Pintu utama Penjara Kalisosok Surabaya. IDN Times/Ardiansyah Fajar
Tembok tebal berwarna putih mengelilingi lahan seluas 3,5 hektare di Jalan Kasuari, Krembangan, Kota Surabaya. Sebagian besar temboknya sudah kusam, catnya mengelupas dan dihiasi akar pohon beringin yang menjuntai di sana-sini. Tiap-tiap sudut tembok terpampang gardu berkarat seakan menjadi mata yang siaga mengawasi.
Siapa sangka, di balik tembok yang berdiri kokoh itu pernah menjadi "sekolah" para pendiri bangsa Republik Indonesia. Sukarno, Wage Rudolf (WR) Supratman, Kiai Haji (KH) Mas Mansur dan Doel Arnowo tercatat pernah ditahan di sini. Bangunan terbengkalai itu bekas Penjara Kalisosok.
Pintu utama penjara rupanya terletak di sisi timur bangunan. Fasadnya hampir sama dengan tembok-tembok lain di sekitar kawasan. Kusam dan tak terawat. Sekilas tidak ada spesial di pintu utama. Dari kejauhan terlihat coretan "No.7" berwarna biru menandakan bangunan itu berdiri di urutan ketujuh dari bangunan lainnya.
Tapi jika dilihat lebih dekat, ternyata ada plakat berwarna kuning emas bertuliskan "Bangunan Cagar Budaya". Tetenger itu dikeluarkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sejak 2009 lalu. Tak jauh dari situ, tepat di samping kirinya ternyata ada pintu terbuka.. Ternyata bagian lain bekas penjara dimanfaatkan untuk jasa ekspedisi tol laut.
Tak jauh dari pintu utama ada rumor di balik tembok pesakitan masa lampau itu dipakai untuk kos-kosan sebagian orang. Ternyata rumor itu fakta. Tak banyak yang tahu tentang bilik rahasia itu. Tak banyak juga yang menyangka kalau bekas sel penjara dijadikan rumah sementara. "Kalau kos-kosan ya itu," ujar pedagang kaki lima sekitar bekas Penjara Kalisosok, Sumani (40) sambil menunjuk konter pulsa.
Pak To, nama aslinya Yanto mengakui, ada kos-kosan di balik pintu berwarna biru. Tak banyak yang ngekos saat ini, yang jelas kosnya itu khusus untuk perempuan saja. "Ini khusus perempuan, fasilitasnya seadanya," katanya. Harga tiap kepala sekitar Rp150 ribu. Penghuninya mayoritas pekerja Jembatan Merah Plasa (JMP).
Yanto tak mau membeberkan lebih rinci jumlah penghuni dan berapa bilik yang disediakannya. Dia bersikukuh kalau bisnis kos di bekas penjara tak menyalahi aturan. Karena pihaknya sudah membayar ke pemilik bangunan. "Ini kan swasta, gak bisa itu pemerintah ikut-ikut, mau masuk aja gak bisa" dia menegaskan.
Di sisi lain, Sumani mengenang betul kehidupan di balik penjara Kalisosok. Jelas saja, dia sudah bejualan makanan dan minuman sejak usia anak-anak. Debutnya dimulai ketika kedua orangtuanya di Bangkalan, Madura meninggal dunia. Dia pun ikut tetangganya yang sudah dianggap ibunya sendiri. "Dulu diajak Umi ke Surabaya buat ikut jualan di sini," katanya.
Beberapa kali Sumani mengantarkan nasi sate dan es teh ke sipir Penjara Kalisosok. Ketika itu juga, dia mengetahui kehidupan di balik tembok kokoh setinggi 12 meter itu. "Banyak sekali tahanannya," ucapnya. Hingga menikah dan mempunyai anak, Sumani masih mengantarkan pesanan para sipir. "Tapi tahun 1999 itu tutup," kata dia.
Sumani cukup kaget dengan tutupnya Penjara Kalisosok. Kemudian para penghuninya sebagian dipindahkan ke Rumah Tahanan Klas 1 Surabaya di Medaeng Sidoarjo dan Lapas Klas 1 Surabaya di Porong Sidoarjo. "Semuanya pindah. Sampai sekarang sepi. Dalamnya (Penjara Kalisosok) sekarang alas (hutan)," dia mengungkapkan.
Kenangan kehidupan Penjara Kalisosok juga dimiliki pengacara, M. Sholeh. Pria yang baru-baru ini mendaftarkan diri menjadi bakal calon wali kota Surabaya jalur independen itu pernah dua tahun menjadi penghuni di sini. Dia menjadi tahanan politik lantaran lantang menyuarakan demokrasi di penghujung kekuasaan orde baru (orba) 1997 bersama rekan satu organisasinya di Partai Rakyat Demokratik (PRD), Coen Husain Pontoh. "Saya punya kenangan di situ, dipenjara lebih dari satu tahun," kata dia.
Ketika di dalam penjara, Sholeh mengaku ditempatkan di Blok E. Blok itu merupakan pengasingan. Satu kamar diisi satu orang dengan luas 2x4 meter. Meski sendirian, di bloknya itu Sholeh bersama narapidana kasus pembunuhan dan penjahat kakap. Yakni Sugik dan Aris. Mereka semua adalah terpidana mati. "Semuanya di dalam penjara baik," ucapnya.
Hal yang paling diingatnya yaitu saat mandi. Terdapat sumur ajaib di dalam penjara. Sumur itu diyakini oleh semua penghuni bisa menyembuhkan penyakit. "Sugesti kalau habis bertengkar memar dan dipukuli petugas, mandi di situ cepat sembuh. Kita mandinya di situ. Airnya bagus, tidak asin," ungkap Sholeh.
Uniknya lagi, lanjut Sholeh, tembok penjara tidak bisa dipaku. Dia menaksir temboknya setebal 15-20 centimeter dengan kualitas bangunan Belanda. "Tidak pakai batu bata. Kayak dicor semua (full semen). Saking kuatnya tidak bisa dipaku. Kalau naruh gastok baju, waktu itu saya pakai lem," beber dia.
Penutupan Penjara Kalisosok tidak disayangkan oleh Sholeh. Hanya saja dia menyesalkan bangunan sarat sejarah itu tidak dirawat pemerintah. Harusnya, bangunan itu bisa dijadikan museum. Sehingga para pelajar dan wisatawan bisa belajar mengenai sejarah Kota Pahlawan secara utuh.
"Sekarang malah milik swasta. Itu semestinya tidak boleh. Kalau saya jadi wali kota saya beli. Untuk menjadikan kota sejarah, ada baiknya Kalisosok jadikan museum sejarah," tegas Sholeh.
Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia atau Surabaya Heritage Society, Freddy Istanto membeberkan sejarah yang terukir di bekas Penjara Kalisosok. Bangunan yang kini mangkrak itu didirikan sejak zaman Gubernur Jenderal Willem Herman Dandels. Pembangunannya dimulai pada 1808 dengan biaya 8.000 gulden.
Sayang seribu sayang, Penjara Kalisosok justru tidak dikelola oleh pemerintah. Sebenarnya, Freddy dan komunitas pencinta cagar budaya pernah memperjuangkan agar dirawat dan dijadikan museum kecil-kecilan di sebidang hektare saja. "Tapi ada yang ngomel, ngapain itu tempat pemuda kita dipenjara kok dilestarikan," katanya terheran-heran.
Meski Penjara Kalisosok disebutnya sudah dipindahtangankan ke swasta, menurut Freddy, Pemkot Surabaya masih punya tanggung jawab melindungi bangunan cagar budaya. "Karena menelantarkan bangunan cagar budaya termasuk melanggar hukum. Ada sebuah sikap (pemahaman) kalau merusak kena pasal hukum. Kalau sengaja membiarkan agar rusak (tidak kena)," katanya. Harusnya pemerintah mampu mengatasi polemik ini. Sehingga bangunan yang memiliki sejarah panjang ini tidak mangkrak.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya membenarkan bahwa bangunan itu merupakan cagar budaya. "Tapi itu masih milik pribadi," ujarnya melalui pesan singkat.