Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekeringan. (IDN Times/Aditya Pratama

Bandar Lampung, IDN Times - Ada kebiasaan baru yang beberapa bulan terakhir ini dilakoni warga Desa Gandong, Kecamatan Bringin, Ngawi, Jawa Timur. Mereka berbondong-bondong menembus hutan jati dan menapaki perbukitan sejauh dua kilometer menuju kawasan Waduk Pondok. Tak cukup sekali, sehari bahkan bisa sampai lima kali. 

Air di rumah mereka kini tak menetes lagi. Kemarau membuat sumur-sumur mengering. Bagi warga Desa Gandong, mata air Waduk Pondok yang bisa dijangkau saat waduk mengering menjadi harapan terakhir.

"Susah banget jalannya. Jauh sekali dari rumah. Jalannya juga naik turun gunung. Mata air ini atau belik jadi andalan warga setiap sulit air di musim kemarau. Bila sulit air, cari ke lubang di pinggir waduk untuk masak dan minum. Mandi pun juga di sini sekalian," kata Sulastri, salah satu warga Desa Gandong, Kamis 7 September 2023.

Sejatinya, ada empat mata air di pinggir Waduk Pondok. Namun, kini hanya tersisa dua. Sementara dua lainnya tertutup lumpur kering. Mata air ini sebenarnya sudah ada sejak dulu dan beruntung warga bisa memanfaatkannya saat kemarau. 

“Yang jelas saat ini susah banget air bersih, sumur tidak keluar airnya lagi. Hanya mata air ini jadi andalan warga," kata Tarmi, warga lainnya.

Kesulitan air juga dirasakan warga Situbondo, Jawa Timur. Bahkan saat ini sumber mata air yang ada di sekitar lereng Gunung Putri mulai mengering. Kondisi kekeringan ini membuat warga memprioritaskan air untuk minum dan memasak daripada untuk membersihkan diri. Akibat puasa mandi ini, mereka mulai mengeluhkan penyakit gatal-gatal.

Sumiyati Nur (52), warga Dusun Sokaan, Desa Gunung Putri, Kecamatan Suboh Situbondo mengatakan, sumber mata air di wilayahnya sudah mulai mengecil. Padahal, sumber air tersebut merupakan satu-satunya harapan bagi masyarakat sekitar di saat musim kemarau ini. Terpaksa, warga mencari air ke dusun hingga desa sebelah.

Sumiyati bercerita keluarganya sudah mulai terserang penyakit kulit seperti gatal-gatal lantaran jarang mandi. Puasa mandi ini terpaksa ia lakukan mengingat air bersih sangat langka. Mandi hanya dilakukan jika stok air berlebih.

Sulitnya mendapat air bersih juga dirasakan warga Provinsi Jawa Tengah. Nunung yang tinggal di kawasan Palir Asri, Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, mengatakan, sudah beberapa minggu terakhir sulit mendapat air bersih di kediamannya. Musim kemarau menyebabkan sumur bor dan sumur artesis di lingkungan tempat tinggalnya tidak mengeluarkan air. “Mau wudhu saja gak bisa, apalagi mandi,” kata Nunung.

1. Belanja ratusan ribu rupiah demi air bersih, ke mana BPBD?

Ilustrasi dropping air bersih kepada warga. (IDN Times/Daruwaskita)

Cerita di atas hanya contoh kecil kesulitan yang dihadapi warga akibat kemarau berkepanjangan. Tidak sedikit warga yang memutuskan membeli air bersih lantaran sudah kehabisan akal mencari solusi.

Salah satu warga di Sekunder C, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat, Abdurahim mengatakan, beberapa hari terakhir dia terpaksa harus membeli air galon untuk konsumsi.

“Kondisi air hujan susah, jadi sebagian beli. Saya sempat beli. Kalau sekarang hujan ditadah kan airnya asam. Yang buat minum jadinya beli, biasanya kalau hujan ditampung airnya kita minum pakai air itu,” kata Abdurahim.

Air hujan selama ini menjadi andalan warga, mengingat wilayahnya, kata Abdurahim, belum tersentuh PDAM, sehingga kebutuhan Mandi, Cuci, Kakus (MCK) biasanya menggunakan air tadah hujan. Beruntung masih ada sungai yang mengalir, sehingga Abdurahman dan warga di Sekunder C masih bisa memanfaatkannya untuk mandi dan cuci.

“Kita gak ada sumur bor, di sini pakai air sungai saja. Air sungai ini pun hitam juga kondisinya, kan air hutan,” ujarnya.

Lantaran belum ada bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Abdurahim biasanya membeli air bersih seharga Rp3.000- Rp8.000 per galon dari para penjual air bersih keliling.

Biaya tambahan untuk membeli air bersih juga terjadi di beberapa wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Masyarakat di sejumlah daerah yang tidak memiliki potensi atau sumber air bersih, terpaksa harus membeli Rp350 ribu hingga Rp400 ribu per tangki.

"Sejak bulan Juni untuk kawasan Ekas Jerowaru, Lombok Timur, selalu beli air untuk kebutuhannya. Misalnya masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil, dari mana airnya kalau gak membeli. Mereka beli per tangki Rp350 ribu sampai Rp400 ribu," kata Kepala Pelaksana BPBD NTB Ahmadi di Mataram, Jumat 1 September 2023.

Warga Dusun Panggung Barat, Desa Selengan, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Istar, menyebutkan warga yang mampu terpaksa membeli air mulai dari harga Rp175 ribu per truk untuk ukuran 8.000 liter. Air bersih dibeli dari penjual yang keliling pada setiap musim kemarau. Harga air bersih yang dibeli warga juga dipatok berdasarkan jarak. Semakin jauh lokasinya, harganya melonjak sampai di atas Rp200 ribu.

Bagi warga yang tidak memiliki uang, mereka mengambil air bersih dari sungai dan sumur bor yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari pemukiman warga. "Kalau untuk mandi kita ke sungai. Makanya kami di sini satu kali mandi dalam sehari karena lokasinya jauh," tutur Istar.

Ia menambahkan, sebetulnya kekeringan yang terjadi di dusunnya terus berulang setiap tahun. Bahkan, sejak ia kecil Dusun Punggung Barat sudah menjadi langganan kekeringan. "Harapan kami mudah-mudahan ada sumur bor. Karena air ini kami butuhkan," ujarnya.

Kepala Dusun Panggung Barat Desa Selengan Suhardi menyampaikan, kekeringan sudah melanda sejak Maret lalu. Ia menyebutkan jumlah warga terdampak kekeringan di dusun tersebut sebanyak 165 jiwa.

"Dengan kondisi seperti ini, kalau yang mampu membeli air mengeluarkan uang sampai Rp200 ribu. Ini agak miris ketika musim kemarau seperti ini. Masyarakat harus mengeluarkan uang, harapan kami kepada pemerintah tolong kami dibantu sumur bor," katanya.

Meski bencana kekeringan terus berulang setiap tahun, BPBD NTB menyatakan tidak memiliki anggaran untuk distribusi air bersih kepada masyarakat terdampak. Sehingga, salah satu upaya akan dilakukan “mengamen” ke BUMN/BUMD dan perusahaan swasta yang berada di NTB

Kepala Pelaksana BPBD NTB Ahmadi menjelaskan, kebutuhan air bersih untuk masyarakat terdampak kekeringan cukup besar. Sehingga, butuh kolaborasi semua pihak bukan saja Pemda, tetapi juga pihak swasta dan BUMN/BUMD di NTB untuk ikut membantu masyarakat mengalami krisis air bersih.

BPBD imbuhnya, telah mengajukan anggaran sekitar Rp13 miliar ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk penanganan kekeringan di NTB. Sebelumnya, pihaknya berencana mengajukan anggaran sekitar Rp70 miliar, tetapi melihat anggaran di BNPB juga terbatas, sehingga tidak berani mengajukan anggaran yang terlalu besar.

2. Wilayah-wilayah kekeringan di Indonesia

Editorial Team

Tonton lebih seru di