Ingatan”, pementasan ini berangkat dari pembacaan krisis pangan global dan nasional.

KoBer menyoroti bagaimana sistem pertanian monokultur merampas ruang hidup dan berdampak langsung pada masyarakat tradisi yang kehilangan ladang, rumah, bahkan tubuh ekologisnya.

Dengan format esai performance, karya ini sengaja menjauh dari bentuk dramatik untuk menghadirkan alternatif dalam menghubungkan data sejarah, teori ekologi, dan pengalaman konkret masyarakat adat.

1. Pertunjukan dibagi enam fragmen utama

Pertunjukkan Teater oleh Komunitas Berkat Yakin (KoBer) (Dok.IDN Times Istimewa)

Sutradara Ari Pahala Hutabarat menjelaskan, secara garis besar, pertunjukan dibagi dalam enam fragmen utama. Fragmen pertama dibuka dengan kisah nelayan yang kehilangan kepastian hidup akibat laut yang berubah simbol dari hilangnya ingatan ekologis.

Fragmen kedua menggambarkan kehancuran hutan dan ladang sebagai hilangnya horizon pengalaman tradisional. Fragmen ketiga memperlihatkan hadirnya industri dan negara melalui kebijakan agraria yang memutus relasi manusia dengan tanah.

Fragmen keempat menampilkan suara masyarakat adat yang melawan perampasan tanah dan program food estate yang justru memperparah krisis pangan. Fragmen kelima menghadirkan kontras antara tubuh kota yang kehilangan akar dan tubuh agraris yang menyimpan ingatan ekologis.

Sementara fragmen terakhir ditutup dengan refleksi politik: kebijakan pangan era Jokowi yang memperparah kerentanan petani, diakhiri dengan paduan suara menyerukan kembalinya tanah, laut, dan langit ke dalam diri manusia, lalu ditutup dengan ironi lagu Rayuan Pulau Kelapa.

2. Tentang krisis pangan, monokultur, dan kehilangan tanah

Pertunjukkan Teater oleh Komunitas Berkat Yakin (KoBer) (Dok.IDN Times Istimewa)

Ari juga mengatakan, istilah esai dipilih karena sifatnya yang terbuka dan menghubungkan data, sejarah, serta subjektivitas artistik. Menurutnya, pertunjukan ini tidak dibangun dari narasi dramatik.

"Yang kami hadirkan adalah paparan data tentang krisis pangan, monokultur, dan kehilangan tanah serta identitas dikemas secara agitatif. Tubuh aktor tidak membangun karakter atau menyalurkan emosi, melainkan sebagai media yang mentransmisikan intensitas energi, sehingga agitasi tidak hanya hadir sebagai pengalaman intelektual, tetapi juga motorik bagi penonton,” terangnya.

3. Sebanyak 10 grup tampil dengan gaya berbeda

Pertunjukkan Teater oleh Komunitas Berkat Yakin (KoBer) (Dok.IDN Times Istimewa)

Selain membuka ruang refleksi atas isu pangan dan ekologi, Ari mengatakan, Festival Teater Sumatra III juga memperkuat jejaring seniman teater Sumatra. Sebanyak 10 grup tampil dengan gaya berbeda, namun sama-sama menyoroti keprihatinan atas krisis pangan.

"Melalui partisipasi ini, KoBer Lampung berharap karyanya bisa menyentuh kesadaran publik, peneliti, hingga pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan berbasis kearifan lokal khususnya agar Kementerian Kebudayaan lebih memberi perhatian pada isu pangan dan ekologi," ujarnya.

Editorial Team