ilustrasi remaja bicara (pexels.com/cottonbro)
Psikolog Klinis Lampung, Cindani Trika Kusuma, menjelaskan, keberadaan anak di bawah umur dalam aksi massa perlu ditelusuri lebih dulu. Bisa jadi mereka kebetulan lewat, misalnya baru pulang sekolah dan melihat keramaian sehingga ikut bergabung.
“Apakah lokasi demonstrasi itu berada di area sensitif, misalnya dekat sekolah, tempat bermain, atau lingkungan rumahnya? Karena secara tidak langsung, anak-anak bisa akhirnya terlibat,” jelas Cindani.
Namun, menurut Cindani, jika usianya sudah di atas 15 tahun, seperti anak SMA, secara kognitif mereka mulai mampu menginterpretasikan kenyataan dan realita di sekitarnya. Hal itu termasuk informasi dari media sosial, pemberitaan, dan hal-hal konkret yang mereka sadari.
“Mungkin mereka memang tidak sepaham dengan orang dewasa soal regulasi pemerintahan, tetapi mereka sudah mulai ikut merasakan sehingga ada emosi yang hadir,” katanya.
Meski begitu, faktor usia membuat mereka tetap berada di bawah perlindungan yang kuat. Apalagi di Indonesia ada Undang-Undang Perlindungan Anak yang cukup kuat. Jadi ia berharap mereka tidak terlibat dalam sesuatu yang merugikan, misalnya kekerasan atau menjadi korban.
"Kalau orang dewasa, kalau ada apa-apa itu hak asasi. Sedangkan anak-anak ini hak asasi plus perlindungan. Mereka sangat privilage,” jelasnya.