ilustrasi perkebunan tebu. (istockphoto.com/Camaro)
Ammar menegaskan, para investor datang dan berinvestasi di Lampung wajib mematuhi peraturan dan menghormati hak-hak masyarakat di sekitar kawasan hak guna usaha (HGU). Pasalnya, dalam negeri hukum, HGU merupakan instrumen izin konsesi bergulir yang pada dasarnya bertujuan mewujudkan keadilan dan pemerataan pertanahan.
Namun pada kasus HGU besar SGC di Kabupaten Tulang Bawang tepatnya sejak belum ada audit independen, perusahaan ini telah memanfaatkan legitimasi HGU untuk memperluas area jauh melampaui batas administratif dikeluarkan DPRD setempat pada 2017.
"Pansus menemukan, berdasarkan Surat Keputusan BPN Tulang Bawang tertanggal 8 Maret 2007, HGU resmi mencakup luas 86.455,99 hektare tapi praktik operasional perusahaan mengelola hingga sekitar 124.092,80 hektare, maka selisih mencapai lebih dari 37 ribu hektare. Ini bukti dan dasar kuat indikasi manipulasi administratif dan pelanggaran tata ruang melalui inklusi kawasan konservasi," benernya.
Laporan Pansus DPRD Tulang Bawang menjadi rekam jejak formal itu juga mengkritisi setiap kasus praktik kepemilikan anak perusahaan SGC meliputi PT Indo Lampung Cahaya Makmur (ILCM), PT Indo Lampung Perkasa (ILP), dan PT Sweet Indolampung (SIL) yang memiliki peta HGU berbeda antar instansi BPN, pemerintah daerah, dan SGC hingga berujung konflik tumpang tindih data dan memunculkan dugaan tindak pidana tata ruang akibat pendaftaran HGU di atas kawasan lindung seharusnya tidak masuk dalam konsesi.
"Hasil penelitian tiga akademisi Unila menegaskan ada dugaan tindak pidana dalam praktik korporasi yang dijalankan oleh SGC. Ini perlu ditindak lanjuti, jangan sampai negara kalah dengan korporasi," lanjutnya.