Gajah Liar Rusak Perkebunan di Lampung Timur, Warga Frustasi

- Riko Komara (19) ditetapkan sebagai tersangka kasus persetubuhan anak di bawah umur.
- Bayi yang dibuang di belakang Pondok Pesantren terkait dengan pelaku melalui tes DNA.
- Riko Komara dijerat Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan terancam hukuman berat.
Lampung Timur, IDN Times – Meski sudah berulang kali terjadi, konflik antara warga dan gajah liar di wilayah penyangga Taman Nasional Way Kambas (TNWK) belum juga terselesaikan secara permanen.
Terbaru, enam ekor gajah liar kembali memasuki perkebunan warga di Desa Braja Asri, Kecamatan Way Jepara, Selasa (2/7/2025) dini hari, dan merusak tanaman di lahan seluas 10 hektare.
Tanaman padi, pisang, dan cokelat milik warga rusak parah. Warga yang khawatir akan keselamatan mereka dan hasil panen, terpaksa bergotong-royong dengan aparat gabungan untuk menggiring kawanan gajah kembali ke hutan. Proses penghalauan berlangsung lebih dari 10 jam.
1. Masalah berulang

Menurut Sukatmoko, Humas Balai TNWK, insiden ini bukanlah yang pertama dalam beberapa bulan terakhir. “Dalam empat bulan terakhir, aktivitas keluar-masuk gajah dari kawasan hutan ke permukiman warga memang meningkat signifikan,” ungkapnya, Kamis (3/7/2025).
Ia menjelaskan, ada enam gajah yang masuk, terdiri dari lima dewasa dan satu anak. Sayangnya, upaya yang dilakukan sejauh ini masih sebatas penghalauan dan penjagaan titik rawan.
“Petugas kami hanya bisa menjaga dan menghalau. Belum ada solusi permanen,” katanya.
2. Warga mulai frustrasi

Warga Desa Braja Asri mengeluhkan harus terus berjaga dan menghadapi ancaman masuknya satwa liar setiap saat.
“Kami bukan cuma sekali dua kali halau gajah. Sudah capek. Kalau tidak ada solusi, lama-lama kami kehilangan semua hasil panen,” keluh Yudi, salah seorang warga.
Kepala Desa Braja Asri, Darusman, menyebutkan Pemkab Lampung Timur telah berjanji untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan tanaman warga.
“Pemerintah sudah turun dan menyatakan akan realisasikan ganti rugi. Tapi soal solusi jangka panjang, kami belum tahu bentuknya seperti apa,” ujarnya.
3. Konflik satwa tak bisa diselesaikan dengan patroli

Pakar lingkungan dari Universitas Lampung, Dr. Fajar Hidayat, menilai pola penanganan konflik satwa yang hanya mengandalkan patroli dan penghalauan sudah saatnya dievaluasi.
“Selama ini tidak ada pendekatan berbasis bentang alam atau konservasi partisipatif. Gajah butuh ruang jelajah, dan manusia butuh hidup. Kalau ini tidak diatur ulang, konflik akan terus terjadi,” katanya.
Insiden ini menegaskan kembali pentingnya revisi strategi konservasi di wilayah penyangga taman nasional. Tanpa pelibatan aktif warga, pembangunan koridor satwa, atau skema pertanian ramah gajah, konflik akan menjadi krisis berulang yang merugikan kedua belah pihak.