Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya (Dok/Humas IIB Darmajaya)
Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya (Dok/Humas IIB Darmajaya)

Intinya sih...

  • Satgas PPKS sebagai garda terdepan lawan kekerasan di kampus

  • Tak hanya kekerasan seksual, perundungan juga jadi fokus utama

  • Dukungan penuh dari direktorat kemahasiswaan dan organisasi kampus

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Kekerasan seksual dan perundungan masih menjadi persoalan serius di lingkungan pendidikan tinggi. Banyak mahasiswa menjadi korban, secara fisik maupun psikologis, akibat praktik senioritas menyimpang, budaya organisasi menormalisasi tekanan, hingga kurangnya sistem perlindungan berpihak pada korban. Melawan hal ini bukan hanya soal regulasi, tapi soal membangun budaya kampus aman, sehat, dan inklusif.

Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya sebagai salah satu perguruan tinggi di Lampung menunjukkan langkah nyata menciptakan ruang bebas kekerasan. Tak hanya fokus pada pencegahan kekerasan seksual, kampus ini juga menolak keras segala bentuk perundungan.

Komitmen ini dijalankan secara serius lewat keberadaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan bagi mahasiswa.

1. Satgas PPKS sebagai garda terdepan lawan kekerasan di kampus

Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya (Dok/Humas IIB Darmajaya)

Satgas PPKS IIB Darmajaya hadir sebagai langkah konkret dalam menciptakan lingkungan akademik aman, manusiawi, dan mendukung tumbuh kembang seluruh mahasiswa. Ketua Satgas PPKS, Ambar Aditya Putra, menegaskan, tidak ada tempat bagi kekerasan seksual maupun praktik senioritas menjurus pada bullying di kampus biru ini.

Menurut Ambar, kekerasan tak melulu soal fisik atau seksual. Tekanan psikologis kerap dialami mahasiswa baru akibat tradisi senioritas keliru pun termasuk bentuk kekerasan terselubung.

“Kadang ada yang menganggap itu bagian dari tradisi. Padahal, kalau sudah membuat orang lain tertekan, takut, bahkan trauma, itu jelas bentuk kekerasan,” tegasnya.

Menurutnya, satgas PPKS diisi oleh dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa yang telah melalui pelatihan khusus. Mereka tidak hanya bertugas saat ada kasus, tetapi juga aktif melakukan edukasi sejak awal mahasiswa masuk, khususnya melalui kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Kanal pelaporan tersedia pun dirancang agar aman, rahasia, serta menangani kasus dengan pendekatan humanis dan berpihak pada korban.

2. Tak hanya kekerasan seksual, perundungan juga jadi fokus utama

Illustrasi Bullying (Pexels/Yan Krukau)

Ambar menjelaskan, satgas PPKS juga terbuka terhadap laporan perundungan yang terjadi di lingkungan organisasi kampus. Ini mencakup berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh senior terhadap junior, baik dalam organisasi mahasiswa (ormawa) maupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

“Mahasiswa harus tahu, mereka berhak merasa aman, dihormati, dan diperlakukan setara, termasuk di organisasi kemahasiswaan,” kata Ambar.

Ia menegaskan, tekanan psikologis dan budaya "tempa mental" dengan cara intimidatif tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun. Satgas mendorong mahasiswa untuk melawan praktik ini secara berkelanjutan, bukan hanya saat ada kasus viral.

"Dengan pendekatan edukatif dan pendampingan konsisten, Satgas PPKS Darmajaya mengubah paradigma lama yang membenarkan kekerasan sebagai bagian dari pembentukan karakter. Kini, kampus mendorong penguatan mental dan jiwa kepemimpinan mahasiswa melalui pendekatan suportif dan inklusif," terangnya.

3. Dukungan penuh dari direktorat kemahasiswaan dan organisasi kampus

Illustrasi Bullying (Pexels/Yan Krukau)

Direktorat Kemahasiswaan dan Rumah Tangga IIB Darmajaya turut memberikan dukungan penuh. Direktur Kemahasiswaan, Yan Aditiya Pratama, bersama seluruh unit kemahasiswaan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan UKM, aktif membangun sistem organisasi kampus bebas dari tekanan dan diskriminasi.

“Membangun mental tidak harus dengan menakut-nakuti. Kita bisa membentuk karakter kuat dengan cara yang suportif dan penuh empati,” ujar Yan Aditiya.

Ia menyebut, seluruh elemen kampus harus bergerak bersama menciptakan ruang aman bagi mahasiswa, termasuk dengan mengganti pola pikir lama yang menjadikan kekerasan sebagai alat pembinaan.

Langkah ini mendapat sambutan positif dari para mahasiswa. Mereka merasa kampus bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai ruang untuk tumbuh dengan rasa aman, nyaman, dan dihormati. Budaya saling menghargai dan mendukung kini menjadi nilai utama yang terus ditanamkan di Darmajaya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team