Fenomena Anak Melek Gawai tapi Belum Lancar Membaca di Lampung

Intinya sih...
Intensitas tinggi penggunaan gawai oleh anak usia sekolah dasar
Bimbingan belajar hingga pengawasan di rumah sebagai upaya meningkatkan kemampuan membaca
Kasus buta huruf ditemukan di daerah terpencil dan perbatasan, pemerintah giatkan asesmen hingga penanaman literasi
Bandar Lampung, IDN Times - A (9), seorang siswi sekolah dasar (SD) kelas 3 di Kabupaten Lampung Selatan menjadi contoh dari tantangan dunia pendidikan di zaman serba digital saat ini.
Meski belum begitu lancar membaca, Bunga menunjukkan kemampuan yang cukup piawai mengoperasikan perangkat gawai, termasuk penggunaan aplikasi digital hingga permainan daring. Kondisi tak ubahnya mempertontonkan kesenjangan antara kemampuan literasi dasar dan keterampilan digital di kalangan anak-anak usia sekolah dasar.
Dalam wawancara disertai pendampingan orang tua, A mengaku kerap mengalami kesulitan memahami maupun mengikuti kegiatan belajar mengajar yang disampaikan di kelas. “Kadang tidak paham karena penjelasannya cepat, tapi malu bertanya di kelas,” ujarnya singkat dengan wajah yang polos.
1. Dampak intensitas tinggi penggunaan gawai
Ibu A, Juwita mengakui, penggunaan intensitas gawai oleh anaknya cukup tinggi bisa sekitar 3 hingga 5 jam per hari. Waktu itu sebagian besar digunakan untuk menonton video, bermain gim, dan mengakses berbagai aplikasi hiburan lainnya.
“Sebenarnya saya khawatir, tapi di sisi lain saya tidak bisa terus-menerus mendampingi. Kadang pemberian gawai menjadi cara untuk membuat anak tetap di rumah,” ucapnya.
Sadar akan dampak negatif ditimbulkan terhadap penggunaan gawai, khususnya dari smartphone. Ia dan suami kini perlahan mulai mengurangi kebiasaan dilakukan anak sulungnya tersebut. "Ya sebisa mungkin, sekarang sudah kami kurangi untuk lebih disiplin," lanjut dia.
2. Lakoni bimbingan belajar hingga pengawasan di rumah
Terkait upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca anak, Juwita menyebut sudah mencoba berbagai pendekatan mulai dari bimbingan belajar hingga mengawasi perkembangan anak di rumah sehari-hari.
Namun dikarenakan persoalan biaya, A kini lebih banyak melakoni pembelajaran tambahan. Khusus membaca di bawah bimbingan kedua orang tuanya langsung.
“Kami berharap ada perhatian lebih, terutama pendekatan pengajaran yang bisa menyesuaikan dengan kemampuan anak, karena tidak semua anak bisa mengikuti metode yang sama di kelas,” katanya.
3. Kasus buta huruf ditemukan di daerah terpencil hingga perbatasan
Menyoal isu tersebut, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung, Thomas Americo menyampaikan keprihatinan terhadap masih ditemukannya siswa SD belum mampu membaca dengan lancar. Diakui, fenomena ini ditemukan pada anak pada kelompok sekolah dasar maupun menengah.
Oleh karenanya, jajaran dinas setempat di kabupaten dan kota terus melakukan pendataan dan pemetaan terhadap kondisi kemampuan literasi siswa di Provinsi Lampung.
“Dari hasil monitoring kami sejauh ini, kasus buta huruf pada siswa masih ditemukan di kalangan anak SD maupun SMP, terutama di wilayah akses pendidikannya belum merata seperti di daerah terpencil, pesisir, dan perbatasan kabupaten,” ucapnya.
Selain itu, berdasarkan laporan dari dinas pendidikan kabupaten maupun kota, fenomena ini tidak banyak ditemukan di pusat kota atau ibu kota provinsi. “Mayoritas justru berada di wilayah terpencil yang mungkin infrastruktur pendidikan dan tenaga pengajarnya masih terbatas,” lanjut dia.
4. Giatkan asesmen hingga penanaman literasi
Guna mengentaskan kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung telah menyiapkan sejumlah langkah. Salah satunya melalui program pendampingan belajar dan peningkatan kapasitas guru di daerah dengan tingkat literasi rendah.
“Kami mengarahkan dinas pendidikan kabupaten/kota agar melakukan asesmen awal terhadap kemampuan membaca siswa, lalu dilanjutkan dengan program pemulihan pembelajaran secara bertahap,” katanya.
Lebih lanjut ia turut menekankan pentingnya penanaman budaya literasi sejak dini di sekolah-sekolah dasar, termasuk dengan mengintegrasikan literasi digital secara seimbang.
“Literasi itu tidak hanya soal membaca buku, tetapi juga kemampuan memahami informasi. Maka ke depan, kami akan dorong pelatihan literasi digital yang tetap berakar pada kemampuan dasar seperti membaca dan menulis,” tambah Thomas.