Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mahasiswa baru (pexels.com/George Pak)
ilustrasi mahasiswa baru (pexels.com/George Pak)

Intinya sih...

  • Lonjakan kuota penerimaan mahasiswa baru PTN menjadi pemicu penurunan mahasiswa baru di PTS

  • Kampus swasta masuk "ICU" karena minimnya mahasiswa baru dan masifnya penerimaan mahasiswa baru di PTN

  • Perlu aturan ulang regulasi penerimaan mahasiswa baru untuk menjaga keberlangsungan PTS dan menyeimbangkan jumlah mahasiswa antara PTN dan PTS

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Bagi sebagian besar lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat, melanjutkan jenjang pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi tujuan utama ketimbang kuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Alasan dikemukakan biaya pendidikan lebih terjangkau, reputasi,  akreditasi dan sebagainya.

Tapi kondisi itu tidak berlaku bagi Rahma Yunia (19). Ia tercatat mahasiswa baru Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya Kota Bandar Lampung. Baginya, kuliah di PTS bukan sekadar “pelarian” setelah gagal di PTN, melainkan pilihan sadar yang sudah dipertimbangkan matang-matang jauh hari.

Rahma bercerita, sejak berseragam putih abu-abu, sudah berencana kuliah di bidang teknologi dan bisnis digital. Setelah mencari informasi berbagai kampus, hatinya tertambat di IIB Darmajaya dinilai lebih sesuai dengan cita-cita dan minatnya.

“Awalnya banyak teman ikut seleksi PTN, tapi saya merasa tidak harus ikut-ikutan. Darmajaya punya prodi sesuai minat saya, kampusnya juga dekat dari rumah bisa lebih hemat biaya hidup. Jadi bukan karena tidak keterima PTN, tapi memang dari awal saya pilih ke sini,” ujarnya dimintai keterangan, Jumat (26/9/2025).

Pascamenjalani perkuliahan baru-baru ini, Rahma menuturkan, fleksibilitas di PTS setempat cukup lebih menguntungkan. Pasalnya, sistem belajar yang lebih aplikatif membuatnya yakin bisa cepat beradaptasi dengan dunia kerja. “Kalau di sini kan lebih banyak praktik, laboratoriumnya juga lengkap. Itu yang bikin saya tertarik,” ucap dia.

Terkait pembiayaan, ia mengakui kuliah di PTS memang berbeda dengan PTN. Di IIB Darmajaya, kisaran UKT per semester sekitar Rp5 juta-Rp7 jutaan, itu tergantung program studi. Namun, biaya itu cukup sepadan dengan fasilitas didapat.

“Kalau dibandingkan dengan PTN, mungkin sedikit lebih tinggi. Tapi ada pilihan beasiswa, termasuk dari kampus sendiri, ada juga KIP Kuliah tinggal rajin cari informasi saja,”  lanjutnya.

Pendapat serupa disampaikan Gita Pratiwi, salah satu mahasiswa baru (maba) Universitas Multidata Palembang (MDP). Gen Z satu ini memilih menuntut ilmu di PTS dengan sengaja. Bukan karena alasan tidak diteterima di PTN, tapi ia mendaftar PTS sejak lulus SMA karena ingin mempelajari teknologi komputer.

Dia menyampaikan, salah satu alasannya memilih MDP karena banyak menerima informasi jika kuliah di sana akan mendapatkan kesempatan dibiayai kuliah hingga selesai magister bila sudah lulus strata 1. Selain itu, Gita juga tak ingin repot karena harus bergelut dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terkadang masih tinggi untuk kategori PTN.

Kuliah di swasta katanya, sudah jelas dan rinci soal uang biaya masuk, per semester hingga biaya paket sampai lulus. Bukan menganggap PTN ribet, tetapi dia menilai, untuk mencari ilmu bisa di mana saja. Terpenting mau lebih baik dan belajar lebih giat. Meski memang, lanjutnya, mengambil gelar di PTS harus menyiapkan dana matang.

"Sebenarnya, PTN atau PTS itu kan kita yang mau belajar ya, gak usah gengsi karena gak masuk PTN. Bukan juga mau gaya-gayaan, tren kuliah di swasta karena mahal. Tapi ini kan pilihan," kata dia.

Pendapat lainnya disampaikan Umam, mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam) Tangerang Selatan, Provinsi Banten lebih memilih melanjutkan pendidikan di kampus swasta dibanding PTN. Alasannya, biaya kuliah di Unpam jauh lebih terjangkau dan tersedia kelas bagi pekerja seperti dirinya.

Menurut Umam, proses masuk PTN bukan hanya sulit karena seleksi yang ketat, tetapi juga memerlukan biaya yang lebih besar. Sementara di Unpam, mahasiswa cukup membayar maksimal Rp1.200.000 per semester.

Umam menuturkan, harus bekerja untuk membiayai kuliah. Hal itu ia lakukan agar tidak membebani kedua orang tuanya. “Saya kerja sambil kuliah. Tidak mau menyusahkan orang tua. Karena di sini ada kelas pekerja, jadi bisa menyesuaikan waktu,” ujarnya.

Itu sekelumit cerita para Gen Z yang memantapkan hati memilih PTS sebagai tujuan menuntut ilmu di jenjang pendidikan tinggi. Tapi disatu sisi, ternyata ada tantangan mengintai PTS Indonesia saat ini yaitu, jumlah mahasiswa baru yang kuliah di kampus swasta tren setiap tahun disinyalir menurun. Itu lantaran masifnya kuota penerimaan mahasiswa baru PTN melalui berbagai jalur penerimaan. Berikut berbagai ulasan IDN Times rangkum dari berbagai daerah di Indonesia

1. Lonjakan kuota maba PTN jadi pemicu

Gerbang Utama Kampus ITERA, Lampung Selatan, Provinsi Lampung. (IDN TimesTama Yudha Wiguna)

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengembangan Bisnis, Humas dan Pemasaran IIB Darmajaya, Muprihan Thaib mengatakan, penerimaan mahasiswa baru tahun ini hanya sekitar 1.200 orang. Jumlah mahasiswa baru di PTS diakui masih jauh dari masa normal sebelum pandemik mampu menampung 1.500–1.700 mahasiswa baru.

Menurutnya, ada tiga faktor utama mengakibatkan minimnya mahasiswa baru (Maba) terserap oleh PTS. Mulai dari kondisi ekonomi masyarakat di masa sekarang, kebijakan efisiensi di berbagai sektor, dan terutama lonjakan kuota PTN.

“Di Lampung ini PTN makin banyak, tidak hanya Unila, ada Itera, Polinela, Poltekkes, UIN. Kuota mereka juga makin tinggi. Pertanyaannya, apakah betul jumlah yang mereka terima sudah seimbang dengan kapasitas ruang dan dosen? Sementara kami di swasta justru dikontrol ketat, baik soal fasilitas maupun kapasitas penerimaan mahasiswa,” ujarnya dikonfirmasi, Jumat (26/9/2025).

"Permasalahan ini menjadi tugas penting untuk pemerintah ke depannya yang harus diperhatikan, kalau tidak ada standar perimbangan antara mahasiswa dengan dosen," lanjut dia.

Bila kondisi dan situasi semacam ini terus dibiarkan, kata Muprihan, secara otomatis tren penurunan mahasiswa di PTS akan berlanjut. Bahkan melalui Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), IIB Darmajaya sudah ikut mendorong regulasi agar PTS juga mendapat kuota khusus dari pemerintah.

Direktur Marketing & Relations Department UK Petra, Jessie Monika menjelaskan, penerimaan mahasiswa baru tahun ini menurun. Meski ia tidak menyebut secara rinci, penurunan mahasiswa baru yang terjadi di UK Petra ini sebenarnya tidak hanya pada 2025 ini saja, tapi juga terjadi tahun-tahun sebelumnya

Tercatat, pada 2020 ada sebanyak 1.740 mahasiswa baru. Kemudian meningkat 1.898 mahasiswa tahun 2021. Tapi turun tahun 2022 menjadi 1.700 mahasiswa dan tahun 2024 sebanyak 1.216 mahasiswa.

Jessie pun mengakui ada beberapa faktor yang memengaruhi. "Memang PTN semakin banyak kuotanya yang diterima itu cukup berpengaruh. Ini belum termasuk universitas luar (negeri) yang sampai masuk dan buka kampus di dalam negeri," lanjut dia

Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Prof. Sunardi menilai, aturan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) PTN khususnya berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) memengaruhi jumlah mahasiswa PTS. Alasannya, kuota PMB PTNBH semakin besar. “Sedemikian banyak jalur bagi calon mahasiswa baru untuk daftar, dan penutupan PMB yang hingga Juli atau bahkan Agustus,” ujarnya, Jumat (26/9/2025) malam.

Sunardi mengatakan, ruang yang besar untuk PTNBH dalam penerimaan mahasiswa, mempersempit ruang gerak PTS untuk segera mendapatkan mahasiswa. “Sebagian masih menganggap PTN apa pun akreditasinya, unggul atau belum, atau bahkan Prodi baru pun akan tetap dikejar masyarakat,” ujarnya.

Di sisi lain, PTS yang hampir seluruh pembiayaan dari masyarakat, hibah dari pemerintah yang sangat minim dibanding PTN untuk memperoleh akreditasi unggul harus berproses sangat panjang dalam eksistensinya. “Tapi tetap belum menjadi pilihan yang sejajar dengan PTN. Khusus untuk Jogja kompetisi ini makin terasa, karena dalam satu provinsi ada lima PTN,” imbuhnya.

Mengutip berbagai sumber data, Sunardi menjelaskan PTN di Indonesia sebanyak 125 dengan jumlah mahasiswa sekitar 3,4 juta. Sementara PTS sekitar 3.000 kampus dengan mahasiswa sekitar 4,5 juta.

“Jumlah PTN dan PTS sangat tidak seimbang, tapi jumlah mahasiswa hampir sama. Maknanya PTS sangat banyak dengan mahasiswa yang sedikit, rata-rata 1.500, sangat sedikit apalagi dari mereka sendirilah untuk secara mandiri membiayai operasional pendidikan,” ucapnya.

Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Gregorius Sri Nurhartanto, mengatakan persoalan PTS minim menerima mahasiswa baru tidak hanya terjadi di DIY, tapi merupakan fenomena nasional. Banyak PTS yang mengeluh, karena supply mahasiswa menurun. “Faktor utama kemarin ini program jalur mandiri yang dikelola PTN itu sungguh sangat tidak masuk akal,” ujarnya.

Ia juga menyentil salah satu PTN yaitu Universitas Terbuka dengan slogannya yang seolah-olah merendahkan harkat martabat perguruan tinggi. “Yang menjadi sorotan PTS, slogan yang dibuat UT. Masuk perguruan tinggi tanpa tes. Semua bisa masuk, seolah-olah merendahkan harkat martabat perguruan tinggi, sebagai puncak pendidikan di Indonesia,” tegasnya.

Humas Universitas Hamzanwadi Kabupaten Lombok Timur (Lotim), Dr. Halqi, mengakui betapa sulitnya bersaing dengan PTN dari sisi penerimaan mahasiswa baru. Menurutnya, PTN saat ini sangat leluasa membuka penerimaan Maba tanpa batasan yang ketat, terutama melalui jalur mandiri.

"Selain itu, PTN memiliki jatah beasiswa yang jauh lebih besar karena memiliki pagu anggaran khusus dari APBN. Ini sangat berbeda dengan PTS yang mendapatkan jatah terbatas untuk program beasiswa dari pemerintah, seperti KIP Kuliah," ujar Halqi.

Pandangan senada disampaikan oleh Pakar Manajemen Pendidikan Universitas Gunung Rinjani (UGR), Dr. Karomi. Ia menilai, persaingan antara PTN dan PTS menjadi sangat tidak seimbang pasca diterapkannya kebijakan PTNBH. Kebijakan ini memberikan otonomi lebih kepada PTN untuk mengelola penerimaan mahasiswa, termasuk membuka berbagai gelombang seleksi.

"Karena kebijakan itu, PTN boleh membuka penerimaan mahasiswa baru berbagai gelombang. Ini berdampak sebagian besar terhadap kampus swasta di daerah maupun nasional," jelas Karomi.

Jumlah Maba di UGR imbuhnya, merosot lebih dari 60 persen sejak kebijakan PTNBH diterapkan. Persoalan yang sama dialami PTS lainnya terutama yang tidak memilki basis mahasiswa.

2. Ada kampus swasta di Yogyakarta masuk “ICU”

Universitas Atma Jaya Yogyakarta (sdm.uajy.ac.id)

Ketua APTISI Wilayah II-B Lampung, Firmansyah Y Alfian menjelaskan, kontribusi PTS selama ini tidak bisa dipandang sebelah mata, termasuk di Provinsi Lampung. Berdasarkan data BPS Provinsi Lampung, dari 22 persen lulusan SMA sederajat melanjutkan jenjang kuliah, hanya sekitar 10 persen masuk PTN. Sisanya, sekitar 12–13 persen masuk ke PTS.

Namun demikian, angka 12-13 persen pada penerimaan maba di lingkungan PTS itu terbagi ke lebih dari sekitar 70 PTS di Provinsi Lampung. Artinya, rata-rata satu kampus hanya mendapatkan sekitar 200 mahasiswa baru lebih atau kurang dari jumlah tersebut.

"Pada hari ini, ada PTS hanya menerima 20 sampai 30 mahasiswa, padahal kampus tersebut memiliki beberapa pilihan prodi. Jadi mari sama-sama meningkatkan APK, jangan hanya fokus ke PTN,” tegasnya.

Ketua APTISI Jawa Tengah, Edi Noersasongko mengeluhkan kondisi kampus-kampus swasta jumlah mahasiswa baru menurun. Ia bahkan sampai bertemu Gubernur Jateng Ahmad Luthfi di Gubernuran Semarang guna meminta solusi atas persoalan tersebut.

"Kami ada pertemuan dengan gubernur untuk sambat. Mohon bantuan kepada gubernur agar diberikan jalan keluar, di antaranya diberikan beasiswa dari perusahaan-perusahaan yang ada di Jawa Tengah,” kata Edi.

Ia menambahkan, Gubernur Jateng juga memberikan saran kepada seluruh kampus swasta agar menjalin kerja sama dengan Pemprov Jawa Tengah. Ahmad Luthfi juga menjanjikan memberi fasilitas bagi kampus swasta. "Gubernur akan memfasilitasi untuk kerja sama dengan berbagai perusahaan yang ada,” jelas Edi.

Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V Yogyakarta membeberkan sejumlah PTS di wilayah setempat menghadapi kondisi sulit saat ini. “Ada enam PTS tergolong masuk ‘ICU’ (Intensive Care Unit). Menghadapi masalah keuangan PTS, sempat ada negosiasi untuk ke pengelolaan baru,” ujar Kepala LLDIKTI Wilayah V Yogyakarta, Prof Setyabudi Indartono, Jumat (27/9/2025).

Berdasarkan informasi yang dihimpun lanjutnya, ada PTS yang jumlah mahasiswa barunya meningkat. Ada juga yang relatif stagnan, tapi ada yang lebih sedikit jumlah mahasiswa barunya dibanding tahun sebelumnya. Kebijakan PTN yang sering disebut merugikan PTS dalam upaya menerima mahasiswa baru ia mengakui dampak tersebut memang dirasakan oleh PTS.  “PTN, PTNBH dianggap kapal keruk, ada yang mengistilahkan pukat harimau, kira-kira yang bisa menghabiskan potensi,” ucapnya.

Setyabudi menjelaskan, saat ini dari 100 PTS yang ada di Yogyakarta, baru 9 terakreditasi unggul dan ada 180 program studi unggul. Ia bahkan memberi gambaran jika ada satu parsel dengan berbagai macam buah, tapi buah yang layak dikonsumsi hanya 9 persen. “Kira-kira mau beli gak?, kira-kira seperti itu. Jadi tidak hanya berusaha mencari meningkatkan animo mahasiswa, tapi juga nilai tawar kita,” ucapnya.

Kejadian serupa juga terjadi di PTS Sumatra Selatan. Beberapa kampus PTS besar di Sumsel bahkan tak lagi bisa menampung dua ribu sampai tiga ribu mahasiswa. Bukan karena tak ada kuota melainkan minat masyarakat yang turun.

"Istilahnya PTS harus berdarah-darah cari mahasiswa. Suatu saat jika kondisi kekurangan mahasiswa terus berlanjut bisa colaps kampus tersebut," jelas Ketua APTISI Sumsel-Babel Wilayah IIA, Muhammad Helmi kepada IDN Times, Sabtu (27/9/2025).

Ia pun mengamini, salah satu faktor penyebab anjloknya jumlah mahasiswa baru di PTS adalah semakin masifnya penerimaan mahasiswa baru di PTN. Saat ini, PTN yang sudah berstatus PTNBH memiliki otonomi penuh untuk membuka jalur penerimaan, termasuk jalur mandiri. "PTS jadi pilihan kedua. Kalau sudah diterima di PTN, tentu mahasiswa enggan melirik swasta," jelas dia.

Status PTNBH yang disandang PTN membuat mereka memiliki otonomi sendiri untuk menjaring mahasiswa lebih luas. Jika sebelumnya standar penerimaan mahasiswa lewat jalur undangan dan tertulis, kini jalur mandiri semakin masif dibuka oleh PTN.

Hasilnya, kuota mahasiswa PTN mengalami peningkatan. Bahkan PTN di Sumsel dapat menampung sekitar 5.000-9.000 ribu mahasiswa baru setiap tahunnya. Hal ini juga menjadi penyebab penurunan yang ada baik ditingkat provinsi maupun nasional.

Periode penerimaan mahasiswa yang lebih panjang di PTN turut menjadi pengaruh lambatnya PTS menerima mahasiswa baru. Hal ini menjadi poin penting yang diperjuangkan APTISI pusat sehingga ada keputusan di tahun ini penerimaan mahasiswa di PTN hanya berlangsung hingga Juli 2025.

"Sebelumnya bisa berlangsung hingga Agustus, membuat PTS kehabisan calon mahasiswa. Kalau PTN terus buka jalur sampai Agustus, otomatis kampus swasta makin terhimpit. idealnya penerimaan PTN harus dibatasi sampai bulan Mei, agar PTS masih punya peluang bersaing," ungkap Helmi.

"Sebenarnya itu, kita di APTISI ini memperjuangkan kalau bisa tidak ada lagi jalur mandiri ini ke pemerintah pusat. Supaya memberi kesempatan kepada PTS bisa menampung mahasiswa," jelas dia.

Selain faktor keterbatasan biaya, makin banyaknya perguruan tinggi ikatan dinas juga menjadi daya tarik baru bagi calon mahasiswa. Hal ini membuat sebagian anggaran pendidikan teralokasi ke sana, yang seharusnya bisa membantu PTS.

"Banyak yang ingin kuliah, tapi kami di swasta hanya bisa menerima sesuai alokasi. Kalau mau digratiskan (beasiswa kampus) semua berat, apalagi masih harus membayar gaji dosen," beber dia.

Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Jawa Barat Dr. Ricky Agusiady menjelaskan, perubahan kampus negeri menjadi PTNBH memiliki kemandirian yang lebih luas dalam mengelola keuangan, akademik, dan organisasi, serta dapat membuat keputusan secara mandiri sesuai dengan tujuannya sendiri.

Ricky menjelaskan, permasalahan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Asosiasi PTS termasuk pihak yayasan sudah berulang kali melakukan komunikasi hingga disksusi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi. Namun, hingga sekarang tidak ada solusi kongkret dalam menjaga jumlah mahasiswa swasta minimal tetap stabil.

Hal jadi persoalan adalah tidak ada kesetaraan untuk PTN dan PTS dari pemerintah. Contohnya dalam masalah anggaran, uang yang masuk ke PTS dari 20 persen APBN untuk pendidikan hanya sekitar 5 persen, sisanya masuk ke PTN. Padahal selama ini jumlah PTS itu lebih banyak menampung mahasiswa di Indonesia mencapai 80 persen.

Kemudian dari sistem kuota penerimaan mahasiswa, kampus PTN harusnya bisa menjaga agar sesuai dengan ketersediaan kelas dan pengajar atau dosen. Bukan justru mereka terus membuka kelas hingga mencari dosen dari kampus swasta.

"Ini bagaimana kalau pemerintah tidak mengatur. Istilahnya ini kita dikasih senjata bambu runcing mereka sudah AK47. Kalah mau bagaimana juga," ungkap Ricky.

Menurutnya, selama ini PTS terus melakukan inovasi agar bisa bersaing dengan PTN dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswa. Walaupun banyak PTS yang hanya mengandalkan biaya pendidikan dalam operasional kampus, sehingga ketika ada penurunan jumlah mahasiwa akan menganggu keuangan.

Meski demikian, ketika jumlah mahasiswa terus menurun setiap tahunnya maka lambat laut kampus swasta bisa saja kesulitan dalam menjalankan pendidikan yang akhirnya harus tutup karena ada ketidakseimbangan antara biaya yang harus dikeluarkan dan yang didapat."Lambat laun PTS mulai berkurang, bisa mati sendiri," ungkap Ricky.

PTS agar bisa terus berjalan dan meningkatkan kapasitasnya minimal mahasiswa baru setiap tahun harus berada di angka 5.000. Ketika angkanya mulai turun ke 2.000 bahkan hanya 1.000 jelas akan ada kesulitan.

Dari informasi yang dihimpun IDN Times, saat ini setidaknya ada 20 PTS di Jabar dan Banten dari sekitar 350 PTS yang mendapat pengawasan ketat dari LLDIKTI. Itu dikarenakan adanya pelanggaran aturan hingga pelanggaran tata kelola.

Ricky mengatakan, salah kelola itu bisa jadi kerena mereka coba memutar uang dari uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa atau dana lain demi operasional kampus. Yang jadi perhatian, salah kelola ini juga bisa jadi karena memang mereka harus memutar otak agar kampus tetap hidup di tengah minimnya mahasiswa.

 "Yang bahaya kalau kampus ini ditutup ini jalannya panjang lagi (untuk berdiri). Tapi kalau seperti ini bisa jadi akhir tahun ini bisa ada yang berhenti (PTS)," kata dia.

3. PTN klaim kuota maba bertambah tak ganggu PTS

Webometrics Ranking of World Universities menobatkan Universitas Lampung (Unila) sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik nomor 1 di luar Pulau Jawa. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Ihwal fenomena PTN lebih favorit daripada PTS merupakan persoalan persepsi masyarakat. Kendati demikian, banyak pula calon mahasiswa langsung memilih PTS tanpa mengikuti seleksi PTN terlebih dahulu.

"Saya rasa anak-anak sekarang jauh lebih pandai, untuk menentukan pilihannya masing-masing dikarenakan adanya perkembangan informasi dan teknologi," kata Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Lampung (Unila), Prof Suripto Dwi Yuwono.

Suripto menegaskan, Unila tetap konsisten dengan kuota penerimaan 9.000 mahasiswa baru setiap tahun. Dari angka itu, rata-rata hanya 8.700 benar-benar mendaftar ulang.

"Jadi tidak ada penambahan signifikan, itu terjadi jika ada prodi baru misalnya tahun lalu ada PSDKU dan tahun ini ada Gizi, tapi ini tidak signifikan karena tahun pertama bisanya hanya kisaran 40 sampai 50 mahasiswa baru," katanya.

Ia menyebutkan, daya serap ketersediaan kuota di universitas setempat tiap tahun tidak sepenuhnya mencapai 100 persen. Itu dikarenakan beberapa program studi masih kekurangan peminat.

"Pada prinsipnya, kalau dihitung dari jumlah siswa lulus SMA di Lampung mencapai ratusan ribu per tahun, tapi yang terserap di PTN hanya sekitar 7 persen. Ini sudah termasuk di Unila," lanjut dia.

Bila merujuk persentase jumlah lulusan SMA sederajat di Lampung setiap tahunnya, Suripto menegaskan, para calon mahasiswa baru tidak sepenuhnya terserap oleh PTN. Bahkan bila dihitung secara persentase masih tergolong kecil tidak sampai menyentuh 10 persen.

"Seperti di Unila, ada beberapa prodi kosong karena peminat rendah. Misalnya, kuota kami ada 9.000 tapi yang diterima hanya sekolah 8.000 sekian. Ini belum lagi dipotong dengan calon mahasiswa yang tidak mendaftarkan diri dan mengundurkan diri," kata dia.

Ketua Tim PMB ITERA, Dr Abdul Rajak juga meyakini peningkatan penerimaan di PTN tidak otomatis "memakan" porsi PTS. “Kondisi ini tidak serta-merta mengambil jatah PTS. Berdasarkan evaluasi bersama Kemdiktisaintek, penerimaan PTN pun belum maksimal menyerap jumlah calon mahasiswa baru,” imbuh dia.

PMB tahun ini, Itera mengklaim sukses mencatat tren positif dari tahun ke tahun. Abdul Rajak menyebutkan, jumlah mahasiswa mendaftar ulang tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya naik 8 persen, dari 4.400 menjadi 4.900 mahasiswa.

Merujuk data PMB Itera selama lima tahun terakhir, 2021 terdapat 18.510 (peminat). Dari total tersebut, daya tampung kampus ini 5.708 mahasiswa. Tapi yang resmi melakukan daftar ulang 4.687 maba.

Tahun berikutnya, ada 20.620 (peminat), 5.772 (daya tampung), 4.860 (maba daftar ulang). Lalu 2023 ada 24.574 (peminat), 5.448 (daya tampung), 4.426 (Maba daftar ulang): 2024 ada 21.197 (peminat), 5.200 (daya tampung), 4.477 (Maba daftar ulang); 2025 ada 28.871 (peminat), 5.240 (daya tampung), 4.929 (Maba daftar ulang).

"Intinya, dari tahun ke tahun di Itera memang ada peningkatan dari segi peminat dan juga mendaftar ulang, seperti di tahun ini dibandingkan dengan tahun kemarin ada sekitar 8 persen," terangnya.

Kunci utama peningkatan peminat calon maba tersebut diakui tak terlepas dari strategi promosi gencar dilakukan melalui berbagai kegiatan hingga penyederhanaan proses daftar ulang bagi para mahasiswa baru. Selain itu, juga terus menambah dan meningkatkan fasilitas laboratorium, membangun gedung baru, hingga merekrut tenaga dosen baru melalui jalur PNS dan PPPK.

Universitas Negeri Semarang (Unnes), dalam lima tahun terakhir jumlah mahasiswa baru yang diterima meningkat. Para maba lolos seleksi dari jalur SNBP, SNBT, dan Seleksi Mandiri.

Pada 2021 jumlah mahasiswa baru mencapai 9.698 orang, tahun 2022 jumlah mahasiswa baru 10.248 orang, tahun 2023 jumlah mahasiswa baru 10.928 orang, tahun 2024 jumlah mahasiswa baru 11.300 orang, dan tahun 2025 jumlah mahasiswa baru 11.420 orang.

Wakil Rektor I Unnes, Prof  Zaenuri Mastur mengatakan, kalau dicermati dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa baru yang diterima di Unnes memang mengalami kenaikan. ‘’Namun, kenaikan itu tidak signifikan. Tahun ini dengan tahun sebelumnya hampir sama, kami menerima mahasiswa baru di angka 11.000-an. Adapun, jika jumlah mahasiswa naik, itu karena jumlah prodi yang dimiliki juga bertambah,’’ katanya saat dikonfirmasi, Sabtu (27/9/2025).

Ada pembukaan program studi (prodi) baru di Unnes dalam dua tahun terakhir antara lain, Prodi S1 Komunikasi, S1 Kedokteran Hewan, S1 Farmasi, S1 Ekonomi dan Keuangan Islam.

Sehingga, kata Zaenuri, meningkatnya jumlah mahasiswa baru di Unnes yang merupakan PTN tidak bisa dihubungkan dengan menurunnya jumlah mahasiswa baru di kampus swasta.

‘’Kemudian, juga tidak bisa dihubungkan dengan penerimaan jalur mandiri di PTN. Itu juga tidak benar. Sebab, ketentuan penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri memang 50 persen dari total kuota yang disediakan Unnes, tetapi realisasinya mahasiswa baru yang diterima melalui jalur mandiri kurang dari 50 persen,’’ jelasnya.

Diketahui, pada angkatan tahun 2025 ini jumlah mahasiswa Unnes yang diterima dari jalur mandiri sebanyak 5.455 orang atau 47,52 persen. Periode 2024 sebanyak 5.388 orang atau 49 persen.

Sementara, selama lima tahun terakhir berdasakan informasi dihimpun , jumlah mahasiswa baru Universitas Diponegoro (Undip) juga cenderung fluktuatif, dengan tren peningkatan jumlah pada tahun-tahun terakhir. Pada tahun 2025 terdapat 16.380 mahasiswa baru, 2024 ada 13.500 mahasiswa baru, 2023 terdapat 14.640 mahasiswa baru, 2022 ada 12.247 mahasiswa baru, dan 2021 terdapat 13.198 mahasiswa baru.

4. Angka partisipasi kasar pendidikan tinggi Indonesia baru 32 persen

ilustrasi kampus (pexels.com/Pixabay)

Direktur Kelembagaan, Ditjen Dikti Kemendikti Saintek RI, Prof Muhammad Najib mengatakan jika berbicara persaingan tidak hanya persaingan PTN dengan PTS, namun PTS dengan PTS sendiri, dan persaingan lainnya. “Sebenarnya PTS tidak mengalami penurunan yang tajam secara agregat. Itu menunjukkan, persaingan itu tidak hanya dengan perguruan tinggi negeri, tapi juga perguruan tinggi swasta sendiri,” kata Najib.

Najib lebih mendorong adanya kolaborasi dibanding kompetisi. Peningkatan partisipasi orang dengan usia kuliah harus ditingkatkan. Sampai tahun 2024 angka partisipasi kasar pendidikan tinggi baru 32 persen. “Jauh di bawah Malaysia, Filipina, Thailand. Jauh di bawah negara ASEAN lainnya,” kata Najib.

Najib mengatakan 68 persen anak-anak usia kuliah, namun belum ada kesempatan kuliah tersebut perlu didorong. “Kalau bicara kolaborasi, sama-sama kita bisa menggarap 68 persen. 32 existing oke, ada market masing-masing,” ucapnya.

Gubernur Ahmad Luthfi mengatakan, salah satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah ialah ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum cocok (match) dengan kebutuhan industri. Untuk itu, ia meminta agar kampus swasta melihat peluang tersebut. Kemudian mulai membangun kerja sama dengan perusahaan yang ada di Jawa Tengah.

"Nanti buat forum bersama, semua PTS diundang dan jalin kerja sama atau MoU dengan Pemprov Jateng. Bisa juga setiap PTS datang ke Bupati/Wali Kota di daerahnya untuk kerja sama," katanya.

Kepala Biro Pemerintahan Otonomi Daerah dan Kerjasama Setda Jawa Tengah, Yasip Khasani menambahkan, Pemprov mengalokasikan anggaran hibah untuk kampus swasta se-Jateng mencapai Rp16,6 miliar. Anggaran itu mengalami peningkatan dibandingkan pada 2024 yang mencapai Rp10,41 miliar.

Hibah sebagai komitmen Pemprov Jateng mendukung peningkatan mutu pendidikan tinggi. "Dukungan ini nanti akan dituangkan dalam naskah kerja sama. Saat ini, dari 218 PTS, baru 30 yang kerja sama dengan Pemprov Jateng," kata Yasip.

Ia menjelaskan, Pemprov Jateng juga membuka ruang kolaborasi riset dan inovasi . Hal ini sebagai sarana penguatan Tri Dharma perguruan tinggi sekaligus membantu menyelesaikan masalah pembangunan  Jawa Tengah. "Harapannya semua bisa kerja sama, karena mereka tersebar di seluruh Jawa Tengah,” kata Yasip.

5. PTS tak Tinggal diam, keluarkan jurus inovasi

ilustrasi inovasi pendidikan (freepik.com/freepik)

IIB Darmajaya Bandar Lampung tak tinggal diam guna menarik minat para calon maba kuliah di kampus setempat. Mulai dari peningkatan mutu hingga kualitas baik dari sisi sarana maupun prasarana hingga urusan akademika.

"Kami baru menambah satu guru besar di bidang informatika, profesor pertama di PTS Lampung. Laboratorium dan ruang kuliah juga kami remajakan. Alhamdulillah, kini sudah ada dua guru besar, dan lima dosen lagi sedang proses menuju profesor,” ucapnya.

Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Gregorius Sri Nurhartanto, mengatakan untuk menghadapi tantangan yang ada, UAJY melakukan kerja sama dan menggencarkan promosi. Menurutnya semua PTS juga memiliki pangsa pasarnya tersendiri.

“Terus apa yang paling efektif (menggaet mahasiswa), saya amati terus menerus. Itu adalah sistem getok tular (dari mulut ke mulut). Misal saya kuliah di sana bagus, kemudian orang lain tertarik, tidak tergolong mahal masih bisa dijangkau, orang lain tertarik,” ucap Nurhartanto.

Menurutnya penting untuk menonjolkan keunggulan masing-masing PTS. Pasalnya saat ini tidak hanya persaingan PTN dengan PTS, tapi antar-PTS sendiri. Saat ini banyak PTS ada di berbagai daerah. “Dulu kan pasti kantong pendidikan di Jogja, Malang, Jakarta dan sekitarnya, Bandung, tapi sekarang hampir setiap kabupaten/kota bermunculan PTS,” ujar Nurhartanto.

Ia menambahkan, satu pekan setelah dimulainya pembelajaran tahun ini, pihaknya langsung menggencarkan promosi terus menerus. “Tidak menunggu begitu tahun ajaran baru berjalan. Selang beberapa hari (setelah dimulainya kegiatan belajar mengajar), promosi gencar di seluruh Indonesia. Promosi menunjukkan keunggulan kita. Orang tua sekarang cerdas, melihat perguruan tinggi akreditasinya apa, kemudian prodinya. Kalau sama-sama unggul, masih dibandingkan PTS A dan B, biaya murah mana,” ucap Nurhartanto.

Setali tiga uang, UK Petra Surabaya pun tak tinggal diam. Direktur Marketing & Relations Department UK Petra, Jessie Monika menegaskan, kualitas kampus tetap dipertahankan. Relasi dengan para lulusan atau alumni pun juga terus dijaga. Sembari meningkatkan metode maupun model pembelajaran.

"Kami akan tetap secara kurikulum memperhatikan relevansinya dengan industri, dengan yang ada sekarang. Kami tetap memastikan proses belajar-mengajar dan kegiatan akademik di UK Petra berjalan, sebagaimana fungsinya. Mahasiswa di sini juga mendapatkan pengalaman akademis yang baik, yang berkualitas sesuai dengan yang mereka harapkan. Jadi segala bentuk pembelajarannya, pengalaman akademisnya, kegiatan dan kemajuan di dalamnya kita tetap optimal," terangnya.

"Jadi tidak hanya pintar, tapi juga berkarakter. Makanya kami sangat bangga dengan alumni-alumni kami yang berbagai profesi, profesional, kemudian business owner, pemimpin-pemimpin di bidangnya masing-masing, di seluruh dunia. Seperti Gubernur Maluku Utara itu kan alumni kami, itu salah satu alumni yang kami banggakan. Nah, alumni-alumni itulah hasil dari pendidikan akademik dan karakter yang kita terapkan di UK Petra," jelasnya.

Ketua Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Unismuh Makassar, Muhammad Akhir, menjelaskan, menjaring mahasiswa baru harus ditopang strategi mumpuni kampus. Unismuh gencar mengadakan kunjungan ke sekolah-sekolah, memanfaatkan media sosial seperti TikTok Live, serta melibatkan alumni dalam menyosialisasikan kampus.

Jaringan sekolah Muhammadiyah yang tersebar di berbagai daerah Sulawesi Selatan memberi andil besar terhadap jumlah mahasiswa baru. Dari sekolah-sekolah ini lahir aliran pendaftar yang konsisten mengisi bangku kuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ia menambahkan,  salah satu daya tarik Unismuh Makassar adalah skema beasiswa internal senilai Rp3,8 miliar. Dana ini dialokasikan untuk tiga jalur utama yaitu kader IPM Muhammadiyah, hafiz Quran, serta prestasi akademik dan non-akademik.

Jalur kader IPM Muhammadiyah meliputi ketua, sekretaris, dan bendahara yang menjabat saat SMA mendapat beasiswa penuh hingga delapan semester. Ketua bidang mendapat potongan 75 persen, sementara anggota mendapat potongan 25 persen.

Jalur hafiz Quran yakni hafal 30 juz bebas biaya kuliah, hafal 15 juz mendapat potongan 75 persen, dan hafalan sebagian mendapat potongan 25 persen. Sementara jalur prestasi yaitu mahasiswa yang pernah meraih juara dalam lomba akademik maupun non-akademik sewaktu SMA bisa memperoleh beasiswa mulai dari 25 persen hingga penuh.

"Prestasi ini siapa pun bisa masuk. Bukan kader IPM juga bisa masuk. Asalkan ada prestasinya. Misalkan pernah ikut lomba.  Juara ini, juara itu dan sebagainya selama masih sekolah," kata Akhir.

Pada 2025, Unismuh telah menyalurkan beasiswa kepada 87 mahasiswa hafiz Quran, 72 kader IPM, dan 191 mahasiswa berprestasi. Selain beasiswa internal, kampus juga mendapatkan dukungan dari program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta kerja sama dengan Yayasan Hadji Kalla dan pemerintah daerah.

Inovasi kampus dan implementasi pembelajaran mata kuliah yang relevan sesuai perkembangan zaman mutlak harus dilakukan PTS seperti dilakukan Universitas Pradita berlokasi di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Rektor Universitas Pradita, Prof Richardus Eko Indrajit, mengatakan, konsep enterprise memungkinkan mahasiswa PTS cepat beradaptasi dengan industri.

Konsep ini dirancang menyerupai lingkungan kerja membuat mahasiswa bisa merasakan atmosfer dunia industri, wirausaha, dan bisnis sejak di bangku kuliah. Sehingga mahasiswa mampu beradaptasi cepat dalam dinamika dunia kerja. Makanya sejak semester pertama, mahasiswa dihadapkan dengan praktisi yang benar-benar ada di industri sesuai jurusan.

"Misalnya jurusan sipil, semester satu sudah pakai topi proyek, mereka turun ke jalan, sehingga mereka tahu kariernya seperti itu. Begitu juga dengan DKV, mereka ke mal lihat logo, bagaimana filosofinya, bagus atau tidak,” katanya.

Tak hanya mahasiswa, konsep enterprise juga dilakukan kepada para dosen yang harus beririsan dengan dunia industri. Sehingga tidak terpaku kepada teori, tetapi juga mampu melihat peluang di dunia kerja saat ini. Universitas Pradita menghadirkannya melalui Program Praktisi Mengajar. Dalam program ini, para mitra industri terjun langsung ke kelas untuk mengajarkan keterampilan, tools, insights, dan best practices yang hanya bisa didapatkan dari pengalaman langsung di industri.

“Jangan sampai apa yang sudah mereka ajarkan itu ternyata sudah kedaluwarsa, makanya kita ada program Pijar atau Praktisi Mengajar. Kalau kita MoU dengan perusahaan, kita minta direkturnya menjadi kuliah tamu dari semester awal. Sehingga mereka cinta ke bidangnya, dan karena kami ini bersama Summarecon, kita juga ada Summarecon Mengajar atau SUAR, terutama untuk sipil dan desain interior,” ujarnya.

Konsep tersebut membuka peluang mahasiswa untuk cepat beradaptasi di dunia kerja, dan menjadi terapan dari konsep Real Case Real Experience. Praktisi juga didampingi oleh dosen akademisi untuk memastikan pembelajaran selaras dengan kurikulum. Inisiatif ini tentunya mengisi celah antara pembelajaran di kelas dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja. Privillege ini menjadikan lulusan lebih siap kerja dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi di mata recruiter.

Sejak tahun 2010, roadshow dari satu sekolah ke sekolah lainnya menjadi strategi utama STIK-P Kota Medan untuk menarik para calon Maba sekaligus memperkenalkan kampus orange ini. "Sekarang ini bukan lagi nama kampus lulusan yang dilihat, tapi kualitas kompetensi daripada lulusan itu tadi. Saat ini kita masih bisa klaim bahwa STIK-P masih mendominasi, kalau namanya lulusan di jurnalistik ya," jelas Austin Antariksa Tumengkol sebagai Puket 1 STIK-P Medan.

Selain roadshow, pihak kampus juga menggandeng kembali para mahasiswa yang belum tamat ataupun yang belum lulus dari STIK-P untuk menyelesaikan perkuliahan dengan berbagai kemudahan. Setiap tahunnya, para mahasiswa STIK-P ini tidak hanya berasal dari wilayah Medan saja, tapi juga berasal dari Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Serdang Bedagai, Binjai, hingga di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan wilayah sekitaran Medan lainnya. Beragam sumber informasi juga didapat oleh para calon mahasiswa mulai dari keluarga dan temannya yang sudah kuliah di STIK-P hingga media sosial.

Seperti pada umumnya, kendala bagi para calon Maba untuk kuliah adalah sulit membagi waktu jika sudah bekerja dan juga faktor ekonomi yang tidak mampu dalam biaya. "Jadi ya salah satu yang bisa dibilang nilai plus kita, mungkin karena kita kampus sore. Masih banyak mahasiswa bisa bekerja dulu. Karena kan mahasiswa ini ada yang masih dibiayai orang tua, ada yang ingin bekerja untuk meringatkan orang tua, ada yang memang bekerja untuk bisa biaya kuliah, ada yang memang merantau dan sebagainya," ujarnya.

6. Atur ulang regulasi penerimaan maba

Kegiatan program pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB) di Unnes juga diselingi dengan acara konser musik dan acara menarik lainnya di Lapangan Prof Dumadi. (IDN Times/Dok Humas Unnes)

Masifnya penerimaan mahasiswa PTN di Sumsel, perlu upaya dari pemerintah untuk mengatur ulang regulasi soal penerimaan mahasiswa baru. Baik PTN maupun PTS tidak bisa memaksakan penerimaan sebanyak-banyaknya, karena ada keterbatasan daya tampung sesuai rasio antara dosen dan mahasiswa yang harus seimbang.

"Harapan kami, PTN sebaiknya lebih fokus mengembangkan program pendidikan S2 dan S3, sementara jenjang S1 bisa lebih banyak diserap oleh PTS," ujar Ketua APTISI Sumsel-Babel Wilayah IIA, Muhammad Helmi.

Menurutnya, fungsi utama perguruan tinggi mencakup tridarma yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian masyarakat. Namun, jika PTN masih terjebak pada target penerimaan mahasiswa secara masif, dikhawatirkan peran PTN untuk mengejar predikat World Class University (Universitas Kelas Dunia) dan memperkuat basis penelitian akan terhambat.

"Padahal, negara saat ini membutuhkan hasil hilirisasi penelitian perguruan tinggi. Karena itu, perlu ada political will (dukungan kebijakan) pemerintah untuk menata sistem pendidikan tinggi agar PTS tidak kolaps," tegas dia.

Ketua APTISI Wilayah II-B Lampung, Firmansyah Y Alfian mengatakan, regulasi penerimaan mahasiswa baru sejatinya sudah ada, termasuk rasio dosen, sarana, hingga limitasi kapasitas daya tampung PMB. Namun, APTISI menilai PTN kerap tidak konsisten menjalankan aturan tersebut.

“Kami akan terus menyuarakan pemerataan ini, supaya kualitas pendidikan tidak hanya terkonsentrasi di PTN. Masyarakat juga perlu mengubah mindset bahwa kampus berkualitas itu bukan hanya PTN, tapi banyak PTS yang sama baiknya,” imbuh mantan rektor IIB Darmajaya tersebut.

Helmi juga mendesak pemerintah dapat memberikan porsi lebih besar terhadap pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada mahasiswa di PTS. Hal ini dinilai penting untuk menjaga keberlangsungan kampus swasta yang kini terancam eksistensinya.

"PTS harus tetap eksis. Mereka terancam, makanya kita butuh pemerintah turun tangan. Salah satunya dengan memperbanyak beasiswa KIP untuk mahasiswa swasta, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu namun memiliki potensi," jelas dia.

Saat ini, KIP Kuliah terdiri dari jalur reguler yang dikelola Direktorat Pendidikan Tinggi serta KIP aspirasi melalui anggota legislatif. Namun, APTISI menilai alokasi KIP cenderung menurun sehingga kuota yang diterima PTS semakin kecil. "Benang merahnya, jangan sampai PTS tutup. Semua PTS di Sumsel mengeluh jumlah mahasiswa baru menurun," jelas dia.

APTISI Wilayah II-B Lampung juga mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung segera membuat dan memfasilitasi program beasiswa Kartu Indonesia Pintar Daerah (KIPDa) untuk jenjang perkuliahan. Program beasiswa KIPDa dinilai mendesak karena angka partisipasi kasar (APK) lulusan SMA sederajat melanjutkan ke perguruan tinggi di Lampung masih rendah yakni, hanya 22 persen. Itu menempatkan Lampung sebagai provinsi keempat terendah di Indonesia.

Rendahnya APK disebabkan berbagai faktor. Mulai dari daya tampung PTN terus diperluas tanpa mempertimbangkan rasio dosen dan sarana, kondisi ekonomi masyarakat melemah, hingga masih stigma sebagian orang tua jenjang pendidikan cukup berhenti di SMA sederajat.

“APTISI sudah sampaikan ke kementerian hingga Presiden, jangan sampai PMB di PTN melebihi kapasitas. Bila terlalu banyak mahasiswa, pembelajaran tidak optimal. Di sisi lain, masyarakat juga kesulitan ekonomi, maka solusinya adalah memperbanyak beasiswa KIP, termasuk mendorong adanya KIPDa di Lampung,” ujar Firmansyah.

Oleh karenanya, skema KIPDa bisa dijalankan melalui pola kolaborasi antara pemerintah daerah di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota dengan melibatkan yayasan perguruan tinggi swasta (PTS).

“Misalnya, biaya kuliah satu mahasiswa ditanggung 50 persen pemerintah daerah dan 50 persen yayasan PTS. Jadi pemerintah tidak menanggung penuh, tapi calon mahasiswa tetap bisa kuliah. Ini sekaligus menjadi CSR pendidikan dari PTS,” jelasnya.

Kepala LLDIKTI Wilayah V Yogyakarta, Prof Setyabudi Indartono menjelaskan, dalam satu kajian, ada dua alasan utama calon mahasiswa memilih DIY sebagai tempat berkuliah. Pertama karena akreditasi prodi dan kedua karena dosennya. “Nah, ini juga menarik. Tidak kemudian berapa SPPnya, bagaimana gedungnya, tapi dilihat dari akreditasi dan dosennya,” katanya.

Ia juga mengharapkan ada kerja sama antara PTN dan PTS. Ia memberi gambaran semisal calon mahasiswa harus memilih tiga perguruan tinggi, setidaknya salah satu yang dipilih adalah PTS. “Harapannya tidak ada mahasiswa yang tidak diterima di perguruan tinggi. Di DIY masih memungkinkan,” ucapnya.

Dirinya mengapresiasi apa yang telah dilakukan Pemkab Sleman dengan memberi beasiswa. Termasuk Pemkot Yogyakarta yang berencana memberikan pembiayaan untuk masyarakat berkuliah. “Kolaborasi perlu, tidak hanya dengan Pemda tapi juga industri untuk pembiayaan mahasiswa masuk PTS, akan membuka pintu lebih lebar,” kata Setyabudi.

7. Gen Z kuliah di PTS pede prospek kerja

Ilustrasi gen z bekerja (pexels.com/Ivan Samkov)

Ihwal prospek masa depan setelah lulus kuliah, Rahma Yunita mahasiswa baru Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya, Kota Bandar Lampung mengatakan, tidak minder meski menyandang status sebagai mahasiswa PTS. Ia justru cukup percaya diri bisa bersaing dengan para lulusan PTN di dunia pekerjaan nanti.

“Menurut saya sekarang bukan soal kuliah di mana, tapi bagaimana kita memanfaatkan kesempatan. Banyak lulusan PTN juga masih mencari kerja, sama seperti PTS. Jadi yang penting kualitas diri kita, kemampuan, dan pengalaman,” ucap dia.

Gita Pratiwi menyotori biaya Pendidikan PTS dan PTN. Sebagai maba dari Kampus Universitas Multidata Palembang (MDP), ia membayar uang kuliah dengan uang masuk sekitar Rp7 jutaan sudah termasuk biaya pangkal. Kemudian per semester dia membayar Rp3,5 juta. Lalu nanti setelah semester akhir baru ada biaya tambahan untuk ambil penelitian.

Kalau ditotal kotor, uang kuliah di PTS belum sampai belasan juta. Sementara kata dia, kalau di PTN bisa lebih dari itu jika hasil verifikasi pembayaran UKT menyesuaikan profesi dan kerja orang tua. "Yang penting bener aja kuliahnya, saya yakin PTS juga menjanjikan untuk kerja atau bikin bisnis. Balik ke usaha dan gimana cara kita menatap masa depan," kata Perempuan kelahiran 2008 ini.

Gita menambahkan, apabila saat kuliah banyak ikut organisasi dan dan punya hasil portofolio, ke depan bisa ada peluang magang lebih cepat dan mempunyai kesempatan bereksperimen lebih. Sebab banyak ruang yang menawarkan potensi berkembang positif.

Ibnu (22) alumni jurusan sistem informasi di Universitas MDP Palembang menjelaskan, memilih PTS sejak awal ketimbang PTN. Ia merasa kampus swasta lebih cepat beradaptasi dengan tren dunia kerja. "Kalau ada teknologi baru, kampus langsung menyesuaikan. Dosen-dosennya juga kebanyakan praktisi, jadi ilmunya bisa langsung dipakai,” ujarnya.

Fenomena tersebut mencerminkan pergeseran cara pandang generasi muda terhadap pendidikan tinggi. Apalagi sekarang, persaingan global, bukan perkara mengejar nilai dan gengsi masuk perguruan tinggi negeri, melainkan lebih realistis, mencari tempat belajar yang bisa menyiapkan mereka menghadapi dunia kerja.

Cerita lainnya disampaikan Agung Pramudya lulus kuliah pada 2024 lalu. Awalnya, opsi pertama dia adalah berkuliah di kampus negeri atau PTN. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, Pramudya merasa kampus negeri kurang sesuai dengan minatnya. Sehingga, Ia memutuskan berkuliah di kampus swasta atau PTS, yakni Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Stikom Bali, karena mengampu jurusan yang diinginkannya ranah komputer dan multimedia.

Empat tahun berkuliah di ITB Stikom Bali, Pramudya lulus tepat waktu sambil bekerja. Ada sederet pekerjaan yang dilakoninya sambil berkuliah, mulai dari pekerja lepas dokumentasi kegiatan, penyelenggara acara, hingga pernikahan. Saat kuliah, Pramudya memilih jurusan sistem informasi (SI)

Selain jurusan SI, ada pula jurusan lainnya di kampus ini yang berkaitan dengan komputer dan teknologi. Misalnya, sistem komputer, teknologi informasi, bisnis digital, manajemen informatika dan sebagainya. Sementara, saat berkuliah Pramudya harus membayar uang kuliah tunggal (UKT) sekitar Rp6 juta per semester. Besaran UKT tersebut serupa dengan jurusan lainnya.

Saat ditanya tentang prospek karier terhadap pilihan kampus, Pramudya mengatakan semua kampus sama saja. Pengembangan karier, menurutnya, tergantung pada potensi diri. Prospek juga tergantung pada kondisi kampus dan keleluasaan administrasinya.

“Semua kampus sama saja kembali ke kita bawa diri. Swasta lebih fleksibel untuk mengembangkan diri, target SKS (satuan kredit semester) berapa dan kuliah berapa lama, jadwal juga tergantung diri sendiri,” jawabnya.

Editorial Team