Dosen Itera Soroti Peluang Indonesia Bangun Observatorium Sekelas VRO

- Indonesia memiliki potensi langit tropis yang strategis
- Jaringan observatorium belum terintegrasi secara optimal
- Perlu pembangunan observatorium modern dan peningkatan sumber daya manusia
Bandar Lampung, IDN Times – Dunia astronomi memasuki era baru di pertengahan 2025. Vera Rubin Observatory (VRO), fasilitas survei langit mutakhir di Chile, akhirnya menangkap first light atau cahaya pertamanya. Momen ini disambut antusias komunitas ilmiah global karena menjadi pintu gerbang eksplorasi semestadari misteri materi gelap hingga pemantauan asteroid dekat Bumi.
Namun, di tengah gegap gempita itu, ada pertanyaan besar untuk Indonesia, sudahkah kita memanfaatkan langit tropis nusantara dengan optimal? Achmad Zainur Rozzykin, dosen Program Studi Sains Atmosfer dan Keplanetan Itera mengatakan, dibekali kamera 3,2 gigapiksel, VRO mampu merekam area langit seluas tujuh kali bulan purnama hanya dalam 15 detik. Dalam satu malam, fasilitas ini menghasilkan hampir 15 terabyte data.
"VRO menjalankan proyek besar bernama Legacy Survey of Space and Time (LSST), yang diakui sebagai survei langit paling komprehensif sejauh ini," kata Rozzykin.
Rozzykin menyebut data dari VRO dapat digunakan ilmuwan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk memperkaya pemahaman soal asteroid, bintang variabel, hingga struktur kosmik. Bahkan, pada 10 jam pertamanya saja, VRO menemukan lebih dari 2.000 asteroid baru.
1. Indonesia punya potensi, tapi belum dimaksimalkan

Disampaikan Rozzykin, Indonesia memiliki posisi geografis strategis di sekitar garis khatulistiwa. Artinya, pengamatan terhadap hemisfer langit utara dan selatan bisa dilakukan sekaligus privilege yang tidak dimiliki negara lain di belahan utara atau selatan.
"Sayangnya, keunggulan ini belum diimbangi dengan fasilitas astronomi modern. Teleskop terbesar saat ini masih berada di Observatorium Bosscha dengan diameter 0,6 meter. Meski pembangunan teleskop 3,8 meter di Observatorium Nasional Timau, NTT sedang berlangsung, Indonesia masih tertinggal jauh dari teleskop raksasa 8,4 meter milik VRO," terangnya.
Menurut peneliti Observatorium Astronomi Itera Lampung (OAIL) itu, Indonesia memiliki keunggulan langit tropis yang strategis dan belum tergarap optimal.
“Letak Indonesia yang berada di sekitar khatulistiwa memungkinkan kita mengamati kedua hemisfer langit sekaligus, baik utara maupun selatan. Ini aset langka yang tidak dimiliki semua negara,” jelasnya.
2. Jaringan observatorium belum terintegrasi

Lebih lanjut Rozzykin mengatakan, meski kini sudah ada puluhan observatorium dari kampus hingga pesantren, seperti OAIL, namun belum terhubung secara real-time. Inisiatif seperti JOPI (Jaringan Observatorium dan Planetarium Indonesia) mulai mengarah ke integrasi, tapi koordinasi besar belum terwujud.
“Indonesia perlu langkah strategis untuk menghubungkan semua observatorium agar bisa bekerja sebagai satu kesatuan data dan operasional,” ujarnya.
Selain itu, teknologi pendukung big data untuk mengelola hasil observasi juga masih bergantung pada luar negeri.
Ia menjelaskan pada pengamatan langit tidak hanya berdampak pada sains elite, tapi juga punya manfaat langsung bagi masyarakat. Menurutnya, OAIL secara rutin menggelar kegiatan edukatif seperti workshop, seminar, hingga pengamatan virtual dalam rangka Asteroid Day setiap 30 Juni.
"OAIL juga aktif mendeteksi objek dekat Bumi seperti asteroid 2011 UL21, Vesta, hingga komet populer seperti C/2023 A3 (Tsuchinshan–ATLAS). Aktivitas ini menjadi bukti bahwa observatorium di Indonesia, meski belum besar, tetap berkontribusi nyata," jelasnya.
3. Bangun observatorium kelas dunia, siapkah kita?

Untuk menjawab tantangan dan peluang ini, Rozzykin menyebut Indonesia perlu membangun observatorium modern yang bisa bersaing secara global. Namun, teknologi saja tidak cukup, manusia adalah kunci utama.
Menurutnya, pelatihan astronom, teknisi, dan analis data harus ditingkatkan. Akademisi harus aktif menyebarluaskan hasil riset, sementara industri diharapkan turut berinvestasi dalam teknologi optik, instrumentasi, dan pengolahan data.
“Observatorium bukan hanya fasilitas, tapi juga pusat pembelajaran dan transfer pengetahuan antargenerasi. Masyarakat umum juga bisa berperan aktif dalam proyek citizen science dan edukasi publik. Ini bukan hanya mimpi ilmuwan, tapi cita-cita bersama sebagai bangsa," tegasnya.
Rozzykin mengatakan, First light dari VRO bisa menjadi inspirasi besar bagi Indonesia. OAIL dan jaringan observatorium lain membuktikan harapan itu masih ada. Meski sinarnya belum seterang VRO, ia tetap menyala menanti dukungan penuh dari seluruh elemen bangsa.
"Dari bumi Indonesia, mari jaga langit. Karena membangun observatorium bukan sekadar menatap bintang, tapi juga menyalakan mimpi generasi masa depan," ajaknya.