Ilustrasi Jurnalistik (Pexel/cottonbro studio)
Lebih lanjut Dian menyampaikan, ironi kesejahteraan jurnalis tergambar jelas dalam riset AJI Bandar Lampung yang dilakukan pada Oktober–November 2025 terkait kerentanan jurnalis perempuan. Menurutnya, survei ini melibatkan 47 jurnalis perempuan dari sekitar 10 kabupaten/kota di Lampung, termasuk Bandar Lampung, Tanggamus, Way Kanan, Lampung Barat, dan Lampung Utara.
Para responden berasal dari berbagai posisi, mulai reporter, redaktur, hingga pemimpin redaksi di media lokal dan nasional. Hasil riset menunjukkan, hanya 57,4 persen responden yang berstatus karyawan tetap.
Sebanyak 25,5 persen masih berstatus kontrak dan 17 persen bekerja sebagai freelance atau kontributor. Kondisi ini menandakan masih banyak jurnalis perempuan yang berada dalam ketidakjelasan status kerja meski telah mengabdi bertahun-tahun.
Dari sisi jam kerja dan penghasilan, 14 dari 47 responden mengaku bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Namun, mayoritas gaji mereka berada di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung 2025 sebesar Rp2.893.070.
Sebanyak 34 persen atau 16 responden menerima gaji Rp1 juta–Rp2 juta, 6,4 persen bahkan di bawah Rp1 juta. Sementara itu, 34 persen memperoleh Rp2 juta–Rp3 juta dan hanya 17 persen yang menerima Rp3 juta–Rp4 juta. Gaji yang tidak layak tersebut pun masih kerap mengalami pemotongan dan penundaan pembayaran.
Tak hanya soal upah, riset juga mengungkap sekitar 34 persen media belum menyediakan asuransi kesehatan dan 42 persen belum mendaftarkan jurnalis perempuan ke Jamsostek. Hak lain seperti tunjangan makan, transportasi, telekomunikasi, dan dinas malam belum menjadi prioritas perusahaan media.
"Di tengah kondisi tersebut, jurnalis perempuan juga menghadapi diskriminasi dan pelecehan seksual. Sebanyak 11 dari 47 responden mengaku menjadi korban pelecehan seksual, baik secara verbal, fisik, maupun online," jelas Dian.