Serial One Piece (Instagram/onepiece.indo.official)
Arman AZ, seorang peminat budaya di Lampung menilai fenomena penggunaan simbol-simbol populer sebagai bentuk protes kepada penguasa bukanlah hal baru. Menurutnya, di banyak negara hal tersebut lumrah terjadi.
Ia menambahkan, fenomena seperti bendera One Piece bisa saja terjadi di Lampung, meskipun dalam skala lokal, latar masalah, dan versi yang berbeda. “Yang penting, penguasa lokal jangan kebakaran jenggot atau seperti kaget dari tidur,” ujarnya.
“Penggunaan bendera One Piece sah-sah saja. Itu bentuk soft warning (peringatan lunak). Yang mesti ditelisik adalah apa latar belakang atau motif penggunaan bendera One Piece hingga viral, serta siapa pemantik awalnya,” ujar Arman kepada IDN Times.
Sastrawan yang sudah melahirkan banyak karya itu mengatakan, bendera tersebut menjadi viral karena masyarakat yang gelisah atau muak dengan situasi saat ini merasa terwakili oleh simbol tersebut. Budaya pop, menurut Arman, efektif menjadi bahasa kritik sosial karena generasi pemakainya banyak, ditunjang teknologi digital, sehingga penyebarannya cepat, masif, dan mampu menarik perhatian.
Namun, bagi pihak yang merasa dikritik, hal itu justru dianggap sebagai ancaman. Bagi Arman, banyak contoh simbol fiksi yang dijadikan alat protes. Misalnya, penggunaan topeng atau tokoh kartun seperti Bart Simpson dan Mickey Mouse yang pernah dipakai dalam aksi protes sosial.
"Bahkan, yang pernah saya lihat langsung, petani-petani di Belanda memasang bendera dalam posisi terbalik di depan rumahnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang merugikan petani," ceritanya.