Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pengibaran Bendera One Piece oleh LBH Bandar Lampung (Dok/IDN Times Istimewa)
Pengibaran Bendera One Piece oleh LBH Bandar Lampung (Dok/IDN Times Istimewa)

Intinya sih...

  • Bendera Jolly Roger relevan untuk mengkritisi kondisi bangsa saat ini

  • Kritik sosial yang kreatif dengan bendera One Piece dianggap sebagai bentuk peringatan lunak untuk penguasa

  • LBH Bandar Lampung nilai respons negara soal Bendera One Piece berlebihan dan cenderung otoritarian

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandar Lampung, IDN Times - Menjelang perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia, fenomena bendera anime One Piece bergambar tengkorak bertopi jerami atau Jolly Roger tengah ramai dibicarakan di berbagai daerah. Simbol kru Topi Jerami pimpinan Monkey D. Luffy ini memunculkan diskusi publik mengenai kebebasan berekspresi dan batasan penggunaannya di ruang terbuka.

Isu ini bahkan menimbulkan reaksi keras dari sejumlah pejabat negara yang menilai penggunaan bendera tersebut dapat berimplikasi hukum. IDN Times merangkum tanggapan dari aktivis HAM, pengamat budaya, dan penggemar One Piece di Lampung terkait isu ini.

1. Bendera Jolly Roger sangat relevan untuk mengkritisi kondisi bangsa saat ini

One Piece (Instagram/Onepiece.indo.official)

Galang, seorang penggemar One Piece di Lampung mengaku sempat berencana mengibarkan bendera Jolly Roger Bajak Laut Topi Jerami di depan rumahnya menjelang HUT ke-80 RI. Namun, niat itu ia urungkan karena tinggal di perumahan yang sebagian besar dihuni anggota DPRD dan tokoh partai politik. Meski merasa kebebasan berekspresinya sedikit terbatasi, ia mengaku bisa memakluminya demi ketenangan bersama.

“Kalau sampai mengibarkan bendera itu, bisa memicu keramaian. Saya orangnya malas ribut, apalagi menjelang Hari Kemerdekaan, jadi lebih baik menjaga suasana aman dan kondusif,” ucapnya saat di wawancara IDN Times, Kamis (14/7/2025).

Penggemar yang mulai jatuh cinta pada One Piece sejak kuliah 2016–2017 ini mengungkapkan, bendera Jolly Roger punya makna luas. Baginya, simbol itu merepresentasikan kebebasan, perlawanan terhadap penindasan, kesewenang-wenangan, diskriminasi, dan persahabatan.

“Luffy dan nakamanya selalu menolong pihak yang lemah, melawan penguasa tiran seperti di Arc Dressrosa dan Wano. Jadi menurut saya bendera ini sangat relevan untuk mengkritisi kondisi bangsa saat ini,” katanya.

2. Kritik sosial yang kreatif

Mongkey D. Luffy, Tokoh Utama Serial One Piece (Instagram/onepiece.indo.official)

Galang menilai, mengibarkan bendera One Piece bisa menjadi cara kritik sosial kreatif dan inovatif di era media sosial. Menurutnya, tak sedikit kasus di Indonesia baru direspons serius setelah viral. Namun, ia menyayangkan larangan pengibaran bendera tersebut yang bahkan sampai disertai razia rumah dan kendaraan.

“Kan gak mungkin gara-gara bendera ini berkibar, Indonesia langsung terpecah. Ini cuma ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Seperti kata Gus Dur, bangsa ini takut simbol,” ujarnya.

Ia juga menilai kebebasan berekspresi di Indonesia sejak reformasi tak pernah benar-benar terwujud. Bentuk ekspresi yang mengkritik pemerintah sering kali berujung pelarangan atau pembungkaman.

“Kalau ekspresinya memuji atau netral, dijamin aman. Tapi kalau kritis, ya pasti kena masalah. Begitulah cara negara ini menjawab setiap bentuk ekspresi kritis terhadap pemerintahnya," tandasnya.

3. Sah-sah saja, bentuk peringatan lunak untuk penguasa

Serial One Piece (Instagram/onepiece.indo.official)

Arman AZ, seorang peminat budaya di Lampung menilai fenomena penggunaan simbol-simbol populer sebagai bentuk protes kepada penguasa bukanlah hal baru. Menurutnya, di banyak negara hal tersebut lumrah terjadi.

Ia menambahkan, fenomena seperti bendera One Piece bisa saja terjadi di Lampung, meskipun dalam skala lokal, latar masalah, dan versi yang berbeda. “Yang penting, penguasa lokal jangan kebakaran jenggot atau seperti kaget dari tidur,” ujarnya.

“Penggunaan bendera One Piece sah-sah saja. Itu bentuk soft warning (peringatan lunak). Yang mesti ditelisik adalah apa latar belakang atau motif penggunaan bendera One Piece hingga viral, serta siapa pemantik awalnya,” ujar Arman kepada IDN Times.

Sastrawan yang sudah melahirkan banyak karya itu mengatakan, bendera tersebut menjadi viral karena masyarakat yang gelisah atau muak dengan situasi saat ini merasa terwakili oleh simbol tersebut. Budaya pop, menurut Arman, efektif menjadi bahasa kritik sosial karena generasi pemakainya banyak, ditunjang teknologi digital, sehingga penyebarannya cepat, masif, dan mampu menarik perhatian.

Namun, bagi pihak yang merasa dikritik, hal itu justru dianggap sebagai ancaman. Bagi Arman, banyak contoh simbol fiksi yang dijadikan alat protes. Misalnya, penggunaan topeng atau tokoh kartun seperti Bart Simpson dan Mickey Mouse yang pernah dipakai dalam aksi protes sosial.

"Bahkan, yang pernah saya lihat langsung, petani-petani di Belanda memasang bendera dalam posisi terbalik di depan rumahnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang merugikan petani," ceritanya.

4. Budaya pop sebagai medium kritik akan terus ada tapi mudah dilupakan

Ilustrasi Demonstrasi (Pexel/Amine M'siouri)

Dalam pandangannya, Arman lebih respek terhadap pendapat Gus Dur saat terjadi perdebatan mengenai bendera Indonesia dan bendera Papua Merdeka. “Itu lebih humanis, rileks, dan tidak menyulut ketegangan lanjutan atau berkepanjangan,” ujarnya.

Namun, Arman mengibaratkan fenomena protes menggunakan simbol seperti meteor—muncul sebentar, heboh, lalu hilang begitu saja. Apalagi di era digital saat ini, tren mudah berganti dan cepat menguap.

Meski demikian, ia meyakini budaya pop sebagai medium kritik akan terus ada. Tantangannya hanya pada daya tahannya.

Menurutnya, kritik yang dikemas dengan budaya pop meski pesannya jelas dan tidak salah dimaknai, sering kali tidak bertahan lama dan cepat dilupakan publik. Arman mencontohkan status-status viral di media sosial beberapa waktu lalu, seperti yang bertuliskan “Indonesia Memanggil” atau “Peringatan Darurat” dengan logo Garuda, latar warna biru, dan efek bunyi peringatan.

“Hebohnya hanya beberapa bulan lalu, lalu selesai dan hilang begitu saja, kan?” ucapnya.

Kendati begitu, Arman optimistis generasi muda yang berpikir kritis sekaligus kreatif akan selalu menemukan cara untuk menyampaikan kritik simbolik.

5. LBH Bandar Lampung nilai respons negara soal Bendera One Piece berlebihan dan cenderung otoritarian

Pengibaran Bendera One Piece oleh LBH Bandar Lampung (Dok/IDN Times Istimewa)

Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menegaskan fenomena pengibaran bendera One Piece atau simbol Jolly Roger yang marak belakangan ini harus dilihat sebagai bentuk ekspresi warga yang dijamin konstitusi.

“Selayaknya sebuah ekspresi, negara sepatutnya menjamin kebebasan masyarakat untuk berekspresi dalam bentuk apa pun. Tapi ternyata respons dari negara cenderung kontra dan berlebihan,” kata Prabowo.

Ia menyoroti pernyataan Menko Polhukam dan Menteri HAM yang menyebut pengibaran bendera One Piece dapat diancam pidana. Menurutnya, pernyataan itu dimaknai sebagai perintah bagi pejabat daerah.

“Walaupun untuk di Lampung belum ditemukan kasus pelarangan seperti di Jawa, tapi secara nasional fenomena ini menunjukkan respons negara yang berlebihan. Bahkan cenderung mengarah pada karakteristik otoritarian,” tegas Bowo sapaan akrabnya.

Bowo menjelaskan, makna bendera Jolly Roger dan kisah One Piece secara umum memiliki kemiripan dengan kondisi yang dirasakan masyarakat Indonesia. Menurutnya, seharusnya pemerintah merespons dengan dialog, menjadikannya pengingat atau bahan evaluasi.

"Respons berlebihan justru menebar ketakutan dan mengekang kebebasan berekspresi warga. Padahal kebebasan berekspresi sudah dijamin dalam UUD 1945. Bahkan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera menegaskan selama tidak dimaksudkan untuk mengganti, merendahkan, atau menghina bendera Merah Putih, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum," terangnya.

6. Belum ada laporan tindakan represif terkait pengibaran bendera Jolly Roger di Lampung

Ilustrasi Demonstrasi (Pexel/Markus Spiske)

Bowo menyoroti pernyataan Sekda Provinsi Lampung yang menyebut bendera One Piece bisa menurunkan makna, dan imbauan wali kota Bandar Lampung agar warga tidak mengibarkan bendera tersebut. “Kenapa harus mengeluarkan statemen itu? Ini kan bagian dari ekspresi warga,” katanya.

Namun, untuk konteks Lampung, Prabowo memastikan belum ada laporan tindakan represif terkait pengibaran bendera Jolly Roger. Bahkan LBH Bandar Lampung memasang bendera tersebut di depan kantor mereka.

“Sebenarnya tidak ada cara spesifik untuk orang berekspresi karena itu adalah hak. Yang membatasi adalah aturan hukum. Kalau merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2009, selama tidak dikibarkan di atas Merah Putih, dan ukurannya tidak lebih besar dari Merah Putih, itu tidak masalah,” jelasnya.

Bowo menambahkan, unsur pidana harus dilihat dari niat. Bahkan, lanjutnya, jika ada yang mengibarkan di atas Merah Putih, harus dilihat niatnya. Niat kritik tidak boleh diartikan sebagai tindak pidana. "Kalau kritik dinilai sebagai niat melakukan kejahatan, itu berbahaya dan menjadi bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi, bagian dari mundurnya demokrasi," jelasnya.

7. Pemerintah harusnya belajar dari presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Ilustrasi Demonstrasi (Pexel/omina Ordóñez)

Menurut Bowo, mestinya Pejabat Provinsi Lampung belajar dari Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang cenderung bersikap santai dan tidak reaksioner terhadap pengibaran bendera bintang kejora.

"Gus Dur tidak pernah melarang pengbaran bendera Bintang Kejora oleh masyarakat Papua. Bahkan Gus Dur mengakui bendera Bintang Kejora sebagai salah satu identitas kultural warga Papua," ujarnya.

Ia juga memaparkan catatan LBH Bandar Lampung selama lima tahun terakhir (2020–2025) yang menunjukkan banyak kasus pembatasan kebebasan berekspresi di Lampung. Tahun 2020, puluhan mahasiswa ditangkap saat aksi menolak Omnibus Law. Ada mahasiswa Universitas Teknokrat yang di-DO dan diskorsing karena membuat sekretariat di luar kampus.

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Metro juga pernah dilaporkan dekan ke polisi karena mengkritik saat penyambutan mahasiswa baru. “Artinya, pola pembungkaman kebebasan berekspresi ini hampir terjadi di Lampung di berbagai lapisan masyarakat,” tandasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team