Sarana penyiaran radio pernah jaya di masanya. Tetapi seiring kemajuan zaman, media informasi dan hiburan jadul ini harus mampu berkompetisi di era millennials. Meskipun begitu, eksistensi industri radio masih memperoleh tempat di Kalimantan Timur (Kaltim).
Setidaknya itu yang diyakini Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kaltim Yovanda. Ia mengatakan, media radio masih jadi pilihan bagi masyarakat. Terbukti, saat ini masih ada 45 perusahaan radio komersial dan komunitas yang tetap eksis di Kaltim.
“Semua radio ini masih eksis, mereka masing-masing punya pendengar setia. Dan 45 perusahaan radio itu, terdaftar di KPID,” ungkap Yovanda.
KPID Kaltim menyatakan, industri radio berada dalam puncak kejayaan tahun 2003 hingga 2005 silam. Di saat itu, menurut Yova radio menjadi sarana informasi paling memperoleh tempat baik di kalangan remaja maupun para generasi tua.
“Dulu di Kaltim, ramai sekali. Anak muda ponselnya tersemat fitur radio. Saya juga begitu. Tapi semakin ke sini, terganti sama suguhan media digital. Bahkan channel radio kegemaran saya juga sudah tidak ada. Mungkin merubah gaya juga,” sebutnya.
Hingga berjalannya waktu tepatnya tahun 2007, Yova mengakui mulai terjadi perubahan drastis sektor digital informasi di Benua Etam. Radio menjadi salah satu sarana informasi yang terdampak langsung pengembangan zaman tersebut.
“Kondisi radio memang saat ini memang memiliki tantangan besar. Sebab, orang sudah jarang mendengar radio. Apalagi dengan adanya Podcast, medsos, YouTube, dan televisi," paparnya.
Meskipun termasuk penikmat radio, Yova menyaksikan beberapa stasiun radio terpaksa gulung tikar karena kehilangan pendengar. KPID Kaltim mencatat masih tersisa sebanyak 9 stasiun radio komunitas mampu bertahan, sisanya adalah radio komersial.
“Radio komunitas ini tentu masih hits di telinga pendengarnya yang rata-rata anggota komunitasnya. Ada juga pendengar yang kebetulan menyukai penyiarnya," sebutnya.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPDI) Jawa Barat (Jabar) Achmad Abdul Basith menuturkan, jumlah pendengar radio di Jabar, khususnya di Kota Bandung masih tinggi. Menurutnya, dari data yang dihimpun KPID Jabar jumlah warga yang mendengarkan radio tinggi di angka 80 persen. Namun, data ini belum menjabarkan berapa lama setiap orang tersebut mendengarkan radio setiap harinya.
Meski demikian, presentase ini menjadi prestasi yang baik untuk lembaga siaran audio tersebut. Terlebih di saat menjamurnya media sosial, radio masih memiliki tempat di hati masyarakat.
"Radio ini tahan banting karena sejak awal kemunculannya ada beberapa masa di mana datang televisi, internet, media online, hingga media sosial, radio tetap bisa eksis," ujar Basith ketika berbincang dengan IDN Times, Jumat (20/8/2021).
KPID Jabar mencatat jumlah kanal radio di Kota Bandung mencapai 54. Terdiri dari 48 radio swasta, 2 radio komunitas dan 4 radio publik. Jumlah radio yang eksis di Bandung selama ini tidak pernah berkurang. Hanya saja frekuensi radio tersebut kerap berpindah tangan tergantung kondisi manajemen radio.
"Kita lebih dari 50 radio ada di cekungan Bandung. Secara jumlah frekuensinya tidak ada berkurang," ungkap Basith.
Jumlah frekuensi ini, lanjutnya, termasuk paling padat di satu kabupaten/kota. Itu tidak terlepas dari sejarah radio di Bandung yang ada di Malabar (Kabupaten Bandung)," ungkap Basith. Saking eksisnya radio di Kota Bandung, Pemkot Bandung bahkan sampai membuat taman radio yang berada di pertigaan Jalan Ir H Djuanda (Dago) dan Jalan Ranggagading.
Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Lampung, Sunarminto menyebut, kehadiran radio di masa sekarang lebih dikesampingkan. Itu lantaran masyarakat umumnya lebih menikmati berselancar di media sosial (medsos).
Dipicu ditinggal pendengar imbuhnya, kondisi ini ikut berdampak terhadap sumber pemasukan dari sisi iklan. Pasalnya, para pengiklan lebih memilih memasarkan produknya via medsos dibandingkan radio.
"Sebelumnya ada televisi, tapi sekarang sudah ada Instagram, Facebook, dan lain-lain. Akhirnya, kita mencari jalan agar radio bisa tetap survive di tengah gempuran dunia digitalisasi," ujarnya.
Guna menutup biaya operasional agar 'dapur' tetap ngebul, stasiun-stasiun radio mencoba peruntungan lain yaitu, menawarkan sekaligus menjual obat-obatan produk herbal. "Ini cukup efektif, sudah berjalan jauh sebelum pandemik dan bukan cuma di Lampung, tapi juga di radio luar daerah lain," sambung dia.
Menurut Sunarminto, para pengelola station radio kini perlu mengedepankan sisi kreativitas. Hal tersebut bisa bersumber dari segi apapun. Contohnya, menawarkan produk herbal di siaran radio.
"Kita dipaksa mencari cara untuk tetap radio bisa berjalan, yang penting bisa mendatangkan income halal. Media radio bukan untuk menunggu gawang saja, karena ini tidak akan membuat hidup," ucapnya.
Ke depan, ia pun berkeyakinan dunia radio akan terus ada dan mengudara dalam kurun waktu cukup lama. "Radio bakal tetap berjalan dan harus jalan," kata Sunarminto.
Alih-alih merugi dengan hadirnya pandemik COVID-19, Sunarminto menyampaikan, justru pandemik menghadirkan hikmah tersendiri untuk geliat dunia radio di Tanah Air, khususnya Provinsi Lampung. Itu dikarenakan tren positif ditunjukan dari sisi pendengar.
"Kalau dari hasil survei Nielsen, pendengar radio justru semakin meningkat, karena orang lebih banyak di rumah, sehingga membutuhkan banyak hiburan," imbuh dia.
Tim Penulis: Tama Wiguna, Jovanka Okta, Pito Agustin Rudiana, Anggun Puspitoningrum, Rangga Erfizal, Fatmawati, Sri Wibisono, Debbie Sutrisno, Ayu Afria Ulita Ermalia, Sahrul Ramadan, Masdalena Napitupulu, Muhammad Iqbal.