Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
upload_3aa10c40ce3ea9b0f05bd4c98e879b37_9ea2ad44-a3c3-4e1a-b2df-879db2c8106c.jpeg
Burung Raja Udang Meninting (Halcyon capensis) bertengger di pohon desa penyangga Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur berlokasi di Desa Labuhanratu IX, Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. (Dok. Pertamina Patra Niaga Sumbagsel).

Lampung Timur, IDN Times – Di bawah langit yang temaram dan semilir angin hutan di kawasan Taman Nasional Way Kambas, sekelompok jagawana menatap jauh ke rimbun pepohonan di Desa Labuhanratu IX, Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, Rabu (20/8/2025) pukul 20.30 WIB. Teropong menggantung di dada mereka. Teropong itu bukan sekadar alat, melainkan jendela melihat kehidupan sayap-sayap kecil yang menari di udara.

Kamera digital lengkap dengan atribut lensa tele di tangan jagawana juga siap mengabadikan setiap kicau atau saat burung bertengger di batang pohon. Warna-warna sayap yang tertangkap lensa, seolah menjadi bisikan alam tentang kesetiaan menjaga kehidupan. Dalam setiap bidikan kamera, tersimpan kisah tentang cinta yang tak pernah padam, cinta untuk alam, dan untuk burung-burung yang menjadi nadinya.

Sejurus kemudian, kicauan burung malam menembus keheningan hutan, bagai bisikan lembut di antara pepohonan. “Ssst… pelankan suara, lihat, ada burung Merbah Cerukcuk di pohon,” ujar jagawana Arif Fauzun kepada puluhan pengunjung sembari mengarahkan senter ke pohon lalu tangannya bergerak lincah mengabadikan momen burung tersebut melalui kamera.

Dalam hitungan detik, burung Merbah Cerukcuk atau dikenal burung cucak kutilang liar yang sedang bertengger di batang pohon berhasil diabadikan dalam foto. Arif lalu menunjukkan hasil jepretan foto kepada para pengunjung.  Ia dengan piawai menjelaskan Merbah Cerucuk yang difoto berukuran 20 cm. Burung yang dipotret itu termasuk ukuran sedang untuk kategori burung berkicau.

Burung Merbah Cerucuk itu berciri kepala atas dan punggung berwarna cokelat zaitun. Lalu dada hingga perut putih keabu-abuan. Bagian bawah ekor berwarna kuning cerah yang menjadi ciri khas paling menonjol. Sedangkan paruh dan kaki berwarna gelap. Tak pelak, pascamendengar penjelasan Arif, para pengunjung menganggukkan kepala seolah mendapat wawasan baru seputar burung.

Arif menjelaskan, kegiatan yang digelar jagawana merupakan bagian program bird watching yang diinisiasi pemuda desa setempat. Konsepnya mengamati burung di habitat aslinya yaitu hutan. Hutan di Desa Labuhanratu IX merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Way Kambas. “Pengamatan ini tidak ada aktivitas menangkap atau mengganggu burung. Tujuannya menikmati keindahan alam, belajar mengenal jenis burung hingga mendukung kegiatan konservasi alam,” ujarnya.

Saat pengamatan burung, jagawana biasanya membawa perlengkapan teropong untuk melihat burung dari jarak jauh. Selain itu, membawa buku panduan untuk mencatat jenis burung yang dilihat, titik lokasi hingga waktu pengamatan dan tak kalah penting kamera tele untuk memotret burung dari kejauhan.

“Yang diamati itu bentuk dan warna bulu, ukuran tubuh, suara kicauan, gerakan atau perilaku dan habitat tempat burung ditemukan. Semua itu membantu mengidentifikasi jenis burung dengan lebih akurat,” jelas pria yang juga menjabat Ketua Kelompok Koperasi Plang Ijo Dewi Rasa Desa Labuhanratu IX ini.

Insting Kuat Melihat dan Pendengaran Tajam Mendeteksi Keberadaan Burung

Jagawana bersama pengunjung sedang bird watching di Desa Labuhanratu IX, Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung , Rabu (20/8/2025) malam. (IDN Times/Martin L Tobing).

Yunike Purnama, salah satu pengunjung yang mengikuti program bird watching mengatakan, senang bisa merasakan pengalaman night walking (berjalan malam) berkeliling desa sekitar dua jam. Ia bersama pengunjung lain antusias mengamati perilaku burung dan satwa nokturnal lainnya.

“Kami diajak keliling kampung menyusuri hutan sambil memantau adanya satwa nokturnal selama kurang lebih dua jam. Untuk program bird watching malam hari satu tim enam sampai tujuh orang dan diarahkan untuk tidak banyak bersuara agar bisa bertemu dan mengambil foto satwa,” jelasnya.

Menurut Yunike, hal yang cukup unik bird watching pada malam hari, para pemandu memiliki insting kuat melihat dan pendengaran tajam mendeteksi adanya keberadaan burung, meski pada jarak yang jauh saat malam hari.

Terkait testimoni pengunjung, Arif bersyukur, ada masyarakat yang kian peduli terhadap pelestarian satwa burung. Apalagi, program bird watching ini, pengunjung tak hanya mendapat wawasan baru seputar jenis burung dan pelestarian, tapi juga merasa rileks saat mendengarkan kicau burung dan menyatu dengan alam. Menurutnya, mengenal burung, masyarakat terdorong untuk menjaga hutan, pohon dan sumber air tempat mereka hidup.

Ia menambahkan, pengunjung yang berpartisipasi program pengamatan burung, diajak berjalan kaki menjelajahi desa sejauh dua kilometer untuk melihat berbagai jenis burung. Konsep jalan kaki pun menurut Arif bertujuan agar pengujung merasakan pengalaman seru menelusuri area perkebunan dan persawahan.

“Saat jalan kaki, tim melihat ada burung di pohon, kami berhenti, kasih tahu ke pengunjung. Karena burung yang bertengger di batang pohon jaraknya jauh dari pengunjung, bahkan ada yang hingga di ketinggian 10 meter, untuk melihat burung itu, menggunakan teropong dan tim kami sigap memotret lalu kasih lihat hasil jepretan ke pengunjung,” urai Arif.

Selain mengamati burung, imbuhnya, pengunjung juga dapat melihat hewan-hewan nokturnal, seperti burung hantu hingga kukang yang merupakan satwa dilindungi dan terancam punah. Hewan-hewan tersebut berasal dari Taman Nasional Way Kambas yang bermigrasi ke desa. Hutan seluas 130.000 hektare di Way Kambas merupakan salah satu lokasi terbaik bagi pengamat burung atau birder di Asia Tenggara. Sebab, kawasan itu menjadi surga bagi lebih dari 300 spesies burung, baik burung endemik maupun migran.

Kelompok satwa itu kerap bermigrasi ke luar kawasan hutan taman nasional terutama kampung yang memiliki barisan pepohonan menjulang di sepanjang jalan, seperti Desa Labuhanratu IX. Terlebih, desa asri berpenduduk lebih dari 1.500 jiwa itu terbilang ramah terhadap satwa liar.

Ikhsan, jagawana dari Koperasi Plang Ijo mengatakan, pengunjung bird watching yang beruntung bisa melihat langsung aktivitas kukang, burung hantu, kelelawar dan beragam jenis burung seperti Cekakak Sungai, Kowak Malam Abu dan Celepuk Jawa. Biasanya bagi pecinta satwa, bertemu dengan spesies langka seperti ini memiliki kepuasan tersendiri. Bahkan, konsep wisata berbasis konservasi sudah menarik wisatawan mancanegara seperti dari Australia dan Asia untuk wisata dan penelitian.

Dari sisi keamanan bird watching menurut Iksan, cukup simple. Pengunjung wajib mengenakan sepatu. Jika mengikuti program pada malam hari, mengoleskan lotion antinyamuk. “Terpenting adalah kesadaran keamanan melindungi hewan karena mereka pure wild life, bukan hewan display. Kami mengajak pengunjung mencari  lokasi potensial ada burung atau hewan nokturnal lainnya di kawasan hutan desa ini,” paparnya.

Ikhsan mengatakan, menjaga suara tidak terlalu bising saat berjalan kaki saat pengamatan satwa malam hari bertujuan agar tak menganggu hewan. “Hewan terganggu (suara bising) sulit lakukan pengamatan. Senter justru gak ganggu burung,” jelasnya.

Pelestarian Satwa melalui Adopsi Sarang Burung

Adopsi sarang burung di Desa Labuhanratu IX, Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. (Dok. Pertamina Patra Niaga Sumbagsel).

Arif bercerita, pengamatan burung (bird watching) yang digagas sejumlah pemuda Desa Labuhanratu IX tergabung dalam Koperasi Plang Ijo Dewi Rasa merupakan salah satu program unggulan. Saat koperasi tersebut dibentuk awal 2022, muda mudi desa setempat terpikir ingin membentuk personal branding.

Lantaran Desa Labuhanratu IX termasuk desa penyangga Taman Nasional Way Kambas (TNWK), personal branding berkutat dengan satwa. Namun, personal branding yang diinginkan, sengaja tidak fokus satwa gajah dan badak notabene menjadi ciri khas TNWK. Dari berbagai ide pemuda, mereka bersepakat mengusung personal branding desa ramah burung.

Arif mengklaim, personal branding desa ramah burung menjadi pertama diusung di Pulau Sumatra. Setelah ide personal branding berhasil diusung, sejumlah kegiatan utama pun digulirkan para anggota tergabung Koperasi Plang Ijo Dewi Rasa terkait desa ramah burung.

“Kami saat itu ada program bagaimana ubah konsep masyarakat dari tidak peduli jadi peduli satwa burung. Memang butuh waktu, kami gelar kegiatan sosialisasi di sekolah SD dan SMP jadi wadah transfer knowledge ke pelajar,” paparnya.

Setelah program sosialisasi, para anggota koperasi fokus agar masyarakat bisa menerima manfaat program kampung ramah burung. Satu caranya, adopsi sarang burung. Adopsi sarang burung adalah program pelestarian memungkinkan masyarakat desa setempat melalui proses penangkaran.

Tujuan adopsi burung, melindungi sarang dari perusakan atau perburuan liar dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga populasi burung. “Apabila di area kebun masyarakat ternyata ada sarang burung dan terpantau telurnya menetas, mereka lapor ke kita. Lalu kami identifikasi kategori jenis burung,” ujarnya.

Hasil pemantauan itu diklasifikasikan burung dilindungi atau bisa tumbuh tanpa bantuan. Untuk kategori dilindungi akan dipantau secara khusus. Berdasarkan catatan koperasi, ada 76 jenis burung yang teridentifikasi di desa dari sekitar 300 spesies di TNWK. Bahkan, tim dari koperasi pernah menemukan burung asian glossy starling beberapa waktu lalu.

Burung tersebut migrasi karena adanya pohon kenanga yang sedang berbunga. Bahkan, sempat ada migrasi burung emerald dove dari Semenanjung China di pinggiran desa dan kawasan TNWK. ”Setelah itu kami sampaikan informasi ini ke komunitas-komunitas burung. Siapa mau adopsi kita sampaikan ada beberapa item pemanfaatan adopsi itu sendiri,” ujar Arif.

“Setelah proses adopsi akhirnya dibagi hitungan nilai ekonomis, ke pemilik lahan juga dapat bagian. Teman-teman koperasi monitoring berkala kondisi sarang burung dan dampak sosialnya, saat ada nilai ekonomis, untuk kas koperasi juga dapat bagian. Jadinya semua merasakan manfaat adopsi sarang burung,” paparnya.

Arif mencontohkan, pascaberbagi informasi kepada komunitas burung se-Indonesia, adopter burung dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, presentase 10 persen hingga 20 persen kompensasi untuk pemilik lahan. Kedua, 10 persen sampai 50 persen tim monitoring, dan sisanya kas koperasi. Tim monitoring tersebut akan memantau pertumbuhan di sarang hingga melaporkannya secara berkala kepada donatur terkait perkembangan aktivitas burung.

Kerja keras dan kesadaran nyata masyarakat tak bertepuk sebelah tangan. Masyarakat desa kini mulai merasakan nilai manfaat adopsi sarang burung menjadi penghasilan tambahan sehingga pesertanya meningkat setiap tahun dan kini mencapai 50 sarang adopsi.

Berdasarkan catatan koperasi, pada 2023 terdapat 15 sarang yang menghasilkan 23 ekor anakan dari sembilan spesies burung yang diadopsi. Di antara spesies burung itu menjadi prioritas, yaitu Paruh Kodok Besar. Sementara, pada 2025 ada 10 adopsi sarang dengan menambah 15 anakan burung diterbang bebaskan ke alam.

Arif mengatakan, peserta adopsi sarang burung yang terus bertambah menjadi bukti meningkatnya kesadaran masyarakat. Sebab, bagian dari skema kegiatan tersebut menyandingkan nilai manfaat dengan kesadaran menerapkan konservasi keanekaragaman burung.

Adopsi Pakan Burung Beri Ruang Aman Satwa

Adopsi pakan burung program Desa Ramah Burung Desa Labuhanratu IX. (IDN Times/Martin L Tobing).

Program lainnya Desa Ramah Burung Desa Labuhanratu IX terkait konservasi berbasis masyarakat adalah adopsi pakan burung. Adopsi pakan burung adalah inisiatif pelestarian satwa liar burung melibatkan masyarakat desa dalam penyediaan sumber pakan alami maupun buatan. Tujuannya, menjaga keseimbangan ekosistem dan memberi ruang aman bagi burung untuk hidup, berkembang biak, dan mencari makan.

Tujuan lainnya, menjamin ketersediaan pakan alami seperti buah, serangga, biji-bijian, nektar di sekitar desa dan mengembalikan populasi burung lokal yang mulai menurun akibat hilangnya habitat. Kegiatan sudah dilakukan warga desa berupa menanam pohon pakan burung seperti pohon buah, beringin, salam, talok, waru, atau pohon penghasil serangga.

Kegiatan lainnya membuat taman pakan burung berupa area hijau kecil berisi tanaman yang menghasilkan biji atau nektar. Selain itu, menyediakan wadah pakan dan air minum untuk burung liar saat musim kemarau. Program ini pun terbuka untuk masyarakat terpanggil mengadopsi satu titik pakan dan membantu biayanya.

“Manfaat langsung program ini adalah burung menjadi lebih sering muncul dan bersuara di sekitar permukiman. Meningkatkan keseimbangan ekosistem burung serta membantu penyerbukan dan pengendalian hama. Selain itu membuka potensi wisata pengamatan burung yang juga menjadi program unggulan koperasi kami, serta menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab lingkungan warga desa,” urai Arif.

Namun, penentu kenyamanan keberadaan burung ada pada faktor keamanan yang dilihat dari tingkat aktivitas perburuan. Burung secara alami mempertimbangkan untuk tidak bermigrasi ke suatu wilayah jika kerap mendapatkan ancaman bahaya.

Dia mencontohkan, burung endemik TNWK yang kini berstatus terancam punah, yaitu mentok rimba. Burung air dari keluarga bebek tersebut dulu kerap migrasi pada sore hari saat musim kemarau. Namun, maraknya perburuan membuat satwa dilindungi dan langka itu menyesuaikan waktu berkunjung. Burung ini tetap migrasi karena butuh sumber air untuk bermain di rawa-rawa.

Pencegahan Penyelundupan Satwa Burung Gencar Digalakkan di Lampung

Badan Karantina Lampung saat mengamankan burung seludupan di Bakauheni. (Dok. Baratin Lampung).

Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Karantina) Lampung mengapresiasi Desa Ramah Burung di Desa Labuhanratu IX Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur. Itu lantaran, pihaknya bersama Flight Protection Indonesia Birds terus menggalakkan pencegahan praktik penyelundupan satwa liar jenis burung endemik dari Provinsi Lampung dan wilayah lain di Pulau Sumatra untuk dikirim ke Pulau Jawa.

Berdasarkan data Karantina Lampung Januari hingga September 2025, terdapat 13 upaya penyelundupan burung liar di Pelabuhan Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan berhasil digagalkan. Dari belasan upaya tersebut, total 6.685 ekor burung diamankan. Sedangkan periode 2024, tercatat 21 kasus dengan 19.343 ekor burung, sementara pada 2023 sebanyak 15.166 ekor.

Kepala Balai Karantina Lampung, Donni Muksydayan mengatakan, jumlah praktik penyelundupan terus menurun dari tahun ke tahun dinilai sebagai hasil dari penguatan sinergi pengawasan antarinstansi dan lembaga konservasi. “Selama tujuh tahun terakhir, sudah lebih dari 200 ribu ekor burung berhasil digagalkan penyelundupannya. Tahun lalu saja ada 19 ribu lebih, dan 6.500 ekor merupakan satwa endemik Sumatra,” ujarnya saat kegiatan Bimtek Penegakan Hukum Karantina se-Sumatera, Rabu (22/10/2025).

Donni tak menampik, Pelabuhan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan masih menjadi titik utama perlintasan akhir penyelundupan satwa liar dari Sumatra ke Jawa, termasuk jenis burung. Oleh karena itu, Karantina Lampung terus memperkuat pengawasan di wilayah pintu keluar serta memperluas koordinasi di tingkat hulu bersama jajaran Balai Karantina se-Sumatra.

“Tahun ini kami menangani lima perkara, dua sudah inkracht dan tiga berstatus P-21. Kami juga terus bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam proses penegakan hukum,” tegasnya.

Meskipun tren penyelundupan satwa liar menurun tiga tahun terakhir, Donni menambahkan, tantangan petugas di lapangan masih besar. Salah satu penyebabnya, perdagangan satwa liar melibatkan banyak pihak dan jaringan lintas daerah. "Maka dari itu, kami terus memperkuat koordinasi, terutama dalam hal penegakan hukum dan pengawasan di wilayah perlintasan,” ucap Donni.

Direktur Eksekutif Flight Protection Indonesia Birds, Marison Guciano menambahkan, pengawasan di Pulau Sumatra sangat penting karena sebagian besar burung diselundupkan merupakan satwa endemik yang kini populasinya semakin terancam akibat perburuan dan perdagangan ilegal.

“Keberhasilan rekan-rekan Karantina di Bakauheni memberi efek jera bagi para penyelundup. Kami berharap sinergi ini tidak hanya di pintu keluar, tapi juga di wilayah hulu agar penyelundupan bisa dicegah sejak awal,” ucapnya.

Kepala Balai Besar Karantina Sumatera Utara, N Prayatno Ginting menegaskan, seluruh UPT di Sumatera kini satu komitmen pencegahan dan penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar. Selain aspek hukum, pengawasan ini juga penting dari sisi kesehatan hewan, mengingat potensi penyebaran penyakit seperti flu burung, PMK, dan ASF yang bisa muncul dari lalu lintas satwa ilegal

“Seluruh laporan penyelundupan dari Lampung ke Jawa sudah terkoordinasi dengan baik. Kami terus memperkuat jejaring informasi dan manajemen penegakan hukum lintas provinsi,” kata koordinator wilayah Karantina se-Sumatra tersebut.

Gagas Peraturan Desa agar Program Desa Ramah Burung Miliki Dasar Hukum Kuat

Jagawana bersama pengunjung sedang bird watching di Desa Labuhanratu IX, Kecamatan Labuhanratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, Rabu (20/8/2025). (IDN Times/Martin L Tobing).

Program konservasi burung di Desa Labuhanratu IX merupakan desa penyangga Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung menjadi rumah bagi lebih dari 302 jenis burung. Program ini digagas Pertamina bersama Yayasan Elang Indonesia, Koperasi Plang Ijo, dan masyarakat setempat. Kegiatan meliputi adopsi sarang, pembangunan visitor centre, pengamatan burung untuk edukasi dan penelitian (event bird watching), serta sosialisasi pelestarian kepada warga.

Kepala Urusan Umum Desa Labuhan Ratu IX, Kabupaten Lampung Timur, Dwi Aprianto, menyampaikan apresiasi kepada Pertamina atas komitmen terhadap pelestarian alam yang dilakukan. Menurutnya, adanya inisiatif ini, warga merasa sangat terbantu melestarikan alam dan pengelolaan keanekaragaman hayati di sekitar Taman Nasional Way Kambas. "Kami berharap kolaborasi ini dapat berlanjut dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan kami," jelasnya.

Dwi menyampaikan, Desa Labuhan Ratu IX berpotensi untuk dikembangkan sebagai titik pengembangan ekonomi melalui pariwisata alam, konservasi, dan budaya lokal. Itu lantaran, desa ini masuk kategori desa penyangga wisata karena lokasinya menjadi salah satu akses utama masuk ke Taman Nasional Way Kambas.

Desa penyangga wisata imbuhnya, juga ada korelasi konservasi dan pertanian. “Karena wilayahnya berdekatan dengan kawasan konservasi (Way Kambas), desa ini berada di persimpangan antara kebutuhan pembangunan ekonomi masyarakat seperti pertanian, UMKM dan perlindungan lingkungan serta satwa liar. Ini menjadikan desa ini contoh menarik untuk studi pembangunan berkelanjutan.

“Warga di sini pun ada yang memproduksi dodol nanas madu dengan tema konservasi. Ini menunjukkan adanya potensi pemberdayaan masyarakat lokal melalui produk yang mengandung identitas lokal. Melalui kolaborasi dengan pemuda tergabung dalam Koperasi Plang Ijo yang ada program desa ramah burung, kami percaya ke depan Desa Labuhan Ratu IX akan semakin berkembang,” paparnya.

Kepala Desa Labuhanratu IX, Ermanita Permatasari mendukung program tersebut karena sebagai desa penyangga TNWK turut memiliki kewajiban untuk menjaga satwa. Pasalnya, perburuan menjadi tantangan besar untuk mewujudkannya. Terlebih, aktivitas anak-anak muda desa tersebut turut membangun kesadaran masyarakat tentang pelestarian lingkungan dan meningkatkan ekonomi desa.

Untuk itu, pihaknya siap berdiskusi terkait penerbitan Peraturan Desa (perdes) agar program Desa Ramah Burung memiliki dasar hukum yang kuat. Pasalnya, aturan hukum yang jelas menjadi pegangan masyarakat untuk menertibkan perburuan dan aktivitas konservasi pun lebih terarah. Harapannya, aksi yang berdampak panjang dan berkelanjutan menjadi identitas desa.

“Inovasi ini bisa menjadi percontohan di tingkat daerah hingga nasional sebagai model desa penyangga yang melestarikan keanekaragaman hayati sekaligus memperkuat sektor wisata berbasis konservasi,” katanya.

Arif Ketua Kelompok Koperasi Plang Ijo yang merupakan binaan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Pertamina, menambahkan, kolaborasi antara Pertamina, koperasi, pemerintah desa, dan masyarakat turut memperkuat faktor keamanan burung di desa. Terlebih, jika ada dukungan peraturan desa (perdes) sebagai payung hukum untuk penertiban aktivitas perburuan di Desa Labuhanratu IX, baik yang menggunakan senjata api maupun ketapel.

Ia menargetkan, aturan tersebut terbit pada 2026 guna mendukung konsep desa ramah burung. “Itu akan menjadi kekuatan dalam memonitor perburuan sehingga mendukung peningkatan populasi burung di dalam desa,” ujarnya.

Arif menyampaikan, dampak positif program ini terhadap perubahan perilaku masyarakat. Sebelum program ini, masyarakat masih melakukan aktivitas ilegal di desa penyangga dan kawasan Way Kambas, salah satunya menangkap burung untuk dijual. Setelah sosialisasi desa ramah burung, aktivitas ilegal tersebut berkurang signifikan," jelasnya.

Ia menyebutkan, kesadaran masyarakat kini meningkat melindungi satwa burung. "Masyarakat lebih paham cara melindungi burung, dan jika menemukan adopsi sarang burung, mereka segera melaporkannya ke Koperasi Plang Ijo untuk dilestarikan. Way Kambas merupakan salah satu spot terbaik di Asia Tenggara bagi pengamat burung atau birder," tambahnya.

Catur Yogi Prasetyo, selaku Senior Supervisor Health, Safety, Security, and Environment (HSSE) & Fleet Safety Pertamina Integrated Terminal Panjang, menyampaikan, konservasi ini dilakukan untuk memastikan tidak ada lagi praktik perburuan burung liar. Itu karena, selain mengancam kelestarian satwa, dapat merusak keseimbangan alam yang menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat setempat.

“Harapannya kegiatan dapat meningkatkan kesadaran akan perlindungan flora dan fauna terutama di masyarakat sekitar wilayah Taman Nasional Way Kambas. Serta tidak ada perburuan burung liar terutama di desa-desa yang dekat dengan taman nasional,” jelasnya.

Catur menambahkan, Pertamina Patra Niaga Regional Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) melalui Integrated Terminal (IT) Panjang beberapa waktu lalu juga menyelenggarakan program Sosialisasi Desa Ramah Burung bertema "Suara dari Hutan: Menjadikan Desa Kita Rumah Bagi Burung" di Desa Labuhan Ratu IX, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, Selasa (19/8/2025). Sosialisasi ini difokuskan pada masyarakat umum, terkhusus pendidikan anak-anak sejak dini mengenai pentingnya perlindungan satwa burung sebagai bagian integral dari ekosistem.

Program ini mengajarkan masyarakat tentang peran vital burung dalam menjaga keseimbangan ekosistem, serta memberikan panduan praktis untuk melindungi dan melestarikan habitat burung. Inisiatif Desa Ramah Burung tidak hanya berfokus pada aspek konservasi, tetapi juga mengajak masyarakat untuk menjadikan desa sebagai habitat yang aman dan nyaman bagi beragam jenis burung, baik yang menetap maupun yang bermigrasi.

Catur menyatakan, sosialisasi ini merupakan langkah konkret dari Pertamina bersama Koperasi Plang Ijo dalam menjaga keanekaragaman hayati. "Pertamina percaya bahwa kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat adalah kunci keberhasilan dalam menjaga kelestarian alam. Melalui dukungan ini, kami berharap dapat mewujudkan visi bersama untuk menjaga keberagaman satwa liar dan lingkungan yang sehat bagi generasi mendatang," ujarnya.

Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel, Rusminto Wahyudi, memaparkan strategi keberlanjutan program ini. Langkah-langkah peningkatan program meliputi sosialisasi dan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat dan siswa sekolah untuk menjaga dan melestarikan satwa burung di desa penyangga Taman Nasional Way Kambas, serta menghentikan kegiatan ilegal penangkapan burung dilindungi.

Rusminto menambahkan, program ini juga mencakup konservasi dan rehabilitasi habitat melalui penanaman pohon, kegiatan adopsi sarang burung, monitoring dan pengawasan, serta penguatan aturan desa. "Pendekatan komprehensif ini memastikan kelestarian jangka panjang bagi ekosistem burung dan habitatnya," jelasnya.

Inisiatif Desa Ramah Burung ini selaras dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim) mengenai penanganan perubahan iklim dan Tujuan 15 (Ekosistem Darat) tentang pelestarian ekosistem darat. Program ini diharapkan dapat menjadi model replikasi bagi desa-desa lain dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Editorial Team