Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Jurnalisme
Ilustrasi Jurnalisme (Pexel/)

Intinya sih...

  • PHK meluas dan hak normatif jurnalis diabaikanAJI Bandar Lampung mencatat 16 pekerja media mengalami PHK, dengan total 72 orang kehilangan pekerjaan dalam empat tahun terakhir.

  • Jurnalis perempuan digaji di bawah UMP hingga rentan pelecehan seksualRiset AJI Bandar Lampung menunjukkan bahwa jurnalis perempuan bekerja lebih dari 50 jam per minggu dengan gaji di bawah UMP.

  • Kekerasan, kriminalisasi, dan praktik lancung membelenggu kebebasan persSelama 2025, terdapat lima kasus kekerasan terhadap pewarta dan dua jurnalis dilaporkan ke polisi menggunakan Undang-Undang ITE.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times – Kesejahteraan jurnalis di Lampung masih jauh dari kata ideal. Di tengah peran penting pers sebagai penjaga kepentingan publik, para pewarta justru menghadapi realitas pahit berupa upah di bawah standar, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, hingga kekerasan dan kriminalisasi dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung 2025 bertajuk “Ironi Kesejahteraan Jurnalis di Tengah Kekerasan dan Kriminalisasi” memotret kondisi rentan pekerja media sepanjang tahun ini. Temuan tersebut menunjukkan, persoalan kesejahteraan dan keamanan jurnalis masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara dan seluruh pemangku kepentingan pers.

1. PHK meluas dan hak normatif jurnalis masih diabaikan

Ilustrasi Jurnalistik (Pexel/Huynh Van)

AJI Bandar Lampung mencatat, sepanjang 2025 terdapat sekitar 16 pekerja media, termasuk jurnalis, yang mengalami PHK. Menurut Ketua AJI Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma, angka tersebut menambah daftar panjang pekerja media yang kehilangan pekerjaan dalam empat tahun terakhir dengan total mencapai 72 orang.

Fenomena PHK ini kerap disertai praktik sepihak perusahaan media, mulai dari tidak diberikannya pesangon hingga pengabaian hak normatif lainnya. Dian menilai, negara gagal menjamin hak-hak pekerja media.

Pemerintah masih mempertahankan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai mencekik buruh, termasuk jurnalis. Dampaknya, banyak pekerja media di Lampung mengalami ketidakjelasan status ketenagakerjaan, tidak mendapat perpanjangan kontrak, bahkan bekerja tanpa kontrak sama sekali.

"Kondisi tersebut memperlihatkan rapuhnya sistem perlindungan tenaga kerja di industri media. Di saat perusahaan media dituntut menjaga kualitas informasi, jurnalis justru bekerja dalam tekanan ekonomi dan ketidakpastian yang berkepanjangan," kata Dian.

2. Jurnalis perempuan digaji di bawah UMP hingga rentan pelecehan seksual

Ilustrasi Jurnalistik (Pexel/cottonbro studio)

Lebih lanjut Dian menyampaikan, ironi kesejahteraan jurnalis tergambar jelas dalam riset AJI Bandar Lampung yang dilakukan pada Oktober–November 2025 terkait kerentanan jurnalis perempuan. Menurutnya, survei ini melibatkan 47 jurnalis perempuan dari sekitar 10 kabupaten/kota di Lampung, termasuk Bandar Lampung, Tanggamus, Way Kanan, Lampung Barat, dan Lampung Utara.

Para responden berasal dari berbagai posisi, mulai reporter, redaktur, hingga pemimpin redaksi di media lokal dan nasional. Hasil riset menunjukkan, hanya 57,4 persen responden yang berstatus karyawan tetap.

Sebanyak 25,5 persen masih berstatus kontrak dan 17 persen bekerja sebagai freelance atau kontributor. Kondisi ini menandakan masih banyak jurnalis perempuan yang berada dalam ketidakjelasan status kerja meski telah mengabdi bertahun-tahun.

Dari sisi jam kerja dan penghasilan, 14 dari 47 responden mengaku bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Namun, mayoritas gaji mereka berada di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung 2025 sebesar Rp2.893.070.

Sebanyak 34 persen atau 16 responden menerima gaji Rp1 juta–Rp2 juta, 6,4 persen bahkan di bawah Rp1 juta. Sementara itu, 34 persen memperoleh Rp2 juta–Rp3 juta dan hanya 17 persen yang menerima Rp3 juta–Rp4 juta. Gaji yang tidak layak tersebut pun masih kerap mengalami pemotongan dan penundaan pembayaran.

Tak hanya soal upah, riset juga mengungkap sekitar 34 persen media belum menyediakan asuransi kesehatan dan 42 persen belum mendaftarkan jurnalis perempuan ke Jamsostek. Hak lain seperti tunjangan makan, transportasi, telekomunikasi, dan dinas malam belum menjadi prioritas perusahaan media.

"Di tengah kondisi tersebut, jurnalis perempuan juga menghadapi diskriminasi dan pelecehan seksual. Sebanyak 11 dari 47 responden mengaku menjadi korban pelecehan seksual, baik secara verbal, fisik, maupun online," jelas Dian.

3. Kekerasan, kriminalisasi, dan praktik lancung membelenggu kebebasan pers

Ilustrasi Jurnalistik (Pexel/brotiN biswaS)

Dian juga menjelaskan, selain persoalan kesejahteraan, kekerasan terhadap jurnalis masih terus berulang. Sepanjang 2025, AJI Bandar Lampung mencatat lima kasus kekerasan terhadap pewarta, mulai dari pemukulan, intimidasi, pengeroyokan, hingga ancaman pembunuhan.

Pelaku berasal dari berbagai latar belakang, termasuk eks anggota DPRD, rombongan Kejaksaan Tinggi, anggota TNI, hingga preman.

"Dalam tujuh tahun terakhir, total terdapat 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Lampung yang sebagian besar tidak diusut tuntas," ujarnya.

Di tengah lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan, Dian menyebut jurnalis juga menghadapi ancaman kriminalisasi. Selama 2025, dua jurnalis di Lampung dilaporkan ke polisi menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya karena menjalankan tugas jurnalistik.

Mirisnya, pelaporan tersebut juga dilakukan oleh pejabat pemerintahan, meski mekanisme penyelesaian sengketa pers seharusnya merujuk pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis.

"AJI Bandar Lampung menegaskan, kekerasan dan kriminalisasi merupakan belenggu kebebasan pers yang dapat membuat jurnalis enggan menulis berita kritis. Padahal, keberadaan pers sangat penting untuk memastikan hak publik atas informasi terpenuhi," terangnya.

Di sisi lain, lanjutnya, AJI juga menyoroti masih maraknya praktik jurnalisme lancung. Sepanjang 2025, tercatat sekitar lima kasus pemerasan yang melibatkan oknum wartawan dengan berbagai modus, mulai dari ancaman pemberitaan hingga media fiktif. Praktik ini dinilai mencoreng marwah jurnalisme dan merusak kepercayaan publik terhadap media

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team