Ilustrasi Pekerja Freelance (Pexel/Andrea Piacquadio)
Seperti banyak freelancer lain, perjalanan Rahmi dimulai dengan rasa bingung. Ia tak tahu harus mulai dari mana, apakah skill yang dimiliki cukup untuk bersaing, berapa harga yang pantas dipasang, atau bagaimana membangun personal branding agar dipercaya.
“Akhirnya aku belajar dari media sosial, dapat banyak ilmu, terus nekat aja share skill dan produk kelas digital yang aku punya. Waktu dapat klien pertama rasanya senang banget, setidaknya ada yang notice keberadaanku,” tuturnya sambil tertawa.
Meski begitu, tantangan awal tak bisa dibilang ringan. Ada calon peserta yang menawar harga, minta mencicil, bahkan berharap bisa ikut gratis.
Padahal, testimoni diterima justru mengatakan kelas digitalnya sangat bermanfaat dan worth it. Bahkan beberapa peserta rela memberi tip karena merasa ilmunya “daging banget” dengan harga yang sangat terjangkau.
Rahmi menceritakan ia juga menghadapi persaingan ketat dengan sesama pekerja lepas lain, bahkan skala global. Belum lagi keterbatasan biaya untuk upgrade perangkat kerja, berlangganan software, ikut kursus, hingga menabung dana darurat karena tidak ada perlindungan sama sekali.
“Sekarang makin banyak yang pakai AI. Jadi aku harus cari keunikan skill supaya tetap punya pasar sendiri,” jelasnya.
Rahmi menyoroti minimnya regulasi yang melindungi freelancer di Indonesia. Dari kontrak kerja, sengketa pembayaran, hingga akses jaminan sosial dan kesehatan, semua masih abu-abu. Akibatnya, banyak freelancer seperti dirinya merasa tidak punya keamanan kerja jangka panjang.
“Pemerintah seharusnya juga lebih jelas soal akses program resmi. Aku aja bingung, kalau mau daftarin kelas digital biar berkembang, ke mana? Apakah ke LKP Kemendikbudristek, LPK Kemnaker/Skillhub, Prakerja, atau program digital Kominfo? Minim banget sosialisasi, jadi kelas ini berjalan sendiri tanpa ekosistem pendukung,” keluh Rahmi.