Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Penampakan aktivitas pengunjung mall Central Plaza Lampung , Selasa (2/4/2024). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).
Penampakan aktivitas pengunjung mall di Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Intinya sih...

  • Attitude owner Bonanza Kafe & Resto terhadap Rojali dan Rohana

  • Pegawai outlet perlu bekali SOP komunikasi yang baik dan benar

  • Fenomena Rojali dan Rohana menjadi tantangan dan peluang bagi pengelola mal

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times – Istilah “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) kekinian kerap muncul di kalangan pelaku maupun pengelola tempat usaha, tak terkecuali di Kota Bandar Lampung.

Ungkapan sebutan itu tepatnya menggambarkan perilaku pengunjung pusat perbelanjaan, kafe, dan resto yang lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tanpa melakukan transaksi.

Lantas bagaimana kemunculan fenomena ini di Bandar Lampung? Ternyata, kondisi ini ternyata ikut dirasakan pelaku usaha di Kota Tapis Berseri, mulai dari pemilik kafe hingga pengelola mal. Berikut ulasannya.

1. Bukan hal receh, tapi soal attitude

ilustrasi pengunjung kafe (pexels.com/cottonbro studio)

Owner Bonanza Kafe & Resto, Puja Kusuma Suud mengatakan, kemunculan para Rojali dan Rohana ini sudah menjadi hal lumrah. Menurutnya, setiap usaha pasti menghadapi pengunjung yang sekadar nongkrong lama dengan pembelian minim.

“Kalau di Bandar Lampung ini biasa saja, asal tidak mengganggu ketertiban atau SOP outlet. Misalnya, ada yang duduk lama buka dua meja tapi tidak belanja, jelas itu bisa merugikan. Pengelola wajib menegur dengan baik,” ujarnya dikonfirmasi IDN Times, Jumat (22/8/2025).

Sebagai contohnya, di kafe miliknya pernah ada pengunjung hanya membeli es teh namun bisa duduk hingga tiga jam sambil memanfaatkan fasilitas Wi-Fi dan colokan listrik. “Di zaman sekarang pasti saja ada ulah pengujung seperti itu, tinggal bagaimana kita menyikapinya secara halus saja," lanjut dia.

2. Bekali pegawai SOP komunikasi baik dan benar

ilustrasi waiters (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Meski tergolong cukup merugikan, Puja menyebutkan, keberadaan para Rojali dan Rohana semacam ini sudah sepatutnya diingatkan oleh karyawan outlet setempat. Namun tetap, para pekerja harus mengedepankan komunikasi yang baik dan benar.

Sehingga pengujung demikian dapat memahami kondisi sekaligus menerima teguran dari pegawai tempat usaha tersebut. Oleh karenanya, penting membekali para pekerja ketentuan dan tata cara berkomunikasi yang baik dan benar dalam menyikapi setiap pengunjung.

"Sebagai pelaku usaha tentu kita ingin perputaran customer berjalan. Jadi kalau ada yang seperti itu, pasti kami sampaikan teguran secara sopan. Ini penting, bukan hal receh, karena menyangkut keberlangsungan usaha,” tekannya.

3. Sikapi tantangan menjadi peluang

Penampakan aktivitas pengunjung mall di Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Berbeda dengan kafe, pengelola mal melihat fenomena ini dari sisi yang lebih luas. Operation Manager Central Plaza Lampung, Siti Husnah menyebut, perilaku Rojali dan Rohana justru menjadi dinamika baru dalam ekosistem ritel modern.

“Fenomena ini bukan hanya tantangan, tapi peluang. Mall sekarang tidak lagi sekadar tempat transaksi, tapi sudah jadi ekosistem yang mempertemukan berbagai kebutuhan," jelasnya.

Meski perilaku belanja perlahan mulai mengalami perubahan, namun tingkat kunjungan mall di tempatnya bekerja tergolong tetap tinggi, terutama pada sektor food and beverage (F&B), hiburan, dan leisure. "Tenant-tenant saat ini mulai ikut beradaptasi, dari menghadirkan konsep interaktif, kolaborasi komunitas, sampai layanan online to offline,” tambah dia.

4. Strategi ubah traffic jadi pengalaman berkesan

Penampakan aktivitas pengunjung mall. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Di masa sekarang, Siti menyebutkan, pusat perbelanjaan saat ini lebih menekankan konversi pengalaman ketimbang sekadar penjualan. Seperti terjadi di Central Plaza Lampung, manajamen mall menekankan tenant harus mampu menghadirkan nilai tambahan, seperti kafe di dalam toko, workshop, hingga program bundling belanja dengan F&B.

“Pengunjung Rojali sebenarnya potensial. Mereka aktif di media sosial dan bisa jadi multiplier kalau dikelola dengan tepat. Karena itu, kami dorong experiential marketing, seperti pop up store, mini konser, sampai demo produk yang bisa meningkatkan keterlibatan,” katanya.

Selain itu, fenomena ini juga memiliki perbedaan dampak antara mall premium dan mall menengah. Mal premium relatif lebih kuat karena pengunjung sering menjadikan mal sebagai showrooming sebelum berbelanja online.

Sementara mall menengah lebih rentan karena bergantung pada transaksi langsung dari segmen dengan daya beli sensitif. "Jadi bisa disimpulkan dampaknya tidak sama," sambung Siti.

Editorial Team